Sebelum Mereka Meninggal ...
Oleh : Zaim Uchrowi
Sebuah telepon masuk. Entah dari siapa sampai ia memperkenalkan dirinya. "Saya Iin, adik kelas Anda di Filipina," katanya. "Saya selalu baca tulisan Anda."
"Alhamdulillah, terima kasih, mudahan-mudahan bermanfaat." Kalimat itu agaknya tepat buat menjawab pernyataannya.
Tapi, tak selalu pernyataan dapat ditanggapi dengan mudah. Lidah menjadi sama sekali kelu setelah ia mengatakan lebih lanjut. "Sekarang saya sangat berharap Mas Zaim bisa membantu langsung orang-orang miskin di Banten. Keadaannya sangat menyedihkan. Tolonglah Mas, temui mereka, bicaralah dengan mereka, bantu mereka sebelum mereka meninggal ...! Sempatkanlah. Waktunya terserah Anda, saya akan membawa Anda berkeliling."
Sejak beberapa tahun lampau, Banten memang telah mengusik perasaan dan pikiran saya. Hampir 20 tahun silam, saat melintas menuju Ujung Kulon, potret kemiskinan itu sudah teramat jelas. Para perempuan yang berkumpul di halaman salah satu rumah tetangganya tanpa aktivitas jelas, para laki-laki yang sibuk dengan rokok karena tak tahu harus mengerjakan apa, juga anak-anak yang bejibun banyaknya yang pasti lebih merupakan liabilitas ketimbang aset masa depan bangsa.
Tonjokan terkeras Banten pada perhatian saya adalah saat berkunjung ke masjid Banten Lama lima tahun lalu. Puluhan bahkan mungkin bisa ratusan orang menengadahkan tangan. Bukan hanya mereka yang menampilkan pakaian terlusuhnya, juga para anak keturunan sultan yang kini mencari rezeki dengan menjual berkah moyangnya. Pusat peradaban dan pusat harga diri bangsa yang telah membuat seorang ulama besar seperti Syekh Yusuf dibuang ke Afrika Selatan, telah terbalik menjadi pusat kemiskinan dan pusat kejahilan. Banyak orang di seputar masjid itu telah jatuh miskin materi. Namun, lebih banyak lagi yang terjerembab pada kemiskinan mental.
Iba haruslah tidak diberikan pada yang suka mengiba. Sebaliknya, iba adalah hak mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan tanpa mau mengiba. Orang-orang seperti inilah yang kini disodorkan untuk ditolong sebelum kematian menjemputnya. Telepon itu mengingatkan saya pada perjalanan dua bulan berkeliling desa demi desa untuk menemui petani. Termasuk ke sebuah kelompok tani di dekat Alas Ketonggo, Wonogiri.
Siang itu mereka tengah mengadakan pertemuan rutinnya. Mereka --laki-laki, perempuan, muda, hingga yang renta-- duduk di potongan kayu memanjang. Lahan masing-masing tinggal sepenggal. Hutan di atasnya menggundul. Air mengering. Tanah mengeras akibat pemupukan bertahun-tahun. Harga panen tidak menentu. Saya mencoba berbincang dengan mereka, tapi tak dapat lama. Tak ada yang dapat saya tolong. Lebih baik pergi. Wajah-wajah tirus itu, tubuh-tubuh kering yang legam terpanggang matahari itu, dan mata-mata pasrah itu menghunjam perasaan begitu dalam.
Sosok-sosok seperti petani di Wonogiri itulah yang kini saya diminta menemuinya di Banten. Mereka bukan lagi belasan orang, namun ratusan ribu bahkan mungkin juta jiwa. Sulit membayangkannya. Ketika berlama-lama dengan belasan orang itu pun tak sanggup, bagaimana mungkin mampu menemui ribuan orang berkeadaan serupa?
Tapi, janji telah terucapkan. Bertemu harus dilakukan. Menemui mereka mungkin tak banyak berarti buat menolong. Kemiskinan telah melilit mereka begitu erat. Menemui mereka lebih untuk mengajari diri sendiri agar semakin peduli: begitu banyak saudara kita yang perlu disantuni dengan materi, juga dengan sentuhan hati. Sejumput kepedulian itulah yang akan mereka dapat sebelum maut datang menjemput. Karena itu, saya akan datang. Semaga Iin menelepon orang lebih banyak lagi, hingga lebih banyak lagi yang akan datang membesarkan hati kaum fakir itu sebelum mereka meninggal.
-------------------
Sumber : www.republika.co.id
0 Comments:
Post a Comment
<< Home