Permintaan tanpa Malu
Sabtu, 13 November 2004
MUSUH supremasi hukum adalah superioritas kekuasaan. Kekuasaan ekonomi membeli hukum, kekuasaan politik memelintir hukum. Hasilnya sama, yang bersalah dilindungi, bahkan bebas.
Buruknya penegakan hukum di negeri ini memang harus dilihat dari kuatnya pengaruh dua kekuasaan tersebut. Kekuasaan uang menyebabkan maraknya mafia peradilan, yaitu jual beli perkara dari penyidikan, pengadilan, bahkan hingga tingkat kasasi. Kekuasaan politik menimbulkan kekebalan hukum, bahwa hukum tidak berdaya terhadap elite tertentu.
Dalam perspektif itulah, misalnya, mengapa korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sangat sulit diberantas. Sebab, KKN melibatkan secara langsung dua kekuasaan sekaligus, baik kekuasaan ekonomi maupun kekuasaan politik. Yang dikorup adalah uang negara, yang berada dalam kekuasaan birokrasi dan politik, yang bekerja sama dengan pengusaha hitam yang memiliki kekuasaan ekonomi.
Penyelundupan, contoh lain, pun sulit dibersihkan karena juga berkaitan langsung dengan kekuasaan aparatur negara di satu pihak dan dengan pengusaha yang menjadi penyelundup di lain pihak.
Itulah sebabnya, ketika kasus Nurdin Halid terkatung-katung pemeriksaannya, dengan alasan sakit mendadak, persepsi publik serta-merta kembali dikentalkan bahwa hukum memang pandang bulu. Padahal, Nurdin Halid adalah tersangka dua kasus sekaligus, yaitu penyelundupan 60 ribu ton beras asal Vietnam dan 73 ribu ton gula asal Thailand, yang dapat digolongkan sebagai subversi ekonomi.
Dan, sekarang, persepsi miring itu semakin kuat karena sebanyak 25 orang anggota DPR dari Partai Golkar meminta Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal Da'i Bachtiar menangguhkan penahanan Nurdin Halid. Ke-25 tokoh Golkar itu yakin bahwa Nurdin Halid tidak akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, mengulangi perbuatannya, dan mempersulit proses penyidikan serta bisa hadir setiap waktu yang diperlukan penyidik. Ke-25 orang anggota DPR dari Golkar itu, antara lain Ferry Mursyidan Baldan, Setya Novanto, Ade Komaruddin, Hajryianto Y Thohari, dan Happy Bone Zulkarnaen.
Yang menarik ialah alasan mengapa mereka meminta penahanan Nurdin Halid ditangguhkan. Pertama, agar Nurdin bisa merayakan Lebaran bersama keluarganya. Kedua, Nurdin satu-satunya tulang punggung dan harapan dalam mencari nafkah keluarga. Dua alasan yang dapat diajukan oleh siapa pun sehingga bisa membuat penjara dan rumah tahanan kosong melompong selama Lebaran.
Permintaan elite Golkar itu jelas menunjukkan buruknya political will untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Sebuah permintaan, yang mestinya memalukan, sangat memalukan untuk diajukan oleh elite politik, terlebih anggota legislatif yang tugasnya antara lain membuat undang-undang dan mengontrol pemerintah.
Golkar sekarang bukan lagi partai yang berkuasa. Namun, arogansi berkuasa itu masih ditunjukkan oleh kalangan elitenya. Karena itu, adalah tidak mengherankan bila sinisme hidup kembali, mengapa hukum rusak, sepanjang pemerintahan dulu dikuasai oleh Golkar.
------------------------
Sumber : Media-Indonesia Online
0 Comments:
Post a Comment
<< Home