Martabat
Sosoknya tenang. Saat ia bicara, orang cenderung merasa senang untuk mendengarkan, termasuk anak-anak muda. Bisa jadi, itu juga akibat karisma rambut putihnya.''Pak Bagir ini,'' katanya suatu ketika di Bandung, beberapa tahun lalu,'' tak pernah berhenti belajar walaupun sudah tua.'' Anak-anak muda di sekelilingnya manggut-manggut. Ia, seperti BJ Habibie, lebih senang menggunakan nama diri dibandingkan kata ganti orang pertama bila sedang berbincang.
Saya membayangkan, pekan-pekan ini Bagir Manan sedang mempraktikkan kata-katanya. Kasus suap Probosutedjo adalah pelajarannya kali ini. Sebagai ketua Mahkamah Agung, lembaga keadilan tertinggi di negeri ini, ia harus menentukan pilihan antara martabat lembaga peradilan dan tegaknya keadilan. KPK sulit menghindar dari agenda pemeriksaan dirinya. Bagaimanapun, entah benar atau tidak, ada kesaksian yang menyebut suap Probosutedjo tertuju kepadanya dengan nilai miliaran rupiah. Jadi, KPK harus mengecek kesaksian itu langsung kepada Bagir.
Tapi, Mahkamah Agung sebagai institusi tampaknya menganggap pemeriksaan itu sebagai perendahan martabat. Bukan Bagir yang menyatakan, tapi hakim agung lainnya. Lalu,Bagir pun menolak panggilan KPK. Pemeriksaan di gedung MA, Jumat, agaknya menjadi titik kompromi setelah Presiden mempertemukan MA dan KPK di Istana. Pemeriksaan berlangsung hingga sembilan jam, hanya diseling shalat Jumat. Tentu situasi itu amat menekan. Bagir yang tenang sempat meledak. Ia marah pada wartawan yang mencari gambar terbaik dan mengejar-ngejar dirinya. ''Tidak sopan!'' katanya.
Tapi, ada pujian untuk Bagir atas kesediaannya itu. Amat sulit membayangkan dirinya menjadi sejarah besar peradilan: Ketua MA pertama yang menjalani pemeriksaan-walau belum tentu bersalah--dalam sebuah kasus pidana. Ia sedikit mengabaikan desakan koleganya tentang hal-hal yang disebut sebagai ''martabat''. Ah, martabat. Saya agak sedih menduga-duga seberapa tinggi martabat kita dalam hal peradilan. Kasus-kasus yang saya dengar tidak cukup membuat saya bertepuk tangan.
Ingat kasus Corby? Sidang kasus narkoba atas warga Australia itu menunjukkan derajat martabat kita kira-kira berada di bawah tekanan publik dan pemerintah Australia. Sampai perdana menteri campur tangan. Saya dengan sedih membaca penilaian publik di sana yang menyebut peradilan kita barbarian, ''yang bahkan hakim-hakim dan jaksanya tidak berbicara dalam bahasa Inggris.'' Bukan penilaian mereka yang saya jengkelkan. Soal itu, biarlah. Toh, pengadilan yang sama-di Bali-itulah yang memuaskan publik Australia saat menghukum para pengebom Bali dengan vonis mati. Jadi, penilaian mereka cuma menampakkan kekonyolan sebuah negeri besar dalam berlaku ganda menghadapi peradilan negeri Asia.
Tapi, rasa jengkel tetap muncul. Ini terkait dengan sikap pemerintah kita yang nurut saja pada tekanan itu. Bagaimana kasus pidana narkoba bisa menyerah begitu saja pada kemauan negara asing. Lalu, di mana kemerdekaan hukum kita?Kasus-kasus serupa membuat kita tambah prihatin karena kian menunjukkan bahwa kita memang tidakmemiliki martabat. Apakah kita dianggap sedemikian bodoh oleh menteri hukum dan HAM kita sehingga kita tidak tahu batalnya remisi Abu Bakar Ba'asyir adalah hasil campur tangan negeri jiran yang sama?
Aturan yang berlaku bertahun-tahun bisa hapus karena tekanan sang deputi sherif dunia, lalu menteri kita mengatakan sang ustadz memang tidak layak mendapatkan remisi, bahkan kepala lapasnya pun tidak mengusulkan. Apakah sang menteri menganggap kita tidak pernah membaca koran, tidak bisa berbahasa Inggris, atau tidak punya televisi satelit di rumah?
Lalu, bagaimana kita memahami nasib sebaliknya yang dialami Tommy Soeharto. Remisi demi remisi ia terima-dan tak ada satu negara pun yang mempersoalkan-sehingga ia akan menjalani hukuman yang amat pendek bagi seorang terpidana kasus pembunuhan berencana. Bagaimana pula soal ''nasib baik'' yang juga dialami Michelle Leslie yang mendapat vonis sesuai masa tahanannya, tiga bulan, dengan salah satu alasan sedang meniti karier di dunia mode.
Melihat kasus-kasus itu, bagaimana kita bisa mengatakan bahwa hukum kita cukup bermartabat. Kebobrokan justru kita rasakan dari seluruh sisi petugas penegaknya. Kita mendengar polisi, termasuk perwira tingginya, yang disogok perambah hutan, pembobol bank, dan pedagang narkotika. Kita juga menyaksikan perbuatan jahat serupa berlangsung terang-benderang di tangan pengacara, jaksa, dan hakim.
Anda, mungkin seperti saya, hanya dapat mengelus dada menyaksikan semua itu. Kerewelan kita terkadang hanya mendapat cibiran dan komentar sinis. Apalagi kalau kita mencoba rewel terhadap campur tangan dari luar, kita akan dipandang tidak modern dan berkebiasaan buruk suka menyangkal. Tapi, setidaknya, hukum pada kasus-kasus para selebritas tersebut adalah pelajaran luar biasa bagi saya, bagi kita, juga bagi Bagir Manan, tentang martabat peradilan di negeri ini. Seberapa jujur, seberapa adil, seberapa merdeka, para penegak keadilan kita telah bertindak? Karena, di situlah sebenarnya kunci martabat, bukan pada lembaganya. n kalyara@yahoo.com
(Arys Hilman )
=====================
Sumber : www.Republika.co.id
0 Comments:
Post a Comment
<< Home