Friday, December 30, 2005

Risau


SIKAPNYA sudah jelas: tak ingin bersinggungan dengan masalah! Walau kuping dan mata menangkap masalah, otak berbisik jangan dihiraukan. Ternyata, suatu ketika, ''Masalah yang menghampiri saya,'' ujar seorang kawan. Dan, tidak bisa dielakkan, karena alam yang mengatur.



Hidup memang begitu. Masalah bisa datang dan pergi. Acapkali pula ia terasa kelewat berat, hingga seakan di luar jangkauan dan merepotkan. Atau, sebuah masalah bisa bikin keseleo lidah, dan menggusur jabatan. Tak usah gusar, kawan!



Di negeri tak menentu ini, masalah runyam bisa dientengkan, dan yang gawat dibuat sepele. Kelaparan di Yahukimo, Papua, misalnya. Ada, lho, yang menganggap kejadian biasa. Padahal, ratusan mulut menganga menunggu uluran tangan. Padahal, potret buram itu bukan isapan jempol.



Yang penting menyangkal. Menko Kesra Aburizal Bakrie, misalnya, menyebutkan, ''Hanya gejala awal yang bisa mengarah pada kelaparan.'' Padahal, fakta menunjukkan, 55 orang tewas. Padahal, tanggung jawab negara terhadap hak warga negara memperoleh pangan merupakan hak asasi manusia paling mendasar.




Dan, sementara itu pula, di Ibu Kota, pimpinan DPR mengaku kaget mendengar gaji dan tunjungan Gubernur Bank Indonesia mencapai rata-rata Rp 223 juta per bulan. Bandingkan pula dengan gaji gubernur bank sentral Australia (US$ 22.970), Cina (US$ 107), India (US$ 825), dan Malaysia (US$ 6.570).



Ironis, memang. Elite dan intelektual di satu sisi, dan wong cilik pada sisi lain, berpacu dalam ''problem'' masing-masing. Elite seolah menjauhi rakyat. Tercatat 15 anggota DPR ngotot ke Mesir untuk studi banding perjudian. Padahal, rapat pimpinan DPR pada akhir November 2005 memutuskan melarang studi banding demi efisiensi anggaran.



Saling lempar tanggung jawab pun terjadi. Sehari sebelum berangkat, Wakil Ketua DPR Zaenal Ma'arif merasa ''ditodong'' oleh sejumlah anggota DPR yang menyodorkan surat bukti kesiapan Parlemen Mesir menerima kunjungan tersebut. Maka, demi menjaga kredibilitas, ''15 anggota BURT (Badan Urusan Rumah Tangga) DPR itu saya izinkan,'' kata Zaenal.



Kunjungan empat hari yang menghabiskan Rp 760 juta itu ternyata hanya diterima Parlemen Mesir selama 75 menit. Itu pun seperti setengah hati. Sebab Ketua Parlemen Mesir, Fathi Sour, sering menerima telepon dan meninggalkan pertemuan. Wartawan Antara mencatat, selama pertemuan, ada delapan kali telepon untuk dia.




Di tempat delegasi menginap di Hotel Ramses Hilton Kairo, Forum Silaturahmi Masyarakat Peduli Mesir (FS MPM) menyampaikan protes keprihatinan. ''Karena kunjungan mereka lebih banyak unsur wisatanya,'' kata Koordinator FS MPM, Fahmi Salim. Ohoi, makanya disertai istri.



Belakangan, setiba di Tanah Air, berita soal studi banding disangkal. Halusnya: diluruskan! Mereka bukan untuk melegalkan perjudian, melainkan memperkuat peraturan yang melarang perjudian, yang kini digalakkan Pemerintah Indonesia.



Toh, muhibah ini tetap menuai kritik. Forum Masyarakat Peduli Parlemen menyebut sebagai sia-sia, buang-buang duit, dan tanpa agenda jelas. Telah terjadi kebohongan publik, karena pimpinan DPR tidak konsisten dengan putusan yang dibuat sendiri, yang melarang program studi banding ke luar negeri.



Carut-marut ini pula, antara lain, yang menggiriskan banyak pihak, termasuk Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah. Di mata dia, moral seorang pemimpin itu harus menyatu dalam diri seorang intelektual. Dia harus peka dan komit terhadap masalah besar yang menyangkut manusia dan kemanusiaan. ''Hati nuraninya harus hidup, peka, dan berfungsi prima,'' kata Syafii.



Gelap bukan dikatakan terang, dan hitam tidak disebut abu-abu. Juga bukan jadi predator yang menggerogoti negara. Tidak membelenggu kebebasan, dan tidak pula menyengsarakan rakyat. Bukan pula orang yang berkubang dalam dosa dan dusta. Pendeknya, tidak melakukan proses pembusukan terhadap bangsa.




Syafii merasa, dari waktu ke waktu di negeri ini, ''Keteladan semakin sunyi.'' Nurani kita telah lumpuh. Politisi sibuk mencari proyek dan merangkap sebagai calo. ''Sungguh malang bangsa ini. Dia dibunuh secara pelan-pelan oleh anak-anaknya sendiri,'' kata putra Minang kelahiran 1935 itu.



Karena itu, perlu terobosan radikal. Kalau saja kondisi buruk ini masih saja berlanjut maka, menurut Syafii, kita tak perlu lagi mencari siapa pengkhianat sebenarnya. ''Lebih baik kita akui bahwa kita semua pengkhianat, tidak terkecuali kaum intelektual,'' kata Syafii dalam pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, akhir November lalu.



Syafii, seperti juga saya dan Anda, mungkin risau oleh perjalanan anak bangsa ini. Kita memang bukan mencari masalah. Tapi masalah itu telah ''menghampiri'' kita, dan tak terelakkan. Solusi kongkret sepertinya belum tampak jelas, tegas, dan serempak. Aura reformasi masih tercerai-berai.



Maka, sebelum Indonesia ''menangis'' berkepanjangan, saya usul agar Anda tertawa atau masuk klub tertawa saja. Sebab tertawa itu bisa menuntun getaran otak menunjuk pada frekuensi gelombang alfa (7-14 Hz atau zero mind), persis kondisi orang bermeditasi. Rileks, tenang, dan nyaman. Daya kekebalan tubuh bisa meningkat dan mental Anda jadi sehat.



Tertawa juga meningkatkan kadar endorfin, peredam rasa sakit pada persendian. Selain itu, saat bergembira --atau bernapas secara dalam-- sel saraf menyemprotkan opiate peptides atau sari pati kenikmatan. Jadi, buat yang sedang risau, tertawalah sepuas Anda, sebelum negeri ini benar-benar ''menangis'' dirundung sejuta masalah.




[Esai, Gatra Nomor 6 Beredar Senin, 19 Desember 2005]


----------------
Sumber : www.gatra.com

0 Comments:

Post a Comment

<< Home