2010
By : Arys Hilman
Saya bertemu Tuan Darwin kemarin. Ia meniti jembatan penyeberangan di dekat Casablanca, Jalan Sudirman, antre karcis, lalu masuk Transjakarta. Silau di jidatnya memukau. Ia tersenyum sekilas, merapikan janggut putihnya, dan menghempaskan pantatnya di samping saya.
Mulutnya yang tenggelam dalam kumis dan janggut bergerak. ''Segala sesuatu berubah ... kota ini juga,'' bisiknya. Melihat cara dia berbicara, saya nyaris percaya, dia baru saja
memecahkan misteri missing link.
''Maksud Anda, Sir?"
''Lihatlah, jalan protokol ini lengang. Lelaki-lelaki pekerja meninggalkan mobil mereka di rumah, tak sungkan naik bus umum; perempuan-perempuan kantoran pun senang, anggaran taksi berkurang,'' katanya.
Saya tersenyum. Ah, Jakarta. Baru kemarin rasanya jejalan kendaraan memenuhi ruas nomor satu ini. Kini begitu leluasa. Untung ada gubernur visioner yang memaksa semua orang beralih ke angkutan massal.
Enam tahun lalu, sang gubernur meluncurkan Transjakarta. Pada tahun yang sama, dia melarang kendaraan berpenumpang kurang dari tiga lewat, dari subuh sampai tengah malam. Empat tahun lalu, ia membagi hari-hari kendaraan di ruas itu; Senin untuk kendaraan bernomor akhir 1 dan 2, Selasa untuk 3 dan 4, Rabu untuk 5 dan 6, dan seterusnya.
Alhasil, orang-orang pusing. Aturan itu susah dipahami. Daripada pusing berkepanjangan, malah bikin stres, mereka memutuskan naik saja Transjakarta.
Senyum saya terputus. Tuan Darwin menyenggol bahu saya. Telunjuknya mengarah ke samping Transjakarta yang kini berhenti di lampu merah. Rupanya, ada sedan panjang warna hitam di sana. Sedan dengan kawalan polisi, juga menanti lampu berganti hijau.
''Nomor dua,'' katanya. ''Ya.''''Benar bukan?'' ujarnya agak keras kini, ''segala sesuatu berubah ... seperti kura-kura galapagos.'' Wajahnya jujur menyiratkan kepuasan.
Saya tertawa. Tuan Darwin pecinta diri juga rupanya. Ia pasti tengah mengenang Origin of Species.
''Tahukah Anda, Tuan,'' katanya, ''kita tak bisa menghadang perubahan.'' Ia bercerita tentang cita-cita dirinya menjadi dokter di masa lampau. Cita-cita yang kandas karena ia tak tahan mengoperasi manusia tanpa obat bius. ''Alam akan memaksa Tuan untuk berubah,'' ujarnya.
Saya tersenyum seraya manggut-manggut bagai orang bijak. Senior citizen, bagaimanapun saya harus menghargai dia.
Raungan vorijder membelah perbincangan kami. Sedan hitam panjang berlalu. Di belakangnya, sebuah SUV buatan Eropa tahun terakhir pun melaju. Juga MPV berlogo L dan sedan putih dengan ''bulatan olympiade'' di ekornya. Masing-masing berisi tiga penumpang--dua di kursi depan, dan satu di ruang terlega di belakang.
''Tahukah Anda, Tuan,'' kata saya, membalas, ''perubahan acap tak seperti yang kita inginkan.''
''Saya paham sekali soal itu,'' timpalnya.''Ya, masih ada orang-orang yang bertahan dalam gaya lama mereka. Apa pun rekayasa kita, mereka akan membuat kontrarekayasa.''''Yep, tapi jumlahnya tak seberapa.''''Mereka yang jumlahnya tak seberapa di negeri ini, Tuan, bisa berkuasa secara tak terkira.''''Itu juga saya tahu, sejujurnya di Shrewsbury juga pernah begitu.''
''Tuan tahu orang yang duduk di kursi belakang MPV itu?'' timpal saya cepat, ''kemarin dia menggunakan MPV lain dengan nomor polisi khusus hari Rabu. Waktu Senin saya lihat dia pakai sedan merah dengan nomor untuk Senin.''
''Are you sure?''
''I swear. Saya yakin dia masih punya mobil lain untuk dipakai besok.''
Tuan Darwin manggut-manggut. Ia tampak bagai seorang bijak.
''Tuan juga harus tahu dia tak butuh joki untuk bisa melenggang di jalur ini. Dia memang punya pegawai tetap yang setiap hari duduk di kursi depan, di samping sopir.''
''Seperti bodyguard-nya Al Fayed?''
''Begitulah.''
''Jadi mereka lolos perda Bung Gubernur dong.''
''Tepat.''
''Jumlahnya tak banyak"'
''Ya, tapi pengaruh mereka besar.''
''Siapa mereka? Konglomerat hitam? Politisi busuk?''
''Ah, rupanya Tuan masih ingat wacana tua itu.''
Wajah Tuan Darwin tampak cerah. Matanya berbinar. Jidatnya yang licin kian menyilaukan.
''Eureka!'' katanya meniru Archimedes.
Di Blok M kami berpisah. Ia meneruskan perjalanan ke Ciledug, rumah keduanya setelah Down House. Saya ke Depok, ke rumah kontrakan.
''Salam buat Emma, William, dan Anne,'' saya berteriak saat ia meloncat ke Transjakarta jalur 10.
''Oke,'' katanya, juga berteriak, ''tapi jangan lewatkan buku terakhir saya bulan depan, Survival of the Richest!''.
''Pasti!'' Saya pun berteriak, seraya menyusup ke tengah antrean Transjakarta jalur 13 dengan cepat.
Sial, saya terlalu bergegas. Kaki kiri tiba-tiba terasa kehilangan pijakan. Saya terperosok di antara bus dan halte. Tangan terjepit pintu otomatis. Kepala terbentur benda keras, entah apa. Saya kehilangan kesadaran.
''Pak ... Pak,'' sayup terdengar suara merdu istri saya.
''Bangun! Bapak mimpi buruk ya ... tidur kok di lantai.''
=======================
Sumber: Republika.co.id
0 Comments:
Post a Comment
<< Home