DI PINTU IBU MENUNGGU
Oleh : Teguh Winarsho AS
DI DEPAN gubuknya Lastri berkacak pinggang. Matanya merah. Mengacung-acungkan tongkat ke penjuru tempat. Menendang benda apa saja yang ada di depannya. Lastri seperti harimau lapar yang diusik tidurnya. Anak-anak yang baru saja melempar gubuk Lastri dengan batu dan kayu sembunyi di balik semak-semak. Lastri tak pernah bisa menemukan persembunyian anak-anak itu. Lastri hanya bisa mengacung-acungkan tongkat sambil mulutnya terus meracau, memaki.
Di balik semak-semak, anak-anak tertawa mengikik mendengar racauan Lastri. Memang, itulah yang mereka tunggu. Mereka menunggu Lastri memaki, mengeluarkan kata-kata jorok. Mereka suka mendengar kata-kata jorok keluar dari mulut Lastri. Mereka suka melihat Lastri berkacak pinggang, mengacung-acungkan tongkat sambil memaki-maki. Kadang mereka tak bisa menahan tawa hingga akhirnya mereka lari berhamburan, takut ketahuan Lastri. Tapi biasanya mereka telah sepakat untuk tidak lari sebelum Lastri berhenti memaki. Sebelum semua kata-kata jorok keluar dari mulut Lastri.
Seperti siang itu, anak-anak tertawa geli mendengar Lastri meracau dan memaki. Anak-anak seperti mendapat tontonan menarik yang tak pernah mereka temukan di layar televisi. Semak-semak tempat mereka sembunyi bergoyang-goyang menahan tubuh kecil mereka yang terus bergetar. Sesekali mereka menyikut teman sebelahnya mengingatkan supaya jangan tertawa keras, tanpa sadar dia sendiri yang justru tertawa paling keras. Suasana menjadi ribut karena saling sikut dan menyalahkan. Hingga tiba-tiba tercium bau kentut menusuk membuat anak-anak kecil itu saling mengumpat dan tentu saja lari berhamburan.
Saat itu Lastri baru tahu di mana anak-anak nakal itu sembunyi. Lastri lari tergopoh sambil mengacung-acungkan tongkat mendatangi tempat persembunyian anak-anak. Tapi tempat itu sudah kosong. Anak-anak sudah pergi. Lastri hanya menemukan beberapa sandal jepit yang tertinggal.
Di jalan yang sudah jauh dari gubuk Lastri, anak-anak bertengkar. Mereka saling tuduh satu sama lain. Tapi mereka tak ada yang mengaku. Mereka bersikukuh tak pernah kentut. Sampai tiba di rumah, mereka tetap tak tahu siapa di antara mereka yang kentut. Tapi dasar anak-anak, sehari bertengkar, hari berikutnya sudah rukun lagi. Sepulang sekolah mereka kembali mendatangi gubuk Lastri. Kali ini mereka menjelma anak-anak yang manis dan taat. Mereka mengetuk gubuk dan mengucapkan salam. Lastri yang baru tidur segera bangun membuka pintu. Lastri menyuruh anak-anak masuk, tapi mereka tak mau. Mereka justru berebut duduk di bangku depan gubuk.
"Kalian sudah pulang sekolah?" tanya Lastri mengikat rambutnya yang kusut, sedikit gimbal. Pakaiannya sobek di sana-sini.
"Sudah," jawab salah seorang anak.
"Kalian tidak bolos, kan?"
"Tidak. Kami sudah pulang..."
"Bagus. Belajar yang rajin supaya besok jadi orang pintar. Jangan jadi seperti Lastri," Suara Lastri serak, parau. "Oya, pohon rambutan di belakang berbuah lebat. Kalau kalian mau, petik saja...."
Mendengar perkataan itu, anak-anak saling lirik dan sikut. Menelan ludah. Lastri tersenyum merasa lucu.
"Tak usah malu-malu. Ayo, petik saja!"
Sejenak anak-anak menatap Lastri. Lalu, satu persatu berdiri dan berebut cepat lari ke belakang memanjat pohon rambutan. Di atas pohon, anak-anak makan rambutan sambil bercanda, tertawa. Sebagian rambutan dimasukkan ke dalam tas sekolah.
"Lastri, kami sudah selesai dan mau pulang," kata salah seorang anak dengan tas sekolah gemuk penuh rambutan.
"Ambillah yang banyak dibawa pulang!" Lastri menjawab dari dalam gubuk. Entah apa yang sedang dilakukannya.
"Tidak. Kami sudah kenyang. Kami mau pulang," jawab anak yang lain, bohong.
"Ya, ya, pulanglah. Hati-hati di jalan. Jangan lupa sering main ke sini. Sebentar lagi mangga dan durian mulai matang...".
"Terimakasih, Lastri. Besok-besok kami akan main ke sini lagi..."
Sebelum beranjak pergi, dengan gerak cepat beberapa anak mengambil sandal jepit miliknya di depan pintu gubuk. Sandal-sandal itu kemarin tertinggal di balik semak-semak.
Empat hari kemudian, saat sekolah libur, anak-anak itu kembali mendatangi gubuk Lastri. Kali ini mereka bukan minta buah rambutan. Mereka melempar gubuk Lastri dengan batu dan kayu. Lastri segera keluar dari gubuk mendengus geram, berkacak pinggang. Mengacung-acungkan tongkat ke penjuru tempat. Menendang benda apa saja yang ada di depannya. Tapi anak-anak sudah sembunyi di balik semak-semak. Anak-anak mengikik menahan tawa saat Lastri mulai meracau, memaki-maki mengeluarkan kata- jorok.
Rumput semak bergoyang-goyang menahan tubuh anak-anak yang menahan tawa supaya tak lepas keras. Sesekali mereka saling sikut, memperingatkan teman sebelahnya agar jangan tertawa terlalu keras. Lalu, sesuatu yang tak diinginkan itu kembali terjadi. Bau seperti bangkai tikus menyergap hidung. Sontak anak-anak mengumpat sambil lari berhamburan, menerjang rumput dan pepohonan.
Lastri yang kemudian tahu di mana gerombolan anak nakal itu sembunyi segera lari tergopoh mendatangi semak-semak sambil mengacung-acungkan tongkat, meracau dan memaki. Tapi tempat itu sudah kosong. Lastri hanya menemukan beberapa sandal jepit yang tertinggal. Lastri mengambil sandal jepit itu lalu seperti biasa membawanya ke gubuk.
Sepanjang jalan pulang anak-anak kembali bertengkar. Mereka saling tuduh satu sama lain. Tapi mereka tak ada yang mengaku. Mereka bersikukuh tak pernah kentut. Tak pernah makan pete atau jengkol. Hingga sampai rumah, mereka tetap tak tahu siapa di antara mereka yang kentut.
Saat itu usia Lastri sekitar tiga puluh tahun. Tapi tubuhnya terlihat tua seperti nenek-nenek. Kata orang-orang, dulu Lastri adalah gadis yang cukup cantik. Rambutnya hitam panjang, matanya bulat, hidungnya mancung. Banyak laki-laki yang jatuh hati ingin menjadi kekasih Lastri. Tapi oleh orang tuanya, Lastri tak boleh pacaran. Setiap pulang sekolah Lastri dikurung di rumah, mengerjakan pekerjaan rumah. Hingga suatu hari kedua orang tua Lastri meninggal, kecelakan. Lastri kemudian hidup sebatang kara. Hidup dari belas kasihan orang lain. Lastri sering melamun dan menangis sendiri.
Suatu hari Lastri berkenalan dengan seorang pemuda dari kampung sebelah yang kemudian menjadi pacarnya. Cinta pertama Lastri. Tapi belum ada satu tahun mereka pacaran, Lastri hamil. Lastri cemas mengetahui dirinya hamil. Lastri takut pemuda itu kabur meninggalkan dirinya. Tapi rupanya pemuda itu sangat mencintai Lastri. Ia mau bertanggung jawab. Lastri bahagia. Tapi sayang, ketika pernikahan kurang seminggu, pemuda itu hanyut di sungai saat sedang mencari ikan. Beberapa jam kemudian pemuda itu ditemukan sudah tewas.
Lastri sangat terpukul. Kesedihannya semakin lengkap. Apalagi janin di perutnya terus menggeliat semakin besar. Hari-hari Lastri hanya melamun dan menangis. Kadang berteriak-teriak seperti kesurupan. Bermingu-minggu. Berbulan-bulan. Lalu, orang-orang menganggap Lastri tak waras. Gila. Apalagi setelah orang-orang kampung tahu Lastri hamil. Mereka mulai menjauh dan mencemooh. Tak ada lagi belas kasih. Tak ada lagi sepiring nasi, sayur dan lauk. Lastri sendiri kemudian mengungsi mendirikan gubuk di dalam hutan.
Lalu, saat kelahiran itu tiba. Dibantu seorang dukun beranak di kampung itu yang kebetulan tak punya anak, Lastri melahirkan bayi laki-laki. Montok dan sehat. Tapi Lastri gila dan tak mungkin bisa mengurus bayi. Mengurus dirinya sendiri pun tak bisa. Dukun itu kemudian mengambil bayi Lastri. Lastri tak bisa berbuat banyak selain meraung dan menangis.
***
LIMA belas tahun aku pergi meninggalkan kampung, selepas lulus SMA. Selama lima belas tahun hanya sesekali aku pulang. Maklum, sebagai buruh pabrik rokok yang tak begitu terkenal, aku hanya dapat libur sedikit. Kadang aku harus merengek-rengek bagian personalia agar diperbolehkan pulang. Seperti saat ini, ketika ibu meninggal menyusul ayah tiga tahun lalu, aku pulang mengantar ibu ke peristirahatan terakhir.
Meski jarang pulang, tapi baktiku pada orang tua, terutama ibu, tak berkurang sedikit pun. Setiap bulan separo gajiku kukirim ke kampung. Aku ingin membahagiakan mereka. Aku tahu, uang yang kukirim mungkin tak ada artinya dibanding pengorbanan mereka selama ini. Tentu, aku ingin melakukan yang lebih. Melakukan segala-galanya. Tapi sejauh ini hanya itu yang baru bisa kulakukan. Kini ibu sudah meninggal. Aku harus mengikhlaskan kepergiannya. Aku sadar tak ada yang kekal di dunia ini. Cepat atau lambat semua yang hidup pasti akan mati.
Kini ibu sudah dimakamkan dan aku merasa harus cepat-cepat kembali ke kota. Aku harus memikirkan nasibku sendiri. Aku hanya dapat izin empat hari. Hari ini sudah memasuki hari ke tiga. Tapi� surat wasiat ibu yang kutemukan di lemari dan yang kini sedang kubaca tiba-tiba membuat tubuhku gemetar. Aku berkeringat dingin dan sesaat jantungku berhenti berdetak. Kubaca surat wasiat itu berkali-kali. Berkali-kali hingga kurasakan badai keras menerjang tubuhku.
Matahari terasa panas membakar ubun-ubun saat aku masuk hutan. Di kanan kiri rumput ilalang berbiak setinggi pusar. Pepohonan tumbuh liar. Sudah banyak berubah. Tapi aku masih bisa mengenalinya. Dan, gubuk itu? Gubuk itu semakin reot tak terurus. Seperti tak berpenghuni. Jantungku tiba-tiba berdebar. Aku belum pernah merasakan jangtungku berdebar sehebat ini. Lewat surat wasiat yang kutemukan di lemari, sebentar lagi aku akan menemui Lastri, ibu kandungku yang sesungguhnya. Aku terus melangkah, tak sabar. Mataku nanar.
Sampai di depan gubuk aku semakin gemetar tak mampu menguasai emosi. Aku berhenti, mengedar pandang ke sekeliling. Pandanganku tiba-tiba terpaku pada semak-semak di sebelah kanan gubuk, agak jauh. Aku ingat, di balik semak-semak itu dulu aku sering sembunyi bersama teman-teman setelah melempari gubuk Lastri dengan batu atau kayu. Membuat Lastri marah keluar dari dalam gubuk, berkacak pinggang, mengacung-acungkan tongkat sambil mulutnya terus meracau, memaki-maki. Aku dan teman-teman sering tertawa geli melihat kemarahan Lastri. Ya, ya, aku masih ingat, di balik semak-semak itu pula dulu sandal jepitku sering tertinggal dan aku sering kentut karena tak kuat menahan tawa.
Entah sudah berapa tahun masa itu terlewati. Kini aku kembali berdiri di depan gubuk Lastri. Berdiri dengan tubuh gemetar. Berdiri dengan pandang mata nanar. Bukan untuk melempar gubuk reotnya dengan batu atau kayu. Tapi untuk memanggilnya ibu. Perlahan-lahan mulai kuangkat tanganku dan kuketuk pintu. "Tok! Tok! Tok! Ibu...."
"Tok! Tok! Tok....!!"
Depok, 2005
Teguh Winarsho AS, lahir di Kulonprogo (Yogyakarta), 27 Desember 1973. Buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit, Bidadari Bersayap Belati (2002), Perempuan Semua Orang (2004), Kabar dari Langit (2004), Tato Naga (2005) dan novel Tunggu Aku di Ulele, roman dan tragedi di bumi serambi Mekah (2005).
--------------
Sumber :www.media-Indonesia.com
0 Comments:
Post a Comment
<< Home