Wednesday, December 22, 2004

Kisah Gadis Kecil Tak Beralas Kaki

Oleh Miranda Risang Ayu

Senin, 28 Januari 2002

Perempuan muda itu ramping, rambutnya terkepang menjuntai seadanya, dengan rok batik tak berlengan, dan duduk di pojok kereta berkursi tunggal. Ia sedang berbadan dua, dan di pangkuannya duduk seorang anak balita tak beralas kaki asyik memainkan dot di mulutnya. Selang beberapa kursi darinya, duduk seorang anak perempuan usia sekolah dasar, dengan seorang anak kecil pula di pangkuannya, tidak beralas kaki. Sementara itu, beberapa meter di depannya, bermain tiga anak lelaki-perempuan usia hampir sebaya, juga tanpa alas kaki.

Sekilas, eksistensi perempuan muda berbadan dua dengan seorang bayi di pangkuan, gadis kecil dengan seorang balita di pangkuan, dan sekumpulan anak yang ribut di sudut lain, seperti tidak ada hubungannya. Mereka hanya sama-sama dekil. Tetapi, ketika kereta mulai berjalan kembali, tiba-tiba suara perempuan muda di kursi tunggal itu menggelegar.

"Diam! Kereta sudah mulai jalan, duduk diam! Saya sedang sakit dan saya muak melihat kalian berkeliaran seperti itu!"

Kereta melaju dan seluruh kompartemen membeku. Pohon-pohon yang melambaikan dedaunannya di luar kereta mulai berlari, tetapi seperti menjauh. Perempuan muda beransel yang hendak meminum seteguk air mineral, menghentikan botol dalam genggamannya. Perempuan-perempuan tua yang bercengkerama, merapatkan bibirnya, dan seorang bapak tua yang tengah tertidur sampai terbeliak bangun dan langsung bertanya kepada orang tak dikenal yang duduk di depannya, "Ada apa? Hei, ada apa?"

Tidak ada yang dapat menjawab. Hanya, enam orang anak tak beralas kaki yang hampir sebaya di dalam kompartemen itu, tiba-tiba menjelaskan sumber mereka dengan mengerumuni perempuan muda di kursi tunggal itu, "Kenapa, Bu?"

"Duduk! Saya sedang sakit dan keributan kalian membuat saya bertambah sakit!"

Jika saya kenal perempuan itu, ingin saya mendatangi perempuan itu dan protes dengan suara yang hampir sama kerasnya, "Hei perempuan, jika kamu pusing mengurusi anak sebanyak ini, mengapa kamu masih juga mau hamil dan hamil?"

Tetapi, saya tidak sampai melakukannya. Matanya yang sewarna dengan langit menerawang dan kepucatan wajahnya menegaskan sesuatu di sekitar matanya. Bukan, lebam itu terlalu besar dan biru untuk sebuah jerawat. Sesuatu atau seseorang, entah sengaja atau tidak, telah menyakiti wajahnya yang putih. Tidak ada air di matanya, mungkin karena duka kedirian memang terlalu murah untuk diwakili air mata.

Di sebuah stasiun pemberhentian, keriuhan terjadi ketika sang ibu dan enam orang anak yang liar sibuk membebaskan diri dari pintu gerbong yang sesungguhnya sudah terbuka lebar. Seorang anaknya mulai menjerit karena luka entah kena apa di bibirnya. Dan sang ibu itu malah diam menyulut sebatang rokok.

Andai saja saya bisa berteriak, "Hei, jangan bunuh bayi dalam kandunganmu itu dengan nikotin!" Sungguh saya akan melakukannya. Tetapi, tentu itu hanya pengandaian. Lagi pula, tidak ada yang suka kepada perempuan itu. Tidak ada. Anak-anaknya ribut, pakaiannya tidak sopan, dan bahasanya kasar.

Hanya, tiba-tiba saja, sesuatu terjadi. Anak gadis yang sedari tadi menggendong balita itu menghampiri ibu gilanya, menghela napas, dan serta-merta mengusapkan jemarinya yang mungil ke rambut ibunya yang pirang. Berkali-kali. Lembut sekali.

Dengan bisu, kereta melaju kembali semakin menjauhi jantung kota Sydney, seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Dan, di atas kemarahan yang telah meleleh oleh jari mungil gadis itu, sebuah pertanyaan tampaknya masih bisa dilontarkan: ke mana sih bapak dari anak-anak itu?

-------------------
Sumber : Republika.co.id

0 Comments:

Post a Comment

<< Home