Seorang sahabat yang amat kaya
Oleh : Miranda Risang Ayu
Ia kini tinggal di daerah Limbangan. Saya tidak tahu persis berapa kilometer jarak Limbangan dari Semarang. Limbangan itu kota kecil. Dari ceritanya, saya membayangkan bahwa ia pun tinggal bukan di tengah, tetapi di pinggir kota Limbangan. Jadi, setelah naik bus antarkota, ada beberapa jenis kendaraan lagi yang harus dipakai untuk mencapai rumahnya, mungkin termasuk angkutan pedesaan.
Pada kali terakhir saya bertemu dengan dia, saya berjanji ingin mengunjungi dia. Saya merindukan kebersamaan dengan dia tahunan silam, ketika ia dan saya masih mahasiswa, tinggal di rumah kontrakan sederhana yang hampir sama, hanya punya beberapa lembar baju kusam untuk kuliah dan kain sifon pasar penutup rambut yang dirapikan pinggirannya dengan modal Rp 300 rupiah di tukang obras. Ketika itu, keseiringan antara dia dan saya selalu memunculkan kesanggupan bersama untuk tertawa amat nikmat ketika piring tembikar kesayangan saya pecah atau rok batik tercantiknya robek hingga tidak bisa dipakai lagi. Ia senantiasa bilang, "Yang 'tidak ada' baru barang kesayangan. Belum orang yang dicintai. Belum nyawa sendiri."
Saya bahkan tidak pernah tahu jumlah nilai akhir yang didapatnya ketika ia diwisuda sebagai sarjana ilmu peternakan. Tak pernah ada topik alamat perkantoran yang akan dituju untuk melamar pekerjaan membuat dia dan saya duduk berduaan sampai lama. Saya kenal kecerdasan alamiahnya, kerajinannya, dan kerinduannya yang murni kepada Tuhan dalam pergaulannya sehari-hari, hingga angka-angka yang tertera dalam tranksrip nilai akademiknya menjadi tidak begitu penting. Keberhasilan dan kegagalan bisa membuatnya tersenyum, dan itulah sebaik-baik ''ilmu'' yang telah didapatnya dalam usianya yang masih amat muda.
Bahwa kemudian toga membuat dia dan saya masuk ke dalam lapisan menengah intelektual, itu benar. Tetapi, saya memilih tetap di Bandung dan dia mengikuti suaminya di Limbangan. Masih sama-sama berkerudung, saya mulai terbiasa bersepatu tumit tinggi sedang ia berterompah. Sementaraitu, saya berangan tentang kelanjutan studi di Australia, kambing-kambing peliharaan, dan anak-anak didiknya nun di balik gunung sana tampaknya sudah mulai menjadi butir-butir tasbih yang nyata.
Malam itu saya bertemu dengan dia di Bandung. Tangan saya masih menjinjing berkas penelitian dan pelatihan. Sedangkan dia, perutnyalah yang menjinjing kehidupan untuk ketiga kalinya. Dengan bahagia dia mengomel bahwa besok perjalanannya pulang ke Limbangan pasti riuh-rendah. Saya? Apa yang bisa saya ceritakan dari target-target saya yang berhimpitan di dalam agenda? Saya kira, jika malaikat adalah manusia, mereka tentu sudah mulai mengomeli tingkah saya yang sok penting tentang kehidupan. Jika semua adalah titipan, apa artinya sepatu tumit tinggi, uang, kesempatan, dan gelar, tanpa keterampilan yang makin baik dalam mengingat-Nya ?
Sahabat saya itu, dengan sadar telah memilih untuk tidak menjadi apa-apa justru ketika berbagai peluang struktural bisa saja diraupnya. Sementara itu, bagi saya, agenda sudah hampir menyaingi Alquran literer, kesahajaan hidupnya mungkin telah membuat huruf-huruf Alquran bahkan telah mulai menampakkan diri di sudut-sudut hati dan ufuk-ufuk cakrawala, setiap pagi dan petang.
Pilihannya untuk hidup secara bersahaja justru telah membuatnya kaya oleh karunia-Nya untuk melakukan ibadah yang terbesar, yakni mengingat-Nya dengan baik setiap saat. Sungguh mewah untuk merasa tidak memiliki apa-apa, tetapi dimiliki oleh-Nya.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home