Kuat itu Cuma Soal Tekat
Sebuah undangan di bulan puasa membuat saya harus membatalkan puasa. Undangan ini saya tafsirkan sebagai jauh hanya karena harus singgah di dua kota dari dua provinsi untuk kemudian melintasi di dua pulau. Jarak sejauh ini cukup bagi saya untuk mendorong melabeli diri sendiri sebagai musafir. Gelar musafir ini mebuat saya percaya diri untuk tidak berpuasa di hari perjalanan.
Karena begitu semangatnya menganggap diri muasfir sampai lupa bahwa dengan pesawat, jarak itu cuma butuh ditempuh dengan 3 jam saja. Tapi karena semangat untuk menjadi musafir itu sudah begitu tingginya maka yang mestinya dekat itu itu saya jauhkan lagi. Saya ulur lagi faktor-faktor kesulitannya. Saya jelaskan lagi betapa tinggi kerepotan yang mengepung jarak 3 jam itu.
Jarak tempuh perjalanan memang cuma tiga jam, tapi persiapan yang dibutuhlan pasti dua kalilipatnya. Padahal yang 3 jam ini harus berada di dua pesawat. Padahal setiap ganti pesawat harus ada ongkos menunggu. Dengan pesawat langit memang menjadi pendek. Tapi sekeluar pesawat, daratan akan kembali memanjang. Itulah kenapa terbang yang disangka singkat itu, sering harus ditebus dengan perjalanan yang lama dari kota ke bandara.
Maka membayangkan seluruh rangkaian persiapan penerbangan tiga jam di dua peswat, singgah di dua kota, lalu melintas di dua pulau itu, benar-benar adalah dorongan yang sah untuk berani tidak berpuasa. Maka inilah cerita penerbangan pertama. Dari kota sendiri ke kota tetangga di penerbangan pertama dengan jarak tempuh satu jam saja.
Inilah repotnya terbang dekat dari kota sendiri, ke kota tetangga dekat pula. Seluruh pesawat itu rasanya juga cuma berisi tetangga, teman dan saudara. Menyenangkan tapi bagi saya yang sedang batal puasa malah menjadi penerbangan yang menakutkan. Karena hampir seluruh teman-teman baik, saudara dan tetangga itu, adalah pejalan-pejalan tangguh. Dari tempat duduk mereka, jelas sekali, mereka adalah orang-orang yang tetap berpuasa. Jelas sekali penolakan mereka atas tawaran makanan pramugari. Woo, orang-orang ini tidak mudah melabeli diri sebagai musafir demi bersiteguh mempertahankan puasanya.
Celaka untuk saya. Tidak mungkin saya merelakan diri menjadi orang yang dinggap menyerah di hadapan orang-orang yang bertahan. Maka ketika mereka tetap mengunci meja di pesawatnya, saya pun ikut-ikutan menguncinya. Ketika mereka melambaikan tangan penolakan, saya pun menirunya. Maka ketika mereka tetap mempertahankan puasanya, saya pun memilih tetap pura-pura puasa. Dan Anda tahu hukum seorang yang pura-pura. Ikhlas di luar tapi marah di dalam. Ramah di luar tapi lapar di dalam. Inilah repotnya, di saat sedang batal puasa itulah, kelaparan justru mudah menggoda. Ini lapar, tapi tak bisa makan, padahal makan itu cuma sejengkal di depan mata.
Tapi baiklah! Ibarat petinju ronde pertama ini bukan milik saya. Saya harus merebutnya di ronde berikutnya. Penerbangan dari kota asing, menuju kota asing berikutnya dengan jarak tempuh yang lebih lama. Saya pasti memiliki hampir semua modal untuk menikmati hidangan tanpa harus dihantui persaan malu dan jaga gengsi. Seluruh pesawat itu nanti pasti cuma dipenuhi oleh-oleh orang asing yang saya tidak mengenalnya. Dan di dalam jarak tempuh yang lebih lama, pasti akan makin banyak orang berani memusafirkan dirinya. Dan yang lebih menggoda, jarak yang jauh itu, pasti akan membuat mutu makanannya makin enak saja; sepadan dengan harga tiketnya!
Pendek kata, semua ramalan ini terbukti. Saya tidak mengenal seorangpun di pesawat ini. Dan hidangan di perjalanan ini jauh lebih lengkap, lebih saya sukai dan cocok dengan pembatalan puasa ini. Pendek kata seluruh modal makan enak telah saya miliki: ada makanan enak, dan saya sedang tidak berpuasa pula. Jika ada hambatan itu pun cuma satu saja. Tapi yang satu ini ternyata begitu beratnya; penumpang di sebelah saya. Ia adalah seorang yang bersorban dan bertasbih. Bahkan baru meletakkan pantanya saja sudah terdengar gemuruh doa-doanya. Matanya khusuk dan tasbihnya berputar-putar demikian hebatnya. Dari sorbannya, sudah tercermin keimanannya. Orang ini pasti kuat dan bertakwa sekali. Pasti tidak mudah memusafirkan diri, dan ia pasti adalah pelaku ibadah yang tabah.
Saya dengan tegang menduga-duganya eh berangkali dia berkenan menjadi musafir dan saya bisa makan dengan tenang bersamanya. Tapi benar, dia tetap mengunci meja pesawatnya. Ya ia buka adalah meja putri balita di sebelahnya. Ia ayah yang baik. Ia membiarkan putri kecilnya makan enak, sementara ia sendiri tabah berpuasa. Setelah seluruh menu si kecil itu ia atur, ia tata, ia ajari putrinya makan sendiri, ia sendiri melanjutkan berpejam mata sambil kembali memutar tasbihnya.
Sungguh pemandangan yang menghancurkan hati saya. Kalau saya makan secara tebuka di tengah orang saleh ini, maka derajat kekuatan saya hanya setara dengan putri balitanya itu. Tidak! Saya memilih terus pura-pura berpuasa meskipun remuk redam jiwa raga saya. Derita orang yang punya ijin makan enak, tapi gagal menikmatinya sementara makanan itu sendiri ada, sungguh dua kali lipat beratnya dari orang yang berpuasa. Jadi, sesungguhnya fisik saya ini sebetulnya kuat sekali. Hanya saya sendiri yang mengangap rendah pada kekuatan diri sendiri hingga terlalu mudah memusafirkan diri. (Prie GS)
-----------------
Sumber : www.suaramerdeka.com
0 Comments:
Post a Comment
<< Home