Monday, February 04, 2008

Pertempuran tanpa Peluru

Minggu, 20 Januari 2008


Joshua Rushing hanyalah anak muda biasa saat lulus SMA dan memasuki Marinir AS pada 1990. Usianya 18 tahun saat itu. Ia merintis karier dengan keberuntungan bisa kuliah di universitas, sebagai bagian dari pelatihan militer.

Peperangan membuat namanya melambung. Tapi ia tak berurusan dengan peluru, granat, bom, fregat, atau kapal induk. Ia sama sekali tak memegang senapan. Saat Amerika Serikat menyerbu Irak, ia membuat pertempuran sendiri; medan tempurnya bernama Aljazirah.

Anak muda yang sekampung dengan keluarga Bush itu adalah perwira di Central Command (CentCom) AS. Rushing mendapat tugas untuk menyampaikan perspektif negaranya di Aljazirah--televisi berbasis di Qatar yang memiliki 45 juta pemirsa di dunia--tentang ''perjuangan'' AS menghapus ancaman dunia bernama Saddam Hussein.

Ia mengawali tugasnya hampir dari titik nol. Dia hanya tahu dunia Arab dari dua sumber, yakni buku sejarah Arab karya Bernard Lewis dan sebuah kopi Iraq for Dummies yang ia beli sebelum memasuki CentCom. Ia pun kaget mendapat tugas itu karena banyak seniornya yang lebih paham soal dunia Arab.

Rushing belajar dengan cepat. Ia tak sekadar bicara kepada media-media Arab, melainkan juga memasuki dunia maya. Sebagai juru bicara CentCom, ia rajin memasuki ruangan chatting dan menjelaskan kepada sebanyak mungkin orang tentang alasan AS menyerbu Irak.

Straubhaar dan La Rose (Media Now, 2006) berkisah tentang betapa Rushing sangat analitis dan fair. Dalam film dokumenter The Control Room, ia menepis kritik para komandannya terhadap Aljazirah. Ia pun tak sependapat dengan langkah Menhan Donald Rumsfeld yang ingin meminggirkan stasiun televisi itu.

''Aljazirah terlalu penting untuk diabaikan,'' katanya. Dan, bagi Rushing, tak ada yang keliru dengan Aljazirah saat mereka memainkan perspektif nasionalisme Arab karena orang-orang Arablah audiens mereka. ''Seperti Fox memainkan patriotisme Amerika,'' ujar Rushing. Ia larut dalam Aljazirah dengan keyakinan, hal terpenting bagi generasinya adalah bagaimana dua perspektif --Arab dan Amerika-- bisa saling memahami secara lebih baik. Ia cemas dengan saling curiga di antara kedua belah pihak yang melonjak tinggi setelah peristiwa 9/11.

Nama Rushing meroket setelah ia menjadi figur utama The Control Room karya Jehane Noujaim (2003). Ia sempat dipandang sebelah mata saat ditugasi berperan di film dokumenter itu, namun ia menjalaninya dengan serius. Sangat serius dan tak berpikir macam-macam, sampai suatu ketika ia mendapat kabar: Film itu menang dalam Sundance Film Festival.

Komentar-komentarnya dalam film itu memicu perdebatan. Banyak orang menilai Rushing adalah orang dalam militer AS yang menentang penyerbuan terhadap Irak, atau setidaknya memiliki pendapat yang rumit tentang serbuan tersebut. Lihat saja salah satu komentarnya yang membuat pusing para penyelianya di Los Angeles: ''Perang Irak membuatku membenci peperangan, walaupun tak membuatku berpikir bahwa dunia tak memerlukan peperangan.''

Ia telah berusaha meyakinkan dunia Arab tentang keabsahan alasan AS menyerbu Irak, namun kemudian menjadi gamang karena alasan itu --tentang senjata pemusnah massal-- ternyata isapan jempol belaka. Komentar-komentar dalam The Control Room melambungkan nama Rushing sekaligus membuatnya kehilangan mandat untuk berbicara dengan media massa. Ia frustrasi. Pada 2004, ia meninggalkan Marinir, setelah 14 tahun berkarier.

Straubhaar dan La Rose melihat langkah Rushing memasuki Aljazirah untuk menciptakan kedekatan kultural (cultural proximity). Sejak penyerbuan Pearl Harbour, dalam peperangan dengan Jepang, pertempuran di Teluk Babi, penyerbuan Panama, hingga di Afghanistan dan Irak, militer AS selalu menerjunkan serdadu tempur di medan media massa. Kedekatan kultural menjadi hal penting dalam perang media. Aljazirah adalah benteng kultural yang amat penting yang harus ditaklukkan. Tapi, sebagaimana di Irak, AS menemui kekalahan di medan tempur ini.

Dari seorang produsernya, pada 2006, saya mendapatkan gambaran tentang betapa kokohnya Aljazirah. ''Pemerintah AS menekan Emir Qatar untuk memengaruhi pemberitaan Aljazirah, tapi Emir menolak,'' katanya.

Aljazirah justru meminjam idiom-idiom kebanggaan AS tentang kemerdekaan pers, untuk menolak campur tangan dalam pemberitaan tentang invasi AS di Irak.

''Kami membuat berita dengan perspektif orang Arab,'' kata sang produser saat kami bertemu di salah satu studio Aljazirah yang modern di tengah padang pasir Qatar. Emir Qatar, katanya pula, tak pernah mencampuri kebijakan redaksi walaupun pendanaan stasiun televisi tersebut berasal dari sang emir.

Jelaslah, kendati Rushing telah berusaha, AS gagal menciptakan kedekatan kultural untuk mendapatkan dukungan masyarakat Arab terhadap penyerbuan Irak. Bagi AS, ini adalah kegagalan kedua dalam pertempuran televisinya setelah kekalahan TV Marti dalam perang opini dengan Kuba saat pemerintahan Ronald Reagan.
(Arys Hilman, kalyara@yahoo.com )

Sumber : RepublikaOnline

0 Comments:

Post a Comment

<< Home