Tuesday, October 18, 2005

Musafir dan Ramadhan

Oleh : Mu. Abdurrazzaq


“Aku melihat seorang laki-laki dari ummatku terengah-engah kehausan, maka datanglah kepadanya puasa Ramadhan, lalu memberinya minum sampai kenyang.” (HR At-Tirmidzi, Ad-Dailami dan Ath-Thabrani)


Ramadhan, Selatan Bandung, sekitar sewindu silam

Malam baru saja melewati pertengahannya. Saat itu pekatnya malam terasa begitu ni’mat, begitu pula dengan tidur kami. Sejuknya udara Bandung membuai tubuh yang penat ‘ngabuburit’ seharian. Karena kebutuhan biologis untuk ke kamar kecil, tengah malam itu saya terbangun. Tersadar. Ternyata ini bukan kamar kost. Malam itu rupanya kami tidur kompleks IPTN (Sekarang PT DI), tepatnya di masjid Habiburrahman.

Ah iya, semalam, Fauzan dan Mas Ibnu menyeret saya ke masjid ini.

“Ada Perayaan Nuzulul Qur’an, ada mabit dan ada muhasabah”, demikian Fauzan meyakinkan kami untuk naik angkot Cicaheum-Ciroyom malam itu.

Jadilah saya di sini, rebah dengan beratus-ratus tubuh lain yang menikmati ritual tidur sedemikian nikmatnya.

Sesaat setelah terjaga. Dengan niatan ke kamar kecil, saya berjingkat-jingkat menuju ke arah luar, berharap untuk tidak menginjak seorang pun. Cukup sulit ternyata, karena lampu dalam masjid dimatikan, untuk menambah kenikmatan tidur malam itu. Akibatnya tetap ada beberapa tubuh yang mengaduh, ketika kakinya tersepak oleh langkah saya, tak sengaja.

Sedetik setelah membuka pintu masjid, mata saya sedikit mengerjap.
Silau. Rupanya, lampu teras masjid tidak dimatikan.
Saat itu pula mata saya terbuka semakin besar. Batin saya terkejut.

Di teras masjid, saat Bandung menuju suhu terendah, dengan hawa dingin yang membuat gigi gemertak. Saya melihat teras masjid ramai… bak siang. Beranda Habiburrahman penuh oleh musafir yang menatap mushaf mereka masing-masing. Selain yang sedang tilawah al-Qur’an dalam temaram lampu, jamaah lain sibuk menegakkan Qiyamul lail, tanpa menghiraukan dinginnya udara di teras masjid tengah malam itu. Kontras sekali dengan pemandangan di dalam masjid tadi.

Ah…, Ramadhan memang selalu berjasa, mempertemukan saya dengan manusia-manusia terhormat itu. Mereka yang menghidupkan malam (light-up the night) tersebut, memaksa saya bercermin. Meski tak satupun di antara mereka yang saya kenal, tapi wajah-wajah yang bersujud malam itu telah mengedor-gedor jantung dan hati. Betapa jauhnya diri dengan-Nya. Bahkan dibandingkan hamba-hamba-Nya di zaman kontemporer ini pun, diri ini tertinggal jauh.


*****

Ramadhan 1426 H, ketika status musafir masih melekat

Ramadhan kembali menyapa kita. Alhamdulillah, jika Ramadhan ini anda berkumpul dengan keluarga dan orang-orang tercinta. Bayangkan jika saat ini anda diperantauan, terlunta-lunta tanpa saudara, tanpa adzan subuh yang melerai sedapnya santap sahur dan tanpa bedug maghrib yang menggembirakan shaum.

Alhamdulillah, jika anda menyiapkan kolak dan cendol untuk menu berbuka. Bayangkanlah para musafir yang harus antri di masjid, yang menghiba-mengharap menu ifthar dari panitia.

Alhamdulillah, jika Ramadhan ini anda di tanah air, negeri sentosa yang siang-malamnya berkadar seimbang. Bayangkan jika kita berpuasa di saat summer season di negeri asing dengan siang yang teramat panjang.

Alhamdulillah, Allah masih menyapa, bahkan memberi hadiah Ramadhan, tahun ini (insyaAllah), meski kita sering melupakan-Nya, meski hati ini sudah direbut dunia. Ramadhan hadir. Saat kealfaan dan dosa kita sudah terakumulasi setahun ini. Bulan maghfirah hadir membasuh wajah, cahaya rabbani kembali menyirami sanubari.

Alhamdulillah, jika anda berpuasa di daratan, bekerja di atas bumi yang tenang, Bayangkanlah puasanya para pekerja di lepas pantai, yang berpuasa dengan menahan mabuk laut dan goyangan ombak yang menganggu metabolisme.

Alhamdulillah. Syahrul Qur’an menghampiri kembali episode hidup ini. Lantunan kalam Ilahi terdengar lebih sering bulan ini. Bayangkan, jika anda hidup di barat, di negeri antah-berantah, dengan parade hedonisme yang mengiringi setiap detak jam, hidup tanpa bi’ah (lingkungan) yang kondusif.

Alhamdulillah, Ramadhan datang, menegakan syiar. Bagi anda yang di tanah air, betapa tidak, sinetron dan televisi tiba-tiba berubah menjadi santun. Para selebriti merubah cara berpakaiannya. Magnet Ramadhan menyedot manuasia untuk sebulan ini, mencicipi kembali hidup yang lebih -rada-rada- islami.

Alhamdulillah, jika kita masih bertemu Ramadhan, pertanda masih ada waktu untuk perbaikan diri.***



------------------
Sumber : www.eramuslim.com

0 Comments:

Post a Comment

<< Home