Wednesday, December 29, 2004

Mahkota 2009

Oleh : Haedar Nashir

Minggu, 26 Desember 2004

Siapa bilang para elite politik di negeri ini berwawasan jangka pendek. Mereka sungguh berpandangan jauh ke depan. Betapa tidak, Pemilu 2004 baru saja usai dan langkah mereka sebagai pembawa mandat rakyat, baik di legislatif maupun eksekutif, baru sekitar seumur jagung dan belumlah terlihat langkah positif yang meyakinkan. Tahu-tahu sudah berpikir tentang Pemilu 2009. Masing-masing memproyeksikan diri untuk jadi pemenang pesta demokrasi lima tahun yang akan datang. Ada yang membidik kursi presiden dan wakil presiden, juga untuk memenangkan kursi parlemen. Sungguh, mereka berwawasan jauh ke depan, tapi untuk kekuasaan. Untuk kursi jabatan. Untuk kemenangan politik.

Para politisi itu bahkan cukup tinggi kesadaran naik kelasnya. Selalu memburu yang lebih tinggi lagi. Misalkan, setelah jadi presiden tentu ingin meneruskan yang kedua kalinya. Wakil presiden ingin jadi presiden lima tahun ke depan. Para elite partai politik berebut jabatan Ketua dengan harapan jadi calon presiden dan wakil presiden, selain jabatan-jabatan politik lainnya yang lebih tinggi. Bahkan, beberapa waktu yang lalu, pimpinan organisasi kemasyarakatan pun ikut berebut kursi kekuasaan, semoga tidak terus mewabah pada periode ini, jadi ketua ormas sekadar batu loncatan politik. Cerita kok tiada akhir. Kursi-kursi politik yang mereka duduki itu sekadar tempat naik tangga politik ke posisi lebih puncak. Kekuasaan, seolah membius, menjadi opium.

Salahkah mereka? Oh, sama sekali tidak salah, tak ada aturan main yang dilanggar. Itu kan hak politik setiap orang. Juga tak ada larangan. Siapa sih yang mau melarang para politisi itu menyalurkan syahwat dan keahlian politiknya yang begitu hebat dalam mengejar kekuasaan. Kalau tak tersalurkan malah tumpah ke segala arah, bisa gawat. Lagi pula, politik itu pada tataran yang paling konkret (politik praktis) memang berebut kekuasaan. Suatu perebutan yang sah melalui aturan main sistem politik. Pasti banyak orang berlomba karena menyangkut jabatan, uang, dan prestise.

Tapi tunggu dulu. Absah dari segi hak dan prosedur politik tentu tak ada perkara. Namun ada soal-soal di luar verbalitas. Sebutlah soal kepantasan. Apakah pantas bahwa Pemilu 2004 belum juga kering aromanya, sertamerta para elite itu sudah membidik posisi politik Pemilu 2009? Begitu ya begitu, tapi jangan begitulah, kata orang Jawa. Gemar kuasa memang tak salah, tapi ya bernapaslah sedikit. Kesannya kok rakus, tak pernah puas. Kalau pun penyakit rakus itu sulit dihilangkan, ya jangan keterlaluanlah. Malulah sama rakyat, sedikit saja. Tak kalah pentingnya soal pertanggungjawaban publik. Bagaimana berpikir meraih mahkota 2009, padahal kinerja dan langkah awal masih belum kelihatan secara meyakinkan. Belum berkeringat kok sudah berpikir tahun 2009. Lebih jauh lagi, apakah para elite itu yakin dapat mengkhidmatkan jabatan yang didudukinya benar-benar untuk rakyat. Dapat membebaskan negeri ini dari krisis dan masalah. Sebutlah tahta untuk rakyat. Kekuasaan untuk berkhidmat bagi bangsa. Jadi, bukan masalah keabsahan, tapi menyangkut etika politik dan pertanggungjawaban publik.

Kita sebenarnya tak terlalu mencemaskan sikap pragmatis para elite. Politik memang memiliki watak pragmatis, berorientasi pada kegunaan dan jalan mudah dalam mencapai tujuan. Tapi yang kita cemaskan ialah pragmatisme, ketika sikap pragmatis itu telah bersemi jadi kebiasaan, watak, bahkan alam pikiran yang mendarah-daging. Lalu para elite itu menjadi keranjingan dan tak pernah sembuh dari kebiasaan menempuh cara-cara menerabas dan semata-mata mengejar jabatan. Akhirnya politik menjadi menghalalkan segala macam cara demi tujuan. Politik menjadi tidak terbingkai etika dan akuntabilitas publik. Politik menjadi tidak sensitif bahkan sebaliknya mengoyak nilai benar-salah, baik-buruk, dan pantas-tidak pantas. Politik sekadar mengejar kekuasaan belaka, dengan wajah muka badak. Jadi predator kekuasaan. Politik jadi dewa. Gejala politisi pemburu kekuasaan bisa membentuk mental tak tahu diri. Belum kelihatan berbuat, sudah ingin makan kursi lagi. Sudah tahu gagal dan tak memberi apa-apa untuk rakyat, masih juga ingin berkuasa. Jadi eksekutif, jadi anggota parlemen, jadi pejabat publik dengan penuh percaya diri dan kadang keangkuhan. Apa maunya mereka? Dalam bahasa agama seperti tidak mau bersyukur. Kenapa sih tidak memulai dari apa yang ada untuk berkhidmat bagi bangsa, bagi kemanusiaan, bagi kehidupan. Bukan terus berpikir soal kursi kekuasaan, kapan habisnya? Berkacalah sedikit, sudahkah berbuat untuk rakyat dengan jabatan yang ada sekarang. Jabatan itu amanat, bukan barang koleksian.

Para politisi tak tahu diri sering merasa pantas untuk jadi ketua partai. Masing-masing mematutkan diri jadi ketua, jadi sekjen. Tidak peduli apakah dirinya punya basis massa yang kuat atau tidak, yang penting menduduki kursi partai. Bila perlu dengan mengandalkan politik uang dan siasat bulus. Soal basis massa tak dipusingkan, semua bisa diatur mungkin. Rakyat gampanglah dimobilisasi, dipengaruhi. Bila perlu bikinlah persyaratan-persyaratan jadi pengurus partai yang memungkinkan orang lain sulit masuk sebab dapat mengancam hegemoni para elite inti untuk tetap berkuasa di partai itu. Kan partai kita, semaunya kita sendiri. Tak tahu persis apakah ambisi-ambisi yang meluap-luap seperti itu didasari untuk membesarkan partainya atau sekadar menjadikan partai sebagai kuda tunggang politik. Partai boleh tetap kecil dan kalah, konstituen boleh kecewa dan lari, yang penting sang politisi dan para elite partai pemburu kuasa itu tetap bisa bertahta.

Orientasi kekuasaan yang berlebihan juga bisa mematikan perhatian dan pegkhidmatan politik untuk rakyat. Ada logika, ketika politik bersifat power-over (orientasi mengejar kekuasaan) begitu tinggi, maka politik yang bersifat power-to (orientasi politik untuk publik) cenderung rendah. Mimpi siang malam para politisi sekadar memburu tahta, tak peduli nasib rakyat. Mereka hanya memikirkan dan memperjuangkan nasib dirinya sendiri. Kalaupun melibatkan rakyat sejauh menguntungkan bagi perjalanan politiknya untuk naik tangga. Punggung rakyat bahkan sekadar jadi tempat loncatan politiknya yang cerdik. Rakyat sekadar jadi komoditi. Rakyat hanya jadi objek keserakahan politik. Berpolitik persis perilaku rubah.

Sebenarnya kita ingin mengetuk nurani dan akal bersih para elite politik di negeri ini. Berhentilah minum air kekuasaan secara berlebihan, nanti keselek kata orang Jawa. Tenggorokan bisa sakit. Perut malah bisa kembung, lalu meledak. Apalagi air yang diminum itu najis atau setengah najis, bisa tambah runyam. Bisa jadi racun, dan berat pertanggungjawabannya nanti di akhirat. Kalau Anda haus dan di hadapan ada air, kata para sufi, minumlah seperlunya. Bila perlu jangan minum, jangan-jangan itu racun. Malah sebaliknya, sehabis minum air, gentongnya sekalian dimakan. Nafsu kuasa kok tidak ada habis-habisnya.

Berkonsentrasilah dan berkhidmatlah secara total dengan jabatan yang kini Anda duduki, insya Allah berkah. Lupakan mahkota 2009 dan jadilah negarawan atau politisi yang benar-benar amanah. Percayalah jika berprestasi dan berkhidmat untuk bangsa dan negara, untuk rakyat, maka tahun 2009 akan jadi miliki Anda. Jika para elite itu berada di eksekutif, bekerjalah maksimal untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan yang baik dan benar, rakyat tentu akan berada di belakangnya. Jika jadi anggota DPD dan DPR/DPRD, perjuangkan dan laksanakan amanat rakyat yang diwakili, pasti tahun 2009 terpilih kembali. Kalau jadi pengurus partai, besarkanlah dan bangun partai untuk jadi besar dan memikat di hati rakyat, tentu tahun 2009 akan jadi partai pemenang atau setidak-tidaknya memperoleh dukungan rakyat yang signifikan, bukan jadi partai ecek-ecek terus.

Tapi memang tidak mudah untuk jadi negarawan. Untuk jadi politisi yang bertanggung jawab. Lebih-lebih mereka yang syahwat kekuasaannya tak bisa dibendung. Kursi kekuasaan selalu jadi incaran, sekecil apa pun, apalagi yang menggiurkan. Kekuasaan telah jadi candu bagi mereka. Kekuasaan telah menjadi simbol keserakahan dan keserakahan telah menjadi kekuasaan baru. Dalam watak kekuasaan yang serba memikat semacam itu makhluk pemburu kuasa tidak akan pernah mau berhenti, kecuali ajal memaksanya. Lalu bau busuk menjalar di sekiling kita, dan rakyat kemudian menyumpal hidung mereka sambil berkata: kami berlindung kepada Tuhan dari bau amis para politisi!

----------------
Sumber : Republika.co.id

0 Comments:

Post a Comment

<< Home