Wednesday, January 05, 2005

'Ungkal'

Jumat,07 Mei 2004

Bocah SD itu melangkahkan kakinya. Sarungnya ia selempangkan di salah satu bahu. Begitulah kebiasaannya setiap Maghrib. Setiap azan menggema, ia bergegas ke masjid di bilangan timur Jakarta itu. Hanya, pada sore itu, ia melihat ada yang tak lazim baginya. Di halaman masjid terlihat beberapa batu persegi panjang yang ditumpuk di pikulan. Orang-orang biasa menyebutnya sebagai batu asah atau ungkal. Sebuah batu yang dipakai untuk mengasah pisau di masa lalu.


Di awal abad 21 ini, batu itu ternyata masih dijual. Di tengah kota Jakarta pula. Sang penjaja, masih menjualnya seperti di masa-masa lampau. Yakni, berkeliling dari satu tempat ke tempat lain dengan memikulnya. Siapa yang akan membeli? Berapa rupiah pula orang mau membayar harganya? Siapa yang masih merasa perlu batu buat mengasah pisau, ketika pisau yang baru pun dapat dibeli dengan harga yang murah. Bocah SD itu pun sudah tak tahu apa guna batu yang berwujud seperti bata tadi. Tapi, si pedagang ungkal itu tampaknya tak punya kata putus harapan.


Ia terus saja berkeliling menawarkan dagangannya. Entah berapa yang terjual. Baginya, yang terpenting pekerjaan itu halal. Selebihnya ia hanya akan berusaha dan berusaha. Saat lelah, ia akan beristirahat. Saat waktu shalat tiba, ia akan singgah ke masjid terdekat. Seperti yang dilakukannya petang itu. Ketika banyak orang yang berkecukupan kian jauh dari masjid, ia justru bersujud mengungkapkan rasa syukur atas hidup yang dikaruniakan Sang Pencipta. Ia tahu kehidupannya sangat berat. Tapi ia tak menyerah, dan bahkan terus antusias mengasah mata batinnya dengan menjaga shalat di masjid. Potret penjual ungkal itu menarik perhatian seorang dokter.


Ia dokter yang istimewa. Ketika banyak kawannya memilih menjadi budak industri obat dengan mengapitalisasi ''sakit'', ia justru sibuk menyebarluaskan cara hidup sehat. Ia menulis buku ''petunjuk dokter agar Anda jauh dari dokter''. Sebuah buku yang dijualnya murah, praktis sekadar pengganti ongkos cetak. Baginya, penjual batu asah itu sosok yang mulia. Banyak orang memilih hidup ''terhormat'' di mata orang lain dengan jalan haram. Korupsi, komisi, dan sebangsanya terus menjadi idaman. Orang tidak merasa risi menjadi pejabat dengan hidup berkelimpahan. Padahal, siapa pun tahu, gaji mereka sebenarnya kecil saja.


''Kita ini lucu,'' kata dokter itu, ''kita sering malu melakukan kerja halal karena dianggap kurang bergengsi di mata orang lain, tapi kita tak malu pada korupsi.'' Karena itulah, ia sangat menaruh hormat pada pedagang batu asah tersebut. Dengan segala kesulitannya, mereka terus bertahan untuk hidup terhormat. Di negeri ini, ada jutaan orang kecil seperti itu. Tak banyak yang menjadi penjual batu asah. Lebih banyak lagi yang menjadi pengasong, penyapu jalan, tukang sampah, pemulung, atau lainnya. Mereka orang-orang terhormat. Namun, mereka dikalahkan dalam kehidupan sosial. Yang dimenangkan adalah para durjana berdasi, yang bahkan tega menindas orang-orang mulia itu.


Potret demikian akan terus berkepanjangan ketika kita gagal memilih pemimpin yang benar. Di era IT kini harus tak ada lagi orang yang bermandi peluh memikul batu di tengah terik Ibu Kota hanya untuk mendapat sepiring makan. Jalan ke arah sana akan terbuka bila kita mampu memilih pemimpin yang bersahaja. Pemimpin yang mampu berempati pada orang-orang kecil seperti penjual ungkal itu.

Pemimpin seperti itu adalah pemimpin yang paling sering ke masjid, bersujud, serta tak henti mengasah nurani sebagaimana orang-orang lampau mengasah pisau di batu ungkal.

(Zaim Uchrowi)
----------------
Sumber : Republika.co.id

0 Comments:

Post a Comment

<< Home