Monday, September 12, 2005

Mandikan Aku, Bunda....

Semasa kuliah ia tergolong berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak awal, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik. Ketika Universitas mengirim kami untuk mempelajari Hukum Internasional di University Utrecht, di negerinya bunga tulip, beruntung Rani terus melangkah.



Sementara saya, lebih memilih menuntaskan pendidikan
kedokteran dan berpisah dengan seluk beluk hukum dan perundangan.
Beruntung pula, Rani mendapat pendamping yang "setara " dengan dirinya,
sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.



Alifya, buah cinta mereka lahir ketika Rani baru saja diangkat sebagai
Staf Diplomat bertepatan dengan tuntasnya suami Rani meraih PhD. Konon
nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah "alif" dan
huruf terakhir "ya", jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Tentunya
filosofi yang mendasari pemilihan nama ini seindah namanya pula.



Ketika Alif, panggilan untuk puteranya itu berusia 6 bulan, kesibukan Rani
semakin menggila saja. Frekuensi terbang dari satu kota ke kota lain dan
dari satu negara ke negara lain makin meninggi.



Saya pernah bertanya, "Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal?"



Dengan sigap Rani menjawab, "Saya sudah mempersiapkan segala sesuatunya.
Everything is ok."



Dan itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya walaupun lebih banyak dilimpahkan ke baby sitter
betul-betul mengagumkan. Alif tumbuh menjadi anak yang lincah, cerdas dan
pengertian. Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata
wayang itu tentang ibu-bapaknya.



"Contohlah ayah-bunda Alif kalau Alif besar nanti." Begitu selalu nenek
Alif, ibunya Rani, bertutur disela-sela dongeng menjelang tidurnya. Tidak
salah memang. Siapa yang tidak ingin memiliki anak atau cucu yang berhasil
dalam bidang akademis dan pekerjaannya. Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani
bercerita kalau Alif minta adik. Waktu itu Ia dan suaminya menjelaskan
dengan penuh kasih-sayang bahwa kesibukan mereka belum memungkinkan untuk
menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini "dapat
memahami" orang tuanya.



Mengagumkan memang. Alif bukan tipe anak yang suka merengek. Kalau kedua
orang tuanya pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Kisah Rani, Alif
selalu menyambutnya dengan penuh kebahagiaan. Rani bahkan menyebutnya
malaikat kecil. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua
orang tua sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam hati kecil saya
menginginkan anak seperti Alif.



Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak
dimandikan baby-sitter-nya. "Alif ingin bunda mandikan." Ujarnya. Karuan
saja Rani yang dari detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, menjadi
gusar. Tak urung suaminya turut membujuk agar Alif mau mandi dengan tante
Mien, baby-sitter-nya.



Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. "Bunda, mandikan Alif?" begitu setiap pagi. Rani dan suaminya berpikir,
mungkin karena Alif sedang dalam masa peralihan ke masa sekolah jadinya
agak minta perhatian.



Suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. "Bu dokter,
Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency".



Setengah terbang, saya pun ngebut ke UGD. But it was too late. Allah SWT sudah punya rencana
lain. Alif, si malaikat kecil keburu dipanggil pemiliknya. Rani, bundanya
tercinta, yang ketika diberi tahu sedang meresmikan kantor
barunya, shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah
memandikan anaknya. Dan itu memang ia lakukan, meski setelah tubuh si
kecil terbaring kaku.



"Ini bunda, Lif. Bunda mandikan Alif, " ucapnya lirih, namun teramat pedih.



Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri
mematung. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, "Ini sudah
takdir, iya kan? Aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau
sudah saatnya, dia pergi juga kan?"



Saya diam saja mendengarkan. "Ini konsekuensi dari sebuah pilihan." lanjutnya lagi, tetap tegar dan kuat.
Hening sejenak. Angin senja berbaur aroma kamboja. Tiba-tiba Rani
tertunduk. "Aku ibunya!" serunya kemudian, "Bangunlah Lif. Bunda mau
mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali lagi saja, Lif". Rintihan itu
begitu menyayat. Detik berikutnya ia bersimpuh sambil mengais-kais tanah
merah... (sabili/CN02)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home