Berawal dari Kegelisahan
Minggu,19 Januari 2003
Mungkinkah agama berhulu dari sebuah kegelisahan? Pertanyaan ini selalu menggelitik benak saya di saat membaca kisah orang-orang suci yang mencari Tuhan dan kebenaran.
Dalam buku Sejarah Hidup Muhammad karya Muhammad Husain Haekal, dituliskan bahwa kegelisahan hati Muhammad telah mengantarnya untuk menyepi di Gua Hira. Dan terbukti di sanalah ia menerima wahyu Ilahi untuk pertama kalinya melalui malaikat Jibril. Kisah hampir serupa juga dialami Musa, Ibrahim, dan Sidharta Gautama -- tiga tokoh yang rela meninggalkan kemewahan istana hanya untuk mencari kebenaran yang hakiki. Negeri ini juga dibangun dari kegelisahan kaum pelopor ketika mereka menyaksikan tanah airnya dikangkangi bangsa asing selama 350 tahun.
Kadang fikiran nakal saya juga sering berkeliaran bebas. Mungkin karena 'kegelisahan' Tuhan saat menyaksikan kebrobokan perilaku manusia di zaman Zahiliyah pula yang mendorong Ia mengutus Muhammad dan menurunkan Al Quran ke dunia fana. Pesan dalam Al Quran, sebuah buku yang mengandung visi moral dan kebaikan luar bisa juga mengilhamkan warisan intektual yang indah dan agung. Bersumber dari kegelisahan aktivitas intelektual para pengarangnya, ratusan ribu buku juga lahir dari pemahaman terhadap Al Quran.
Kegelisahan bisa menjadi energi untuk melakukan sesuatu yang bersifat positif. Miranda Risang Ayu, seorang penulis kolom, juga seringkali menelurkan buah pena dari kegelisahannya di saat mengamati komunitas muslim di Australia yang kian terpinggirkan usai tragedi WTC 11 September 2001.
Kegelisahan terhadap persoalan-persoalan aktual yang terus-menerus muncul dalam komunitas Islam, khususnya di Amerika Serikat -- menyangkut sejarah ilmuwan muslim klasik, penghargaan Islam terhadap pengetahuan, penyensoran, fanatisme, berbagai bentuk terorisme -- juga telah menggerakkan hati seorang ahli hukum, Khaled Abou El Fadl, membukukan esai-esai kritisnya dalam majalah The Minaret.
Esai-esai renungan kegelisahan Khaled dalam buku dengan penyuntingan memikat itu memang cukup menggigit dan menohok. Terutama bagi kaum muslim saat ini yang dikenal bersikap acuh tak acuh, masa bodoh, apologetis, atau bahkan apatis terhadap ilmu pengetahuan dan nalar. Dua unsur yang menjadi energi utama membangun kejayaan Islam, seperti yang pernah dicapai kaum muslim klasik perieode awal.
Kegelisahan memang bisa menjadi energi untuk melakukan sesuatu yang bersifat positif. Miranda Risang Ayu, penulis kolom Resonansi tiap hari Senin di Harian Umum Republika juga seringkali menelurkan buah pena dari kegelisahannya mengamati komunitas muslim di Australia yang kian terpinggirkan usai tragedi WTC 11 September 2001.
Di benak saya juga semakin berkecamuk, bahwa hidup adalah juga kegelisahan. Kegelisahan orangtua ketika berharap cemas menanti proses kelahiran anaknya. Kegelisahan saat beranjak dewasa dan membayangkan masa depan yang sulit kita pastikan. Kegelisahan saat kita merenungkan kehidupan setelah kematian.
Sebuah kegelisahan yang juga menghanyutkan saya untuk menulis sebuah puisi, walaupun tak seindah Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono.
Jiwa yang gelisah, mencari ketenangan dalam riuh gelombang, pasang menenggelamkannya hingga karam, lengannya lemah menggapai-gapai permukaan dangkal. Di sudut terlihat mercusuar cemas, mencoba menerangi dengan sinar keredupan, sebatas bayangan tiang menara menjulang. Jiwa yang gelisah, berenang pelan ke tepian, menghindar karang-karang terjal yang legam, kelam menghadang bersama kabut menghitam.
Andai saja para penguasa negeri kita yang -- konon -- gemah ripah loh jinawi ini memiliki sedikit rasa kegelisahan. Mungkin hati mereka akan tergerak, saat menyaksikan kehidupan rakyat yang kian terhimpit, nelayan yang kesulitan melaut lantaran harga solar melambung, sopir yang uring-uringan karena keuntungan yang kian menipis, anak-anak kecil yang berkeliaran mencari makan di pinggir jalan setiap malam, orang-orang yang kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian.
Andai saja para penguasa memiliki kegelisahan seperti yang dimiliki masyarakat dan mahasiswa, yang gencar berdemonstrasi menolak kenaikan harga BBM, Tarif Dasar Listrik (TDL), dan pulsa telepon. Tak hanya kegelisahan untuk lebih memikirkan upaya mengekalkan kursi kekuasaan dalam Pemilu 2004 mendatang!
(Endro Yuwanto, Wartawan Republika)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home