Saturday, August 13, 2005

Supriono

Rabu, 15 Juni 2005

Namanya Supriono. Pada pemilihan umum lalu, seperti warga negara lainnya, tentulah ia menetapkan partai pilihannya. Begitu pula dalam pemilihan presiden, ia memilih salah satu pasangan. Dalam politik, suara Supriono begitu penting. Tapi, setelah itu, dia tak berarti apa-apa. Apalah artinya seorang pemulung. Dia bukan siapa-siapa dan tak berarti apa-apa ketika kebijakan pembangunan diputuskan. Dia bukan siapa-siapa ketika mal-mal untuk orang berduit dibangun, ketika pengusaha dan birokrat korupsi miliaran rupiah, ketika pemuka agama berkhotbah tentang etika dan moral. Bahkan, Supriono bukanlah siapa-siapa ketika kemiskinan adalah angka-angka statistik dalam catatan pemerintah.

Dua pekan lalu, gerobak Supriono tidak lagi berisi kardus dan botol plastik, melainkan jenazah anaknya, Nur Khaerunnisa, berusia 3 tahun. Ia panik. Uang tidak punya. Bersama anak lelakinya, Mursiki Saleh, 6 tahun, gerobak itu ia dorong dengan perasaan sangat bingung. Tujuannya, stasiun kereta api Tebet untuk nanti dikebumikan di perkampungan pemulung di Bogor --tempat teman-temannya yang mungkin dapat membantu. Sesampai di stasiun, jenazah bayi --yang sudah dingin, kaku, dan hanya dibungkus sarung kumal itu-- ia bopong. Beberapa orang mencurigainya. Polisi kemudian membawanya ke Polsektro Tebet.

Supriono semakin gundah. Dia dicurigai membunuh anaknya. Ditanya macam-macam dan kemudian bayi yang meninggal karena diare itu, dibawa ke RS Cipto Mangunkusumo. Sore, mayat Nisa baru bisa keluar dari RSCM. Supriono semakin bingung. Polisi dan rumah sakit tak terpikir untuk meminjamkan ambulans atau memberikannya sedikit uang. Lalu, ke mana jenazah ini akan dibawa? Dibawa ke Bogor, sudah sore, sudah tak mungkin. Uang pun tak punya. Fardhu kifayah belum dilakukan. Dalam kondisi seperti itu, Supriono terus membopong jenazah Nisa. Ia ingat Ibu Sri, tempatnya dahulu mengontrak di Manggarai. Dengan naik bajaj berongkos lima ribu rupiah sisa uangnya, Supriono membawa Nisa.

Alhamdulillah, masih banyak orang baik. Sampai di Manggarai, warga cepat memberikan bantuan. Mereka mengurus jenazah Nisa dan patungan membayar biaya untuk Dinas Pemakaman Rp 350 ribu, biaya kafan dan lain-lain Rp 250 ribu. Esoknya, jenazah Nisa dikebumikan dengan layak. Supriono bukanlah polisi yang meminta uang di perempatan jalan dan membeking para penjudi, bukan birokrat yang membuka laci mejanya agar diberi uang, bukan bandar narkoba yang menjadikan murid sekolah dasar sebagai sasarannya, bukan politisi yang menggunakan anggaran belanja untuk pelesiran, bukan pejabat pemerintah yang menganggap uang negara warisan orang tuanya, bukan perampok yang membunuh sopir-sopir taksi dan tukang ojek untuk mendapatkan puluhan ribu rupiah.

Supriono seorang pemulung --yang dengan tenaganya mencari nafkah halal untuk keluarganya. Menjual kardus dan botol plastik bekas untuk mendapatkan sepuluh ribu rupiah sehari. Dia tidak meminta uang yang bukan haknya, tidak menggunakan tenaganya untuk memeras orang yang lebih lemah. Kemiskinan membelitnya, tapi dia tidak minta apa-apa. Supriono membopong mayat bayinya. Orang-orang menyaksikan dengan pandangan aneh dan curiga. Media massa memberitakan tragedi itu, dan jutaan manusia mengetahuinya. Ada yang mengucurkan air mata dan memberikan bantuan semampu mereka. Tapi, banyak pula melihatnya sesuatu yang biasa, bukan apa-apa, dan segera melupakannya karena itu mengusik makan pagi mereka.
Di mana kita?



(Asro Kamal Rokan )
-----------------------
Sumber : www.Republika.co.id

1 Comments:

At 10:45 AM, Anonymous Anonymous said...

High court to hear blog suit; Smyrna councilman claims anonymous defamation
DOVER , A lawsuit seeking to identify anonymous posters to an Internet Web log will be decided in the Delaware Supreme Court, a case some say could set precedents for free speech online.
You driving me out of my mind with your splendid blog! I must have you placed under bookmark!
I have a cash advance austin site that is a great resource for cash advance austin

 

Post a Comment

<< Home