Guru Kita Dahulu
Anda, saya dan anak saya, bisa jadi adalah golongan manusia yang sama jika sudah menyangkut guru-guru kita. Di setiap sekolah rasanya selalu ada guru yang mengesankan kita, seperti kesan anak saya terhadap gurunya.
Maka tidak heran ketika suatu kali, anak yang masih kelas dua SD itu suatu hari menyebut-nyebut nama gurunya seperti orang mengigau saja. Ketika hendak berangkat sekolah ia mengaku betapa akan tidak enak pelajaran hari ini karena guru itu tidak ada. Ketika ia hendak tidur, ia mengaku kangen bertemu guru itu karena ia dan teman-teman sekelasnya telah lama tidak bertemu.
Anak ini telah kehilangan sebagian kegembiraan hidupnya akibat guru mereka tak ada. Dan ketika guru itu kembali pulang dari tugas belajarnya, anak saya bercerita dengan gegap gempita bagaimana suasana ruang kelasnya. Bagaimana ia dan teman-temannya saling berebut menyambut guru mereka. Beberapa anak segera menyerbu dan merangkulnya, beberapa yang lain berebut minta digendong dan beberapa yang lain lagi malah cuma bisa menangis, termasuk anak saya.
Walau reaksi anak-anak ini terbilang keterlaluan untuk ukuran cuma rindu kepada seorang guru, tapi saya mengerti keadaan mereka. Selalu ada jenis guru yang kita kenang sedemikian rupa, selalu kita rindui dan walau kita telah tumbuh dan berubah, perasaan kita kepadanya tetap belaka. Saya tidak heran lagi pada pengalaman seperti ini.
Yang saya ingin tahu hanyalah, guru seperti apakah yang telah berhasil menghasut anak saya beserta teman-temannya itu untuk memiliki rasa kangen yang luar biasa itu.
Sampai saat ini saya idak tahu persis apa sebabnya. Tapi satu hal yang kemudian saya tahu adalah guru ini amat gemar berdoa termasuk mendoakan murid-muridnya. Doa yang rutin, yang selalu ia panjatkan sehabis ia rampung bersembahyang.
Saya tidak mau tahu apakah doa itu dikabulkan atau tidak. Saya juga tidak mau mengusut adakah kecintaan murid-murid kepadanya itu akibat doa-doanya. Yang saya tahu, dibutuhkan stamina yang luar biasa untuk memiliki ketahanan menjaga rutinitas, menjaga kontinuitas.
Untuk mengusir sakit kepala yang menjadi tamu tetap saya, seorang sinshe cukup membekali saya gerakan-gerakan tubuh sederhana, tidak berat, dan butuh waktu sebentar saja. Yang berat adalah menjaga rutinitasnya: gerakan ini wajib hukumnya di pagi dan malam hari. Sakit kepala itu belum hilang sepenuhnya, tapi saya gembira karena ia mulai datang cuma kapan-kapan saja.
Sulit saya melupakan guru saya di MA dulu. Banyak hal dari sikapnya yang mengesankan, tapi yang paling saya kenang adalah ketepatannya atas waktu. Jam enam seperempat, ia selalu sudah angker di mejanya. Ketika hari hujan dan semua orang boleh terlambat karena alasan kebanjiran ia tetap telah berada di meja pada jam yang sama.
Ketika seluruh angkutan kota mogok karena sebuah pesoalan ia tetap telah ada di mejanya pada jam yang sama. Jika semua hambatan itu dijadikan alasan demi mengesahkan keterlambatan, ia akan berdiri mengangkang di pintu gerbang dan melabrak siapa saja yang mengaku terlambat hanya karena sebuah hambatan.
''Jika hari hujan kalian bisa bawa payung. Jika angkutan mogok kalian bisa bangun lebih pagi dan jalan kaki!'' begitu selalu pernyataannya.
Sebuah pernyataan yang sangat terkenal di sekolah kami. Sebuah pernyataan yang meskipun tak selalu kami setujui tapi sulit untuk tidak kami hormati. Karena guru ini, untuk bisa duduk di mejanya tepat waktu, juga selalu memperhitungkan faktor hambatan dan waktu. Jika hujan ia berpayung, jika banjir ia menenteng sepatu, jika angkutan mogok, ia bangun lebih pagi dan benar-benar jalan kaki.
Ketika anak saya mengaku kangen pada gurunya itu, saya sedang menyangka bahwa semua ini digerakkan oleh sebuah ketulusan sang guru. Yang meskipun sederhana, tapi selalu dijaganya; berdoa untuk murid-muridnya.
(Prie GS/Cn07)
-------------------
Sumber : Suaramerdeka.com
0 Comments:
Post a Comment
<< Home