Karena terlalu Banyak Memandang
Hobi saya terhadap pijat telah membawa saya kepada pemijat ini; seorang pria tuna netra, yang reflek jari-jarinya membuat saya tertahan menjadi pelanggannya. Ia betul-betul mirip pemain piano klasik yang seluruh jari-jarinya berfungsi dengan baik. ‘’Jika memijat cuma tergantung pada jempol, sedikit saja pasien yang sanggup saya tangani,’’ katanya.
Jadi jempol, telunjuk, jari manis kelingking, punggung tangan, kepalan, pelipis tangan…semuanya… semuanya menjadi alat pijat yang sempurna, semuanya seperti punya mata. Ia juga melayani pijat refleksi jika perlu. Sambil merefleksi tak lupa mengurai simpul-simpul saraf secara rinci pasien yang dipijitnya. ‘’Ini saluran kandung kemih. Yang ini saraf mata. Kalau ginjal sebelah sini. Yang di sini pankreas…’’ katanya.
Jika yang dipijit butuh diyakinkan, ia akan mengeraskan pijitannya sampai terdengarlah pekik kesakitan si pasien. Akibat dari ini semua, ia bukan saja sanggup melayani pijat enak dan pijat sakit sekaligus, tapi ia juga bisa memijit serombongan pasien tanpa kenal lelah.
Akibat yang terakhir ialah, ia segera menjadi pemijat laris. Langganannya menyebar sampai ke luar daerah tempat tinggalnya. Ia juga melayani pendaftaran lewat telepon. Tapi kepada pendaftar pesanan, toleransinya terhadap keterlambatan tak lebih cuma seperempat jam saja. Jika si pendaftar tidak disiplin ia merasa boleh memijat tamu berikutnya.
Cara ini bukannya membuat pelanggannya tersinggung atau jera, tapi ia malah berhasil mendisiplinkan mereka. Ia telah menjadi pemijat semua orang, maka jika ada pasien yang coba-coba merusak jadwalnya, ia akan menjadi musuh banyak pelanggannya.
Meskipun ia telah menjadi pemijat laris bukan berarti ia lalu menjadi orang kaya. Rumahnya tetap sederhana, dengan dua anak dan seorang istri sesama tuna netra pula. Penghasilannya sebagai pemijat itu sekadar cukup utuk membuatnya hidup wajar seperti manusia normal layaknya. Tapi yang wajar bagi manusia normal ini, ternyata adalah sesuatu yang luar biasa bagi para tuna netra koleganya. Terbukti, di tengah pekerjaannya memijat, di rumahnya sering sekali orang ini kedatangan tamu sesama pemijat yang belum sesukses dirinya.
Ukuran sukses itu bagi mereka bisa jadi sederhana saja: berhasil keluar dari panti pijat, buka praktek sendiri dan hidup mandiri. Tapi betapa tak gampang bagi para pemijat tunantera itu untuk melampui target seperti ini. Maka keberhasilan pemijat langganan saya itu tampak menimbulkan kekaguman bagi para koleganya. Dan rumahnya akhirnya menjadi terminal, jika ada kolega yang sedang sepi kerjaan atau malah tengah dilanda persoalan.
Di rumahnya kini, malah telah tinggal seorang pemijat lagi yang bukan cuma tunanetra tapi juga seorang yang sejak kecil tak pernah kenal bapak-ibunya. Ia besar di panti asuhan. Dan panti yang selama ini membesarkannya merasa tak lagi bisa menampungnya. Ia lalu mengembara dan ke rumah pemijat sukes inilah akhirnya berlabuh untuk menjadi pemijat pengganti. Tegasnya: pemijat langganaan saya itu mulai menjadi bos.
Sambil berpijat, saya tak jarang menganggumi pencapaian orang ini. Banyak pasti pemijat tunanetra tapi sedikit saja yang sanggup menghidupkan seluruh jari-jarinya, mengidentifikasi di mana letak saraf mata, pankreas, ginjal, hati dan kandungkemih. ‘’Cuma memijat kebiasaan saya, maka seni memijat harus saya kuasai seluruhnya,’’ kata pemijat ini.
Dan dengan tekad inilah ia menjadi pemijat yang sekarang. Sambil dipijat saya sering didera rasa iri. Ia yang hidup cuma mengandalkan intuisi, yang terbatas ruang geraknya, dan cuma memijat saja konsentrasinya, telah memiliki seorang karyawan. Sedang saya, yang sehat seluruhnya, masih saja cuma sebagai karyawan. Ia yang terbatas pandangannya justru berkesempatan berkonsentrasi sedemikian rupa. Saya yang memiliki banyak obyek pandangan, malah bingung menentukan pilihan. Saya yang bisa memandang apa saja, malah gagal menangkap salah satunya menjadi modal hidup saya. Saya malah takut, jika mata yang normal ini malah cuma menjadi alat untuk memandang berbagai kemubaziran.
(Prie GS)
--------------------
Sumber : SuaraMerdeka.com
0 Comments:
Post a Comment
<< Home