Tuesday, April 15, 2008

Budaya Antre dan Sabar




Kesabaran adalah cahaya yang menerangi manusia dalam
kegelapan. Sementara, kegelapan adalah musibah yang
mengguncang batin dan jiwa.



Entah, siapa yang kali pertama mempromosikan slogan “Budayakan Antre”. Pesannya, agar orang mau tertib dan tidak saling serobot. Tetapi imbauan itu, perlahan membumi menjadi budaya sesungguhnya. Antre minyak tanah, antre sembako, antre raskin, antri macet, dan antre gas elpiji juga terjadi.


Kini, tanpa diimbaupun, antri benar-benar jadi budaya. Lihat betapa tertibnya, jerigen minyak tanah yang diikat tali, berbaris memanjang di agen agen penjual minyak tanah. Antre dalam kondisi begini, pasti menjemukan. Agar tak sampai membakar amarah, para agen kelihatannya perlu mengganti slogan baru. “Budayakan Sabar”.


Namun, tanpa diajari, rakyat bangsa ini sudah mewarisi budaya sabar sejak turun temurun. Wejangan bersabar diri, selalu dinasehatkan para orang tua kita. Islam juga menjadikan sabar dan sholat, sebagai penawar ampuh dalam menghadapi kondisi sulit.


As Shobru minal Iman, Sabar adalah setengah dari iman. Sementara setengahnya lagi adalah ungkapan rasa syukur atas nikmat yang diterima. Seorang hamba yang mampu memadukan dan menggabungkan sabar dan syukur, maka

dia telah menggenggam kebahagiaan sejati dalam hidupnya. Ia akan damai dan tenang untuk hidup dimana saja, karena ia telah menyempurnakan imannya untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT. Dalam Hadits Qudsi Allah berfirman: Siapa yang tidak bersyukur atas nikmat-Ku. Tidak bersabar atas ujian-Ku. Tidak mau menerima ketetapan- Ku, maka keluarlah dari bumi dan langit-Ku dan carilah Tuhan selain Aku!


Rasulullah membagi kesabaran dalam empat kategori: sabar dalam melaksanakan perintah Allah, sabar ketika disakiti oleh manusia, sabar atas musibah yang menimpa, dan sabar dalam kefakiran dan kemiskinan.


Kesabaran adalah cahaya yang menerangi manusia dalam kegelapan. Sementara, kegelapan adalah musibah yang mengguncang batin dan jiwa. Para ahli ma’rifat mendefinisikan kesabaran sebagai; menahan diri dari kebencian, menjaga lisan dari keluhan, menjaga anggota tubuh dari perbuatan merusak, dan menjaga hati dari kekufuran.



Orang yang memahami hakikat kesabaran, akan selalu bersikap tenang. Tidak pernah berkeluhkesah, mencari kambing hitam, apalagi putus asa. Dengan kata lain, implikasi kesabaran akan memancarkan sinar keteduhan, sikap yang tetap bersahaja, dan ucapan santun yang menenangkan jiwa.


Bagi orang-orang yang sabar, Allah memberikan reward untuknya. Seorang ulama bernama Abu Ali Ad Daqaaq menyatakan, “Orang-orang yang mampu bersabar telah mendapatkan kemuliaan hidup di dunia dan akhirat. Sebab mereka telah mendapatkan kebersamaan hidup dengan Allah SWT.”


Sebagaimana Allah juga berfirman, “Jadikanlah sabar dan  shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’” (QS. 2:45).


“Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS. 3:146).


Ketika antre kebutuhan masyarakat kecil mulai jadi budaya, sabar menjadi kata tak jemu untuk terus diingatkan. Pun, sikap sabar juga tak melulu dominasi masyarakat. Sabar harus jadi sikap yang diteladankan pemimpin negeri ini. Sabar untuk tidak korupsi dan sabar menahan diri dari mementingkan kepentingan pribadi.


Bangsa ini, tentu tak menginginkan tragedi Mei 1998 terulang kembali. Atau teriakan kelaparan memicu kerusuhan, sebagaimana yang saat ini terjadi di Haiti. Rakyat yang kelaparan menyerbu kantor kepresidenan di negara itu. Harga kebutuhan yang melonjak tinggi, menjadi pemicunya.


Tanpa sabar, antre yang kian membudaya, juga mendorong lunturnya nilai-nilai moral dan etika. Tentu kita prihatin, melihat seorang ketua badan kehormatan DPRD, menyerobot jalur busway karena tak sabar antri macet. Alasan mengejar jadwal ceramah peringatan Maulid Nabi, bukan dalih yang dibenarkan untuk melanggar. Karena Rasulullah tidak pernah mengajarkan umatnya berlaku curang.


Sikap semacam ini, harus dibuang jauh. Agar rakyat dan pemimpin menyatu dalam satu hati. Jika antre berlaku untuk masyarakat, antre mestinya juga wajib bagi pemimpinnya. Di tengah ketidakpastian, rakyat negeri ini perlu teladan dan nahkoda yang tak hanya bisa bicara.



Maka, kedamaian dalam antrean- antrean yang melelahkan ini, jangan cederai dengan perilaku pemimpin yang tidak sabar.   


(abu arrosyad)

Sumber : RepublikaOnline

0 Comments:

Post a Comment

<< Home