Friday, September 23, 2005

Rasa Aman Anak dan Bapaknya

Sebagai laki-laki, tinggi badan saya memang menjadi masalah bukan cuma bagi istri, tapi juga bagi anak saya. Saya sering melihat istri menyimpan kegeliannya secara sembunyi-sembunyi. Dan jika tertangkap basah baru ia mengaku: ''Aku tidak pernah menyangka, akan bersuamikan laki-laki yang mirip gantungan kunci,'' katanya.

Sedang komentar anak saya lebih menyakitkan hati. Ia masih SD, sependek-pendek bapaknya, pasti masih lebih tinggi dari dia. Persoalannya ialah, bapak di dunia ini tidak cuma bapaknya, tapi juga bapak teman-teman sekolahnya. Ketika bapaknya tengah bercampur bapak teman-temannya itulah ia baru menegerti betapa bermasalah tinggi badan bapaknya. "Coba kalau bapak tinggi, pasti tidak ada yang akan mengganggu keluarga kita,'' katanya.

Pernyatannya itu menyusahkan saya. Bukan susah karena melihat anak yang tidak bangga pada keadaan bapaknya, tapi susah karena betapa serius sebetulnya isyarat ketakutan anak saya itu. Betapa sedih menjadi orang tua yang tidak sanggup memberi rasa aman pada anak. Dan anak saya itu pasti belum tahu, betapa sumber rasa tidak aman itu lebih dari persoalan tinggi badan.

Saya masih sanggup bekerja keras apa saja asal tidak memakai tinggi badan sebagai syaratnya. Tapi kerja keras ini saja mana cukup untuk mengamankan anak. Jika pun dengan kerja keras itu saya sanggup menyekolahkan anak saya ke sekolah favorit, aduh, apa pula definisi sekolah favorit itu ketika ada sekolah yang dinyakan favorit ternyata diam-diam menyulundupkan murid bodoh sebagi muridnya, hanya karena tebal duitnya. Saya tidak bisa percaya kepada sekolah yang doyan suap semacam itu akan sanggup mendidik kelakuan anak saya.

Kalaupun dengan kerja keras saya bisa mengasuransikan seluruh keluarga agar terhindar dari nasib buruk yang sewaktu-waktu bisa menimpa, aduh…asuransi paling baik pun bisa dinyatakan pailit begitu saja. Tataplah juga surat-surat pembaca media massa itu, betapa berserakan surat-surat pembaca yang kecewa pada asuransinya, yang menganggap mereka cuma sebagai penipu. Ada banyak sales asuransi yang hebat bujukannya, tapi sehabis membujuk, memuji-muji kinerja perusahaannya, esok hari ia telah pindah kerja entah kemana.

Jika hasil kerja keras itu membuat saya bisa memberikan perlindungan kesehatan terbaik untuk anak-anak saya, kesehatan mana pula yang masuk kategori terbaik itu. Jika saya tidak tahu apakah dokter-dokter itu sedang jujur kepada saya. Apakah obat yang diberikan kepada anak saya itu bukan ancaman yang justru akan membahayakan hidupnya kelak kemudian. Saya pasti tidak sanggup meneliti kerumitan resep-resepnya. Dan saya cuma bisa bergantung kepada kejujurannya. Tapi adakah jaminan saya akan selalu bertemu dokter yang jujur?.

Bagaimana saya harus menguji kejujuruan mereka ketika soal amandel saja dua dokter bisa memiliki dua pendapat yang berbeda. Setiap anak saya radang, dokter yang satu selalu menuding amandel sebagai biang keroknya. ''Harus dioperasi!'' katanya. Rasa takut operasi membawa saya ke dokter yang satunya untuk meminta pendapatnya. ''Wooo amandel itu justru penting untuk menjadi penangkal awal sakit anak saudara,'' katanya. Hahaha…dua dokter ini agaknya mendapat pelajaran amandel yang berbeda dari guru-gurunya.

Jika dengan kerja keras saya behasil membelikan motor atau mobil bagi anak-anak saya, bukan keamanan yang terbayang di benak saya, tapi malah keganasan jalan raya kita yang terkenal itu. Jangankan terhadap sesama pengendara, orang yang sedang menikahkan anak saja bisa diobrak-abrik truk tronton yang melorot dari sebuah tanjakan. Tronton itu begitu rakus muatan, dari 13 ton yang dizinkan, ia memenuhi punggungnya dengan 30 ton, hampir dua setengah kali lipatnya.

Jadi nak, jika bapakmu susah begini, pasti bukan karena tinggi badannya. Melainkan karena rasa aman itu, memang menjadi persoalan kita bersama!

Prie GS
--------------------
Sumber : www.Suaramerdeka.com

0 Comments:

Post a Comment

<< Home