Selamat Siang, Bung Gunarto!
Oleh : Ahmad Tohari
Diberitakan Rabu 5 Oktober kemarin, Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung, Gunarto Suryono, telah memperketat pengawasan tempat parkir sampai kantin kompleks gedung lembaga hukum tertinggi itu. Bung Gunarto merasa perlu melakukan hal itu setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap lima pegawai MA, karena kasus suap sebesar 400 ribu dolar dan Rp 600 juta. Menurut Bung Gunarto, tempat parkir, kantin, dan wartel di lingkungan gedung MA ditengarai telah menjadi tempat pasar suap.
Mungkin banyak orang menilai tindakan Bung Gunarto itu sebagai langkah yang jitu untuk memberantas mafia peradilan. Mungkin banyak orang mengacungkan jempol kepadanya. Tapi pasti tidak demikian bagi orang kampung saya. Mereka, orang-orang kampung saya, malah akan bilang, ''Bung Gunarto, sampeyan amat sangat terlambat. Dan konyol.''
Kampung kami terletak 400 km dari Jakarta, 30 km dari kota kabupaten, 4 km dari kota kecamatan. Sangat udik. Meskipun begitu pada tahun 1983 (22 tahun yang lalu!) ada seorang karyawan MA datang ke sana untuk menemui, sebut saja Fulan. Orang MA itu bilang bahwa kasasi sengketa tanah yang sedang diajukan oleh Fulan akan segera turun. Dan untuk mendapat salinan keputusan kasasi itu Fulan diminta membayar kepada orang MA itu Rp 1 juta, jumlah yang amat besar waktu itu apalagi Fulan cuma seorang petani kecil.
Merasa tak mampu berbicara kepada orang MA itu Fulan lari ke rumah saya, minta tolong agar saya menghadapinya. Dan biasa, bila orang kota berbicara kepada orang kampung, maka perasaan lebih tinggi selalu muncul. Dengan sikap seperti itu, orang MA tadi menjelaskan maksud kedatangannya. Agar kami yakin dia bahkan memamerkan kartu pegawainya.
Atas nama Fulan, saya katakan bahwa uang 'pelancar' yang diminta sudah diberikan kepada orang di Pengadilan Negeri ketika perkara kasasi mau dibawa ke Jakarta. Tetapi, karena orang MA itu ngotot, saya terpaksa main akal-akalan. Saya keluarkan dompet untuk mengambil sebuah kartu pers yang sebenarnya sudah daluwarsa dan saya tidak lagi jadi wartawan. Ketika melihat kartu pers itu, wajah orang MA tadi berubah. Lalu minta diri dan hanya minta ongkos pulang ke Jakarta.
Begitulah, Bung Gunarto. Dan kejadian nyata yang saya ceritakan ini bukan satu-satunya. Sampai tahun-tahun terakhir ini masih ada orang dari Jakarta mengaku sebagai pengacara atau wartawan datang ke kampung kami. Mereka membawa fotokopi surat keputusan kasasi dan mendatangi orang yang pernah beperkara. Kepada pihak yang kalah, mereka bilang perkaranya bisa dibuka kembali asal ada uang. Kepada yang menang, mereka juga minta uang agar perkaranya tidak dibuka kembali. Orang kampung yang buta hukum banyak yang termakan oleh preman-preman ini. Masalahnya: siapa yang mengeluarkan arsip dan memberikan fotokopi keputusan kasasi itu kepada para preman kalau bukan orang dalam? Dan berapa puluh ribu fotokopi semacam itu yang telah diobyekkan di seluruh Indonesia?
Paman saya di Cilacap pada tahun 1990 membeli tanah sawah yang besertifikat. Namun sertifikat itu dinyatakan dicabut oleh Pengadilan Negeri dan diperkuat oleh PT maupun MA. Masalahnya, mengapa MA tidak menghukum si pembuat sertifikat yakni Badan Pertanahan untuk memberi ganti kerugian kepada paman saya? Sekarang paman saya jatuh miskin karena satu-satunya harta berupa tanah sawah telah 'dirampok' habis oleh lebaga hukum di negerinya sendiri.
Mungkin Bung Gunarto ingin menyalahkan paman saya, mengapa dia tidak menuntut Badan Pertanahan ke pengadilan. Oh, Bung. Asal tahu saja. Bagi kebanyakan orang tani, lembaga pengadilan sudah punya citra yang sangat buruk. Lembaga itu sudah tercitra sebagai lembaga komersial. Berani beperkara harus menyediakan uang yang banyak. Dan jangan harap bisa memenangkan perkara kalau hanya bermodal kepercayaan terhadap lembaga dan orang-orang hukum di negeri ini. Paman saya sungguh-sungguh telah mengalaminya secara nyata. Bung juga. Nah, selamat menjaga tempat parkir, kantin, dan wartel di kompleks MA.
------------------
Sumber : www.republika.co.id
0 Comments:
Post a Comment
<< Home