Wednesday, December 22, 2004

Uzur

Publikasi: 21/12/2004 07:52 WIB

eramuslim - Seperti apa rasanya menjadi uzur? Pertanyaan itu bergaung dalam kepala saat saya menyaksikan lelaki renta itu berjalan tertatih-tatih sepanjang gerbong KRL Jakarta-Bogor. Keriput menghias seluruh kulitnya. Putih kelabu mewarnai seluruh rambutnya. Ketika kemudian dia mengemis sambil mengumpat tak jelas, diam-diam saya menyimpan tangis dalam dada. Ke mana keluarganya? Seperti apa kehidupannya di waktu muda hingga seperti ini masa tuanya? Betapa meyedihkan terlunta-lunta tanpa sanak saudara. Pun, tanpa ketenangan batin pula. Bapak tua itu terus menerus marah-marah. Wajahnya yang sudah berkerut-merut, menjadi makin tak sedap dipandang karena aura marah, jengkel dan benci membayang di sana.

Menyaksikan si bapak tua membawa pikiran saya terbang jauh ke kampung halaman. Seorang lelaki renta juga menghuni rumah saya hingga setahun yang lalu. Dia adalah kakek saya, seorang pria lanjut usia yang tak lagi perkasa. Pendengarannya sudah sangat jauh berkurang. Penglihatannya pun mungkin tak lagi dapat menemukan bentuk benda yang sesungguhnya. Bahkan untuk berjalan beberapa langkah, ia harus segera duduk kembali beristirahat. Hari-harinya ia habiskan di tempat tidur. Kadang saya prihatin menyaksikannya. Teman-teman sebayanya rata-rata sudah meninggal. Istri, adik dan kakaknya juga sudah meninggal, meski ada beberapa adiknya yang masih hidup namun juga dengan kondisi yang tak jauh berbeda. Dia tampak sering kesepian, sendirian, sedang orang-orang dewasa di sekelilingnya sibuk mencari penghidupan.

Namun saya tahu, kakek saya masih beruntung. Dia memiliki bapak saya, anak laki-lakinya yang berbakti. Bapak saya seorang laki-laki paruh baya yang penuh kasih sayang terhadap orang tuanya. Selama bertahun-tahun, sejak kakek tak lagi dapat melakukan segala sesuatunya sendiri, kakek tinggal bersama kami. Dan selama itu pula bapak saya yang mengurusnya. Tentu saja termasuk kami: ibu, adik, dan saya jika sedang di rumah. Namun bapak saya memiliki perhatian yang lebih. Beliau yang mencucikan baju-baju kakek saya. Menemaninya jalan-jalan. Mengajaknya ngobrol. Menenangkannya jika kakek mengigau tengah malam. Memijitinya jika kakek sakit. Dan sebagainya. Dan seterusnya.

Bahkan ketika setahun terakhir kakek tak lagi tinggal bersama kami dan pindah ke rumah pak dhe saya di kampung sebelah, bapak saya rajin menengoknya, minimal sehari sekali, sekedar duduk berdua dalam diam. Sekedar membenahi selimutnya jika dia tengah tidur. Sekedar menanyakan apakah dia sudah makan atau belum. Sekedar membawakan makanan kecil, ubi-ubian kesukaan kakek. Atau memandikannya jika keluarga pak dhe tidak sempat memandikannya. Seperti lebaran kemarin, ketika dia memandikan kakek saya dan memakaikannnya baju terbaik untuk menyambut anak cucu.

***

Mereka berdua duduk bersama dalam diam. Tak ada kata-kata. Tak ada percakapan sebagaimana layaknya dua orang sedang bercengkerama. Tapi saya tahu ada perbincangan di antara batin mereka. Tapi saya tahu ada kasih sayang mengalir dari dada-dada mereka. Tapi saya tahu ada kehangatan dalam hati mereka. Mereka, dua laki-laki yang tengah bercengkerama dalam diam dengan suasana lebaran kemarin itu adalah anak beranak. Bapak dan kakek saya.

Saya berdoa, semogalah kakek saya menjadi orang yang beruntung karena memiliki anak yang berbakti. Dan semoga bapak saya ketika tiba masanya nanti, selain pahala yang semoga sudah disimpan Allah disisi-Nya untuk hari akhir nanti, akan mendapat bakti yang selayaknya pula dari kami anak-anaknya sebagaimana dia berbakti kali ini.

Azimah Rahayu
azi_75@yahoo.com
(@azi, persembahan untuk bapak menjelang hari ibu: kini engkau pahlawanku, seperti juga ibu)
------------------
Sumber : Eramuslim.com

0 Comments:

Post a Comment

<< Home