Istidraj
Oleh : Widi Yarmanto
MASALAH dan keinginan manusia tiada pernah habis. Apalagi jika hasrat itu tak terkontrol. Biarpun harta segunung, misalnya, tak pernah merasa cukup. Kendati pangkat memberati pundak, umpamanya, masih tak puas. Maka, alih-alih tenteram, yang mencuat justru keserakahan.
''Ada sesuatu yang membuat manusia bermasalah dan sulit menggapai keinginannya,'' kata Ustad Yusuf Mansur, pemilik Pondok Pesantren Tahfidz Qur'an-Daarul Qur'an, Cipondoh, Tangerang. Solusinya? Mudah dan sederhana. ''Mengubah pola pikir dan pola ikhtiar melalui Wisata Hati,'' kata pria kelahiran Jakarta, Desember 1976, itu.
Wisata Hati adalah program konseling untuk menata hati agar bisa menikmati ketenangan, keindahan, keselamatan, dan keseimbangan hidup. Hati diajak dialog agar tak membatu. Jujur pada diri sendiri. Sebab menyalahkan orang lain --untuk penderitaan sendiri-- niscaya hanya menambah satu penderitaan lagi.
Koreksi batin. Mengapa kesusahan demi kesusahan menghampiri kita? Mengapa penyakit datang? Dalam kekusutan hidup pasti terkandung pesan dan hikmah. Sesungguhnya, ketika merugikan orang lain, kita sendirilah yang merugi kelak. Dan, kala menyusahkan orang, kita sendiri pula yang menanam kesusahan itu.
Jadi, penyebab utamanya bersumber pada diri sendiri. ''Kita sendiri yang mengundang permasalahan,'' katanya. Perbuatan buruk yang kita lakukan justru akan mengantar pada kenestapaan, yang mungkin saja malah berkepanjangan. Tiada manusia yang bisa lolos dari kejaran akibat kebusukannya.
Di Wisata Hati, Yusuf menekankan kekuatan doa dan sedekah. ''Itu yang akan memberi kearifan jawaban atas persoalan hidup,'' ujarnya. Sedekah bisa menolak bala, menyembuhkan penyakit, memanjangkan umur, menyelesaikan masalah --termasuk finansial-- dan memenuhi keinginan.
Sebuah testimoni dituturkan. Seorang pria eksekutif muda, 38 tahun, merasa kehidupannya tak tenang. Ia berpendidikan luar negeri, dan tentunya lebih demokratis. Ternyata tidak. Soal kecil, karena salah merespons, malah menebar percekcokan. Istri tersinggung, atau sebaliknya.
Suatu ketika, usai subuh, dia joging di kompleksnya. Pada putaran pertama, terlihat seorang wanita duduk di pinggir jalan sembari menangis. Tangisan itu tak diacuhkan. Juga pada putaran kedua. Baru di putaran ketiga, pria itu mendekat, lalu duduk di samping wanita itu. Hati dia berusaha menyelami masalah wanita ini.
''Saya baru saja di-PHK,'' tutur perempuan itu. Sepagi itu dipecat dari kerja? Ibu kerja apa? ''Saya buruh cuci pakaian. Empat hari tidak bisa masuk karena suami sakit,'' katanya. Begitu masuk untuk pinjam Rp 25.000 malah dipecat.
Pria itu prihatin. Buru-buru diulurkan uang Rp 40.000. Tak hanya itu. Ia juga ingin melongok pondok ibu tersebut. Dan, ketrenyuhannya makin dalam saat melihat pria kurus tergolek di tempat tidur. Rumahnya sangat sederhana, bocor di sana-sini. Jauh dari layak. ''Ya, saya harus lebih mensyukuri hidup dan nikmat Allah,'' pikir pria itu.
Pulang ke rumah, eksekutif muda itu tak lagi berwajah mendung. Ia bersiul riang. Istrinya heran. Ada apa? Rupanya, hati dia tersentuh oleh ibu pencuci pakaian. Sentilan itu mampu mengubah cara pandang dan pola pikir. Makna sedekah beberapa lembar puluhan ribu telah melumerkan problem rumah tangganya. Jadi, pandai-pandailah bersyukur!
Memang, kita sering mengeluh ketimbang bersyukur. Selalu melirik si kaya, kemudian ngrasani: ''Ngaku-nya Islam tapi tak pernah salat. Lagaknya sok.'' Ataukah orang Indonesia itu hanya mahir mengevaluasi orang lain, dan jago menuntut: ''Kok, Tuhan tidak adil, sih?''
Nanti dulu! Jangan mengukur ibadah salat dengan kejayaan, kekayaan, dan kesejahteraan. Mungkin Allah tengah menjatuhkan istidraj, penundaan hukuman. Buah kebusukan itu pasti terwujud. Begitu janji Allah. ''Jangan sampai istidraj berlangsung hingga kita masuk liang kubur. Subhanallah, na'udzubillah,'' tulis Yusuf dalam buku Wisata Hati-Temukan Penyebabnya Temukan Jawabannya.
Dalam buku itu dikisahkan seorang kaya raya dari rezeki yang tak diridoi Tuhan. Belasan tahun keluarga itu hidup harmonis. Suatu hari, gadisnya yang semata wayang akan bersekolah ke luar negeri. Besok berangkat, dan karenanya malam itu dia pamit pada karibnya. ''Kenapa temanmu tidak kamu ajak ke sini saja,'' kata si ayah. Tidak bisa.
Maka, diantarlah putri cantik itu oleh sopir pribadinya, yang telah mengabdi dua tahun sebelum anak gadisnya lahir. ''Jangan pulang terlalu malam, ya,'' pesan orangtuanya. Pukul 22.00 berlalu tanpa kabar. Hati orangtua waswas. Pukul 24.00 belum juga pulang. Ibunya mulai menangis, dan ayahnya terduduk lemas. Tak tahu harus mengontak siapa, kecuali lapor polisi.
Esoknya, sekitar pukul 08.00, gadis itu pulang dengan wajah amat sangat kusut, diantar dua petugas kepolisian. Ternyata, malam itu, dia digagahi sopirnya sendiri. Pleng! Suatu musibah yang tak terbayangkan. Bumi yang dipijak seakan runtuh. Kedua orangtuanya pingsan. Rumah itu pun berubah jadi lautan air mata.
Setelah itu, anehnya, tiap malam pria kaya tersebut dihantui mimpi buruk. Ia justru bermimpi memerkosa anak gadisnya sendiri, bukan sopirnya. Tak masuk akal. Hancur sudah masa depan si anak. Sedih dan stres menimpa berkepanjangan. Akhirnya, dalam kehidupan nyata, rumah tangga milyuner itu pun amburadul.
Itulah contoh istidraj. ''Perbuatan buruk akan menghancurkan kehidupan, termasuk orang-orang yang kita sayangi,'' tulis Yusuf. Anak itu lahir, tumbuh, dan dibesarkan dengan ongkos dari setan --lewat uang haram. Jadi, ''Adalah wajar setelah si anak jadi kembang, yang memetik pun setan.'' Subhanallah!
[Esai, Gatra Nomor 43 Beredar Senin, 5 September 2005]
-------------------
Sumber : www.Gatra.com
0 Comments:
Post a Comment
<< Home