Keteladanan Amien Rais
Sabtu, 11 Desember 2004
TIDAK ada bangsa yang kelebihan pemimpin. Yang potensial terjadi adalah sebaliknya, yaitu kekurangan pemimpin. Kekurangan pemimpin ini bukan saja di tingkat bangsa, bahkan juga di level partai atau organisasi.
Kekurangan pemimpin timbul karena banyak sebab. Satu di antaranya sirkulasi elite yang macet karena pemimpin lama terus bertahan, sehingga suksesi melalui regenerasi terputus.
Banyak pemimpin yang sadar benar ihwal itu, tetapi sedikit sekali di antara mereka yang konsisten. Terlebih, jika suksesi itu menyangkut dirinya sendiri. Yang muncul biasanya adalah resistensi yang keras dan kepala batu.
Dalam perspektif itulah, publik layak angkat topi kepada Amien Rais. Pemimpin Partai Amanat Nasional (PAN) ini justru mengambil inisiatif untuk lengser. Katanya, "Bila kita mau bersikap jujur terhadap diri sendiri, maka segera tampak pada kita bahwa memimpin PAN pada tingkat DPP jelas memerlukan pembeliaan atau regenerasi. Nuansa tomorrow harus lebih kuat daripada nuansa yesterday. Pandangan yang future-oriented harus lebih dominan ketimbang pandangan yang past-oriented".
PAN didirikan pada 23 Agustus 1998. Ini berarti, Amien Rais baru memimpin enam tahun. Sekalipun baru satu periode menjadi ketua umum, tetapi ia memutuskan untuk mundur sebagai Ketua Umum PAN pada Kongres Ke-2 PAN nanti.
Ada yang menyarankan agar ia duduk di Majelis Pertimbangan Partai, tetapi itu pun ditolak oleh Amien. Ia memilih berada di luar struktur partai. Alasannya pun sangat bijaksana. Yaitu, jika masih dalam struktur partai, sekalipun hanya sesekali memberi nasihat, akan ada kemungkinan ia masih membayang-bayangi terus. Akibatnya, ketua umum dan jajarannya ketika akan mengambil inisiatif, seolah perlu restu atau persetujuan Amien. "Dan itu saya kira tidak produktif," katanya.
Jadi, Amien Rais dengan sangat sadar dan sangat nalar untuk tidak menjadikan PAN identik dengan Amien Rais; Amien adalah PAN, PAN adalah Amien. Lebih jauh dari itu, Amien Rais, pendiri PAN itu, tidak ingin terjadi kultus individu terhadap dirinya.
Tentu saja, semua itu bukan keputusan yang gampang, terutama karena Amien Rais sendiri memang lebih populer daripada partainya. Dalam pemilu 2004, PAN mendapat 7.303.324 suara, sedangkan Amien Rais sebagai calon presiden --berpasangan dengan Siswono Yudhohusodo, meraih 17.392.931 suara. Artinya, yang memilih pasangan Amien Rais jauh lebih banyak, yaitu sekitar 10 juta suara lebih banyak.
Dibaca dengan kacamata yang lain, keputusan Amien Rais memilih berada di luar partai, bisa bermakna yang strategis, yaitu membuka ruang agar PAN lebih berkembang di bawah kepemimpinan generasi baru. Sang partai bisa tumbuh lebih populer daripada sang ketua umum. Karena itu, partai harus dilepaskan dari bayang-bayang sang pemimpin, sang pendiri, betapa pun karismatik dan populernya sang pemimpin sebagai tokoh reformasi!
Keunggulan di masa lalu, memang, tidak selalu masih relevan dengan masa depan. Tidak sedikit, bahkan yang telah usang. Karena itu, nuansa tomorrow harus lebih kuat daripada nuansa yesterday. Berdasarkan postulat berpikir yang lugas ini, Amien Rais lalu mengambil sikap yang sejalan dengan substansi reformasi.
Yaitu, ia menunjukkan keteladanan yang langka, sangat langka, untuk memulai regenerasi kepemimpinan dengan inisiatifnya sendiri. Dengan melibas kultus individu, termasuk jika menyangkut dirinya sendiri.
-----------------
Sumber : Media-Indonesia Online
0 Comments:
Post a Comment
<< Home