Syekh
Oleh : Widi Yarmanto
UCAPAN Prof. Koentjoroningrat (almarhum) ini ada benarnya: ''Salah satu kelemahan mentalitas orang Indonesia adalah suka menerabas.'' Menerjang apa saja untuk meraih sukses, dengan cara yang sama sekali tidak bermartabat --dan dengan kerendahan hati nol. Hidup hanya untuk mengelabui diri.
Marah sering salah arah. Ngeyel-nya pun membabi buta. Mulut acap membuihkan kebenaran, padahal lebih tepat untuk diri sendiri, yang tak beres menata hidup. Simak saja ulah wakil rakyat dan elite. Hampir tiap hari koran mengekspose kebusukannya. Rasanya, tak ada lagi ide yang diperdebatkan, kecuali hanya untuk menegaskan: ''Komisi saya berapa persen.''
Sinyalemen Prof. Koen benar. Tapi ucapan sekitar 30 tahun lalu itu bisa jadi kini lebih parah. Ini zaman duit berkuasa. Penerabasan lebih kompleks, sekalipun tak bergengsi. Jelas-jelas tak pernah mengenyam pendidikan tinggi, misalnya, tahu-tahu ketemplokan gelar. Tanpa rasa malu atau gelagapan jika ada yang meragukan gelarnya. Justru bangga karena bisa mengelabui orang.
Dalam skala kecil, teman saya pernah bangga mengecoh petugas. Beberapa waktu lalu, ia mau ke Yogya. Lantaran didesak waktu, Stasiun Gambir tak mungkin dicapai. Ia pun mencegat di Stasiun Manggarai. Padahal, kereta tak berhenti di sana. Ia minta petugas menggunakan otoritasnya. Oke. ''Yang penting menyalami,'' kisahnya.
Benar. Trik itu ampuh. Kereta api pun berhenti sesaat. Teman saya naik sembari menyelipkan amplop. Lalu, dari atas kereta yang melaju, dia perhatikan si petugas saat membuka amplop. Wajahnya terasa kecut. Dan, rekan saya puas. ''Mungkin dia kira saya mau beri Rp 50.000,'' katanya bangga, ''Padahal cuma Rp 20.000.''
Beda lagi dengan kisah Mamat, sebut saja begitu, yang melakukan pengelabuan karena dipaksa oleh lingkungan. Dan, dia menikmatinya. Modal Mamat cuma berbahasa Arab plus penampilan. Apalagi kala dia mengenakan baju gamis dan serban, yang dibeli dadakan dari Pasar Tanah Abang, Jakarta.
Mamat memang punya tugas khusus mengantar kru dari Belanda untuk mendokumentasikan pondok pesantren. Begitu ia muncul di sebuah pondok pesantren di Jawa Tengah, pemilik pondok itu kontan takzim. Pakaian Mamat menjinakkan segalanya. Tanpa ba-bi-bu sebelumnya, dia diperkenalkan pada santrinya sebagai seorang syekh dari Arab. Komunikasi pun dilakukan dalam bahasa Arab.
Padahal, Mamat tidak pernah ke Arab. Dia mahir berbahasa Arab karena ditempa lingkungan. Namun nasi sudah jadi bubur. Rupanya, kiai pondok itu sudah lebih dulu membenarkan ''kata hati'' bahwa tamunya dari Timur Tengah. Dan, penjelasan ini tidak bisa dicegah, karena Mamat pun menikmati.
Buntutnya, para santri yang sekitar 200 orang menyambut Mamat secara istimewa. Punggung tangan dia tak pernah lepas dari kecupan para santri. Bahkan kobokan tempat cuci tangannya diperebutkan. Mereka meyakini kecipratan derajat, pangkat, rezeki, atau yang berbau Arab dari tamunya tersebut.
Tak hanya itu. Sandal Mamat pun disikat secara diam-diam, untuk dialap berkahnya. Luar biasa. Jangankan para santri, kiai pemilik pondok juga kesengsem. Mamat ditawari tinggal di pondok untuk mengajar bahasa Arab. Iming-iming lebih seru disampaikan: ''Anda akan saya nikahkan dengan santri putri saya. Pilih sendiri yang paling cantik.''
Mamat menelan ludah. Jakunnya turun-naik. Dia tengah menikmati ''kegilaannya''. Ada kepentingan dan kebutuhan yang mendorong semua itu. Ada penerimaan yang bukan basa-basi. Sesuatu yang selama ini tidak dia temukan di kota metropolitan. Justru di pondok yang jauh dari kebisingan, dia diwongke. Mamat seperti menerima cahaya baru.
Yang paham Mamat pun tidak berusaha mendudukkan kebenaran siapa sesungguhnya dia. Mereka justru merasa diuntungkan, karena keberadaan pondok diungkap lebih terbuka. Apa adanya. Visi dan misi disampaikan tanpa tedeng aling-aling, termasuk empati para santri terhadap Osama bin Laden, yang tengah diburu Amerika. Kebenaran itu tidak mutlak dari satu sisi.
Saat meninggalkan pondok, Mamat diiringi tabuhan rebana meriah, persis melepas pembesar. Lebih celaka lagi, oleh kiai itu, Mamat dipertemukan dengan seorang pejabat di Yogya. Ia diperkenalkan sebagai tamu terhormatnya dari Timur Tengah. Sedangkan rekan saya, yang memberi dia ''job'', malah diperlakukan sebagai sopir ''si syekh''.
Apa boleh buat. Martabat dan gengsi dikuburkan. Padahal, asal tahu saja, Mamat adalah orang Indonesia berdarah Arab. Jika lagi berkantong tebal, dia sering ditemani bir dan wanita. Ia merefleksikan pemuda dengan obsesi kerja seringan-ringannya tapi rezeki seabrek. Ia sangat mendambakan berfoya-foya, sebelum tubuh lapuk dimakan usia.
Maka, kala wartawan foto mengabadikan wajah Mamat yang berserban dan berbaju gamis itu, dia berusaha menghindar atau menutupi mukanya. Mamat memang tergolong manusia Indonesia yang doyan menerabas, menyerempet-nyerempet bahaya sesuai dengan kadar peluang di depannya. Dia sangat menikmati permainan ini. Edan tenan!
Selepas dari ''permainan'' itu, Mamat kembali pada dunianya yang pengap oleh berbagai tekanan hidup. Ia seperti tak punya ruang untuk merenungi hidup. Juga tidak punya kamus pengakuan dosa. Tapi, betulkah melalui ''dosa'' kita menjadi lebih dewasa? Betulkah penjara yang diisi para koruptor dan sampah masyarakat menjadikan jera?/>
Tiap zaman punya kegilaan. Dagelan telah dipertontonkan dengan lautan kekacauan. Memang, orang-orang yang tak punya iman cenderung menipu diri sendiri. Quran surah Al-Muddatstsir ayat 38 menyebutkan: ''Setiap diri tergadai dengan apa yang telah dilakukannya....''
widi@gatra.com
[Esai, Gatra Nomor 45 Beredar Senin, 19 September 2005]
------------------
sumber : www.gatra.com
0 Comments:
Post a Comment
<< Home