Katebelece
Minggu,26 Februari 2006
Saudara yang terhormat, saya tak ingin Saudara tersinggung oleh isi tulisan berikut ini. Isinya boleh jadi akan Saudara tafsirkan sebagai kisah pribadi Saudara--atau setidak-tidaknya mirip. Jadi, saya minta Saudara tidak membacanya. Tulisan ini hanyalah obrolan saya dengan diri, sebuah solilokui.
Saya pada posisi tidak mau bertanggung jawab kalau Saudara tetap membaca tulisan ini, lalu Saudara tersinggung dan menggugat ke pengadilan. Saya sudah mengingatkan. Ini bukan tulisan tentang Saudara!
Dalam bahasa Belanda, kattebelletje bermakna surat singkat. Kita menyebutnya katebelece dan Kamus Besar mengartikannya sebagai dua hal. Pertama, surat pendek untuk memberitakan hal seperlunya saja. Kedua, surat pengantar dari pejabat untuk urusan tertentu.
Belasan tahun lalu, Sutjipto Wirosardjono menulis kolom dengan tema tersebut. Ia mengisahkan seorang pejabat yang mengirim surat singkat tentang anaknya yang sedang ikut sebuah seleksi. Sang pejabat meminta agar anaknya yang bernama si anu dengan nomor peserta sekian itu tidak diistimewakan.
Menerima surat pejabat tersebut, penyelenggara seleksi justru merasa harus mengistimewakan anak tersebut. Itulah cara paling ''aman'' untuk menafsirkan isi surat tersebut. Soalnya, untuk apa sang pejabat berkirim surat--dan memberitahukan identitas lengkap anaknya--kalau ia memang tulus tak ingin anaknya diistimewakan?
Salahkah pejabat tersebut? Kalau kita memprosesnya secara hukum, katakanlah sebagai kasus KKN, sudah pasti sang pejabat akan lolos. Lihat saja, secara tegas tersurat dia telah meminta agar anaknya tidak diistimewakan. Jadi siapa yang salah? Ya ... si penyelenggara seleksi. Siapa suruh mengistimewakan anak pejabat itu!
Menebak ketulusan surat semacam itu memang tidak mudah. Apalagi bahasa kita memberi ruang yang amat luas bagi kalimat-kalimat multitafsir. Sementara, para pembuat surat itu pun rata-rata berasal dari kelompok ''pintar'' bertata bahasa.
Di negeri ini, katebelece pun tak lagi selalu menggunakan media kertas. Seorang perwira tinggi polisi berbintang tiga mengirim SMS sebagai berikut: ''... Tolong kalau benar bahwa tongkang Nowa 11 dan tugboat Nelly III yang memuat solar rencana dibawa ke Bintuni Sorong untuk mengoperasionalkan alat-alat dan kapal yang mau angkut kayu ke Surabaya. Untuk 86 itu usaha teman saya yang ada di Jakarta sebagai pemilik kayu tidak bermaksud untuk menimbun tetapi benar untuk kebutuhan sendiri. Tks. Kalau bisa dibantu.''
Pesan ringkas melalui telepon genggam itu terkirim pada 20 Juni 2005. Perwira polisi yang ''hanya'' berpangkat melati di pundaknya tentu tak berani menolak ''permintaan tolong'' tersebut. Sementara, sang perwira tinggi menyebut maksud SMS itu hanya untuk ''mendapatkan klarifikasi''.
Adakah unsur KKN di dalamnya? Kita amat merasakan. Tapi, ternyata, tak pernah ada persidangan bagi sang jenderal. Ia lebih dulu meminta pensiun--dan menikmati hari tua. Sidang komisi etik dan profesi yang hendak digelar untuknya otomatis batal karena dia tak lagi menyandang jabatan polisi. Sidang di PN? Ah, mimpi kali ....
Remang-remang. Abu-abu. Itulah dunia katebelece. Itu pula yang tampak pada kasus di sekretariat kabinet kita saat ini. ''Tak ada yang salah dari surat-surat itu. Keduanya surat resmi. Saya memang menujukannya ke Menlu. Nanti Menlu yang memutuskan. Jadi prosesnya bukan penunjukan, melainkan tender. Mungkin akan ada lima sampai 10 (perusahaan yang akan ikut) tender. Karenanya saya tanya, apa itu korupsi? Apa saya menyalahgunakan kewenangan saya?''
Itu pembelaan diri sang pejabat saat surat-suratnya dinilai sebagai katebelece untuk memuluskan jalan proyek bagi sebuah perusahaan. Ia kemudian menyimpulkan peristiwa yang tengah dihadapi dengan kalimat berikut: ''Saya kira ada pembunuhan karakter terhadap saya.''
Sekarang, mari kita lihat sebagian isi surat yang ia tanggapi itu (lepas dari masalah asli atau palsu, surat inilah yang ia tanggapi pada hari pertama isu ini mencuat):
''... Bapak Presiden pada prinsipnya tidak keberatan dengan rencana tersebut, sebagaimana disampaikan kepada Sekretaris Kabinet tanggal 13 Dexember 2004 di Yogyakarta, dengan catatan tetap mempertahankan keberadaan bangunan lama ... Bapak Presiden juga memberi petunjuk kiranya Menteri dapat merespon dan menerima presentasi dari management PT Sun Hoo Engineering dalam kesempatan pertama ....''
Surat itu yang kedua. Surat pertama yang terkirim satu bulan sebelumnya, 20 Januari 2004, isinya senada, namun belum mengandung kalimat ''Bapak Presiden juga memberi petunjuk'', melainkan hanya ''Berkenaan dengan hal tersebut di atas, diharapkan Menteri dapat merespon dan menerima presentasi dari ....''
Sekarang kasus surat ini melebar ke mana-mana. Upaya untuk menjatuhkan pemerintahan, kata sebagian orang. Begitukah? Entahlah. Tapi, seperti kata pepatah, ''Tidak ada asap tanpa api'', akal sehat kita akan membimbing pada pertanyaan tentang ''api'' tersebut: Untuk kepentingan apakah surat itu?
Saudara yang terhormat, saya sudah mengingatkan. Tapi, Saudara tetap saja membaca tulisan ini. n kalyara@yahoo.com
(Arys Hilman )
------------------
Sumber : RepublikaOnline
0 Comments:
Post a Comment
<< Home