Rumah Tanpa Pagar
Di tengah watak kota besar, tempat rumah-rumah makin mengisolasi dirinya, makin mempertebal temboknya, makin meninggikan pagar-pagar mereka. Malah pagar itu tidak cuma ditinggikan, tapi kadang perlu ditanami pecahan kaca, dililit kawat berduri, dan kalau perlu malah dialiri strum tegangan tinggi.
Pada saat semua pihak merasa terancam bahaya, merasa harus mengamankan diri dengan sekat-sekat yang kokoh, masih ada seorang teman malah membiarkan rumahnya telanjang tanpa pagar. Selain berumah tanpa pagar, ia juga memiliki kebun, juga tanpa pagar. Kebun itu hanya punya pembatas, dan itupun cukup dengan batas pepohonan hidup saja.
Ketika kepadanya ditanyakan, apakah ia tak khawatir jika nanti kebun tetangga akan mendesaknya, mengurangi jatah kaplingnya. Teman ini menjawab sekenanya: kebun ini luas. Kalaupun didesak, desakan itu pasti tak seberapa. Tidak akan membuat kebun pendesak bertambah luas, dan tidak membuat kebun yang didesak menyempit. Itupun kalau kebun tetangga itu benar-benar mendesak. Desakan itu juga tak membuat si pendesak tambah kaya karena desakannya, dan tak membuat saya tambah miskin karena desakannya. ''Jadi apa yang harus digelisah kan,'' katanya.
Ketika suatu kali pohon kelapanya digasak orang dan si pelapor tergopoh-gopoh menganggap penggasakan itu musibah, si kawan ini tertawa saja. ''Kelapa dimakan tupai saja kita tidak ribut. Apalagi ini yang mengambil manusia. Jadi apanya yang harus dipersoalkan,'' katanya.
Kawan inilah yang membiarkan rumahnya tanpa pagar. Dan ketika hal ini ditanyakan kepadanya, ia juga menjawab seperti biasa, sekenanya. ''Pagar rumah saya adalah tinja,'' katanya. Saya butuh meraba-raba maksud dari jawabannya. Tapi baru ketika menjelaskan konteks persoalannya, mengertilah saya. ''Pengaman rumahku cukup tetanggaku. Jika istriku memasak dan tetangga merasakan masakanku, dia pasti akan ikut menjaga rumahku,'' jawabnya.
Oo, begitu. Jadi menurutnya, dengan cuma menganggap orang lain adalah keluarganya, seluruh tetangga di kampung itu adalah penjaga rumahnya. Tapi argumentasi itu pasti cuma cocok untuk hidup di kampung, dengan pola bertetangga yang masih khas itu. Di kota mana mungkin. Tanpa melindungi rumah dengan pagar-pagar tinggi, tanpa penjagaan puluhan satpam, tanaman beling dan lilitan kawat berduri, rumah semacam itu hanyalah kekonyolan karena menantang bahaya.
Teman saya ini tidak membantah. Tapi sejenak kemudian ia menambahkan, bahwa di kota-kota besar, perampokan dan penjagalan, malah hampir selalu terjadi justru di rumah-rumah bertembok tinggi, bersatpam, berpecahan kaca dan berlilit kawat berduri. Rumah yang terlihat paling megah dan paling aman pun, adalah rumah yang bisa paling tidak aman bagi penghuninya.
''Apalagi jika penghuninya koruptor,'' kata sang teman. ''Rumahnya puluhan kamar, puluhan satpam, berkolam renang, berpagar tinggi, beralarm, tapi dia sendiri tidur di penjara,'' katanya, kali ini dengan tertawa.
Jadi menurutnya, ini bukan soal desa dan kota, ini soal kepercayaan kepada diri sendiri dan kepercayaan kepada orang lain. Kepercayaan kepada kebaikan diri sendiri, untuk bisa memiliki kebaikan orang lain. Dan jika sudah menyangkut soal kebaikan, di desa dan di kota apa bedanya.
Teman saya itu, agaknya sudah mengujinya. Ia membiarkan halaman rumahnya terbuka dan ia masih hidup hingga saat ini. Ia bisa dengan tenteram meniduri rumahnya yang cuma dijaga tetangga itu. Berbeda dari si rumah megah, yang ditinggalkan penghuninya untuk tidur di penjara, seperti apa yang dikatakannya itu. (prie gs/CN07)
------------------
sumber : Suaramerdeka.com


0 Comments:
Post a Comment
<< Home