Monday, February 04, 2008

'Nasi Akingnya Belum Matang Nak'

Kamis, 31 Januari 2008



Kamis siang (24/1), Ardi (8 tahun) terlihat meringis menahan perih di sudut dapur rumahnya, di RT 01/RW 5, Desa Moro, Kec Bonang, Kab Demak, Jawa Tengah. Dia menahan lapar. Sejak berangkat sekolah sampai pulang sekolah, belum sebutir nasi pun mengisi lambungnya. Sambil mengelus perutnya yang keroncongan, murid kelas dua SD Negeri Moro ini memelas kepada ibunya, Supiyah (41), yang sedang sibuk mencuci nasi aking: ''Piye Mak. Isih suwe, ra? Wetengku wis pereh ki.

(Bagaimana Bu, masih lama tidak? Perutku sudah perih nih).'' Karena nasi aking atau kerak nasi yang dikeringkan itu tak bisa cepat terhidang untuk mengenyangkannya, Supiyah hanya bisa meminta anaknya bersabar. ''Sabar yo Le. Ditinggal dolanan wae kono (Sabar ya Nak. Ditinggal main dulu [sambil menunggu nasinya masak]),'' katanya.

Nasi aking atau nasi daur ulang yang sedang dicuci Supiyah, masih harus dikukus. Waktu yang dibutuhkan sekitar tiga perempat jam. Itu baru nasinya. Belum menyiapkan lauk ikan asin. Tinggallah Ardi, anak ketiganya, yang untuk makan nasi aking pun harus ekstra sabar.

Nasi aking menjadi menu warga Dese Moro sejak laut utara Jawa dilanda gelombang pasang, awal Januari 2008. Sudah lebih dari dua pekan, para nelayan tak berani lagi melaut, termasuk suami Supiyah, Ahmadi (40). Karena tak lagi turun ke laut, pemasukan pun tak ada lagi.

Keadaan kian mengimpit karena harga kebutuhan pokok pun melambung. Baik itu beras, terigu, minyak goreng, maupun tahu-tempe. Sudah begitu, minyak tanah yang biasa dijadikan campuran bahan bakar kapal para nelayan, juga ikut-ikutan menghilang dan harganya meroket.

Mau melaut minyak tanah mahal. Tak melaut tak dapat uang untuk menyambung hidup. Seperti buah simalakama. Alhasil, mereka hanya bisa memperlambat keterpurukan dengan mengonsumsi nasi aking. ''Terpaksa [makan nasi aking], karena kami paceklik sudah dua minggu lebih,'' kata Supiyah kepada Republika, pekan lalu.

Harus dihemat
Meski menu makannya sudah menjadi nasi aking, mereka tetap harus membatasi konsumsinya. Supiyah dan keluarga hanya bisa makan dua kali sehari, siang dan malam. Tak ada lagi sarapan --bahkan dengan nasi aking sekalipun. Uang jajan untuk Ardi pun terpaksa dihapus dari daftar. Soal alasan menghemat nasi aking itu, Supiyah berujar, ''Siapa yang tahu Mas, kalau persoalannya (paceklik --Red) berlangsung panjang dan tak memberi kesempatan untuk menghindar.''

Di wilayah RT 1/RW 5, sedikitnya ada 80 kepala keluarga (KK) yang terpaksa bermenu nasi aking. Seorang tetangga Supiyah, Mauzah (39), bahkan bernasib lebih mengenaskan. Untuk mendapatkan nasi aking, dia terpaksa meminta kepada tetangganya, karena persediaannya habis. Mauzah beruntung karena tetangga-tetangganya mau mengulurkan bantuan. ''Sesama nelayan masih memiliki sikap sosial yang tinggi. Sehingga, gampang mengulurkan bantuan,'' katanya, bersyukur.

Karena berbarengan dengan kenaikan harga kebutuhan pokok, dampak paceklik tahun ini dinilai warga Moro sebagai yang paling parah dibanding paceklik yang pernah terjadi sebelumnya. ''Bisa makan nasi aking saja sudah sangat beruntung,'' kata Mauzah.

Faizin (50), salah seorang nelayan di Moro mengatakan karena gelombang tinggi dan mahalnya harga bahan bakar, para nelayan terpaksa mencari ikan di pinggir laut. Tentu saja hasilnya tak maksimal. Dan bukan hanya asap dapur yang tak mengepul, cicilan utang pun berhenti dibayar.

Agar tak terus ditagih, sebagian nelayan yang memiliki utang terpaksa menjual atau menggadaikan perabot rumah tangganya. Misalnya televisi, radio-tape, dan barang elektronik lainnya. ''Saat ini nasib nelayan di Moro pada umumnya sangat memprihatinkan,'' kata Faizin.

Soal berkurangnya minyak tanah, Abdul Ghani (58), salah seorang pemilik pangkalan minyak tanah di Moro mengatakan jatah untuk pangkalannya sudah dikurangi dua pekan terakhir. Dia tidak menjelaskan alasannya. Jika biasanya dipasok tiga kali per pekan, kini hanya sekali per pekan.

Agar dapat memenuhi kebutuhan pelanggannya, Abdul Ghani terpaksa mencari pasokan minyak tanah dari Semarang. Karena ada 'tambahan jasa dan transportasi', Abdul Ghani mengaku terpaksa menaikkan harga minyak tanah dari Rp 2.800 per liter menjadi Rp 3.300 per liter.

Sekretaris Desa Moro, Maskani (40), mengatakan dari 1.168 kepala keluarga (KK) di Moro, 250 KK (21,4 persen) di antaranya mengonsumsi nasi aking. Jumlah jiwa yang mendiami Moro, kata Maskani, saat ini 6.174 orang. Sebanyak 1.499 jiwa di antaranya adalah nelayan dan keluarganya.

''Wilayah paceklik yang paling parah adalah RW 1. Setidaknya ada 80 KK warganya yang mengalami dampaknya. Sisanya tersebar di empat RW lainnya,'' kata Maskani kepada Republika, beberapa waktu lalu. Maskani mengatakan saat ini warga yang mengalami paceklik sangat membutuhkan bantuan pangan. Aparat Desa Moro telah meminta bantuan kepada pihak kecamatan. Dia berharap permohonan itu bisa segera diteruskan ke Pemkab Demak.

Jika sampai pekan ini tak ada bantuan, Maskani mengatakan, ''Bukan tidak mungkin akan menimbulkan bencana kemanusiaan, seperti kelaparan.''
(owo )

Sumber: RepublikaOnline

0 Comments:

Post a Comment

<< Home