Kenangan
eramuslim - Dia masih seperti yang dulu. Tidak megah. Tidak indah. Sederhana. Bersahaja. Bahkan kini sebaris pagar bata menutup halaman luasnya, mengesankan jarak dengan dunia luar. Tapi dia menyimpan kekuatan luar biasa. Tapi keberadaannya telah menjadi saksi sejarah terbangunnya sekian ribu jiwa yang pernah menghuninya. Bertahun-tahun, belasan tahun, puluhan tahun. Sekian generasi telah tumbuh di sana. Pun juga diriku. Sekian tahun yang lalu. Ah, sudah berapa lama itu? Lima tahun? Lebih?
Aku menatap bangunan itu lekat-lekat begitu turun dari taksi. Kemudian memasukinya perlahan. Memandang wajah-wajah di dalamnya. Mengedar pandang ke segala penjuru sudutnya. Langit-langit, daun pintu, balkon atas, mihrab, ruang keputrian di sisi kanan. Semuanya masih sama. Seperti dulu, saat aku masih di sana. Ya, tempat ini, dulu pernah sangat akrab dengan diriku.
Tempat ini, dulu adalah bagian dari hidupku. Tempat ini, memberikan andil yang sangat besar bagi tumbuh kembangnya jiwa, pemikiran dan ruhaniku.
Menyaksikan semua itu di depanku, menimbulkan sensasi luar biasa. Menyemburkan segala kenangan yang –nyaris- terkubur tentangnya. Aku ingin mengulanginya lagi. Seperti dulu. Shalat di dalamnya. Duduk bertafakur di dalamnya. Beraktivitas di dalamnya. Mengikuti kajian di dalamnya. Sekali lagi kutatap wajah-wajah di hadapanku. Dulu, aku ada di antara mereka. Duduk khusyuk, mendengarkan, memperhatikan. Dan kini, kembali di sana, meski dalam posisi yang berbeda, rasanya bagai deja vu: sekian tahun yang lalu, aku adalah mereka.
Maka pagi itu, aku mengambil dua rakaat untuk menghormatinya. Menyampaikan kembali salam cinta. Berdiri di sana, menghadap kiblat, membawa banyak kenangan yang terkubur dari masa silam. Berapa banyak yang telah kupelajari di sini, dan kemudian mengintegral dalam diriku? Berapa banyak yang kuperoleh disini, tapi kemudian luruh dibawa oleh angin lalu? Berapa banyak janji yang pernah kuucapkan di sini, dan kemudian kutepati atau malah tak berbekas lagi? Sudah berapa banyak hal yang terlewat dariku? Sudah berapa banyak hal yang kuperoleh dari tempat ini kemudian terlupakan tergerus jaman?
Aku dulu belajar menjadi manusia yang lebih baik dari sini. Aku dulu berproses mengenal penciptaku dan diriku di sini. Aku dulu belajar tentang agama dan jalan hidupku di sini. Aku dulu mendapatkan semua manual hidup di sini. Aku dulu berjanji untuk memegang prinsip-prinsip dan idealisme bersama tempat ini. Masjid Baitul Maal, Kampus STAN.
Dan kemudian, duduk di sana selama beberapa waktu, menyusupkan syukur ke dadaku: betapa sesuatu yang pernah terjadi -dan menjadi bagian- dalam hidup kita, bisa tertutup, terlupakan, terkubur di kedalaman memori. Dan betapa ternyata mengunjunginya mampu membawaku kembali kepada kenangan atas segala pelajaran, hikmah dan idealisme yang pernah kudapatkan. Memberiku kekuatan untuk memperbaharuinya kembali.
Duduk di sana, membawa anganku melayang ke suatu hari di masa depan. Hari yang belum pernah dijalani semua manusia. Apakah hari itu, nanti juga akan menyemburkan kenangan pada setiap orang seperti padaku saat ini?
Ah, pastilah saat itu, aku dan semua manusia lainnya, telah lupa akan apapun yang telah dilakukan di masa lalu: masa hidup di dunia. Bukankah aku juga sudah nyaris lupa dengan segala yang kuperoleh, kupelajari dan kusumpahkan disini? Padahal belum lagi hitungan sepuluh tahun kulalui? Lantas bagaimana jika waktu itu telah berlalu puluhan, ratusan dan ribuan tahun lamanya? Pastilah lebih terkubur lagi.
Namun bukankah kehadirannya di hadapanku mampu memunculkan kembali semua memori yang pernah kujalin bersamanya? Maka kurasakan kemudian, suatu hari yang entah kapan itu, aku pasti akan dapat mengingat semua kenangan masa lalu lagi. Ketika di hadapan mata dihamparkan segala sesuatu yang pernah kulakukan. Ketika di pandangan ditampakkan segala tempat yang telah kudiami. Ketika padaku dihadirkan orang-orang yang telah pernah menyentuh hidupku: menyayangiku atau kusayangi, menyakitiku atau kusakiti, membenciku atau kubenci, yang aku belajar padanya atau dia belajar padaku.
Sayangnya, ketika semua kenangan masa lalu pada suatu waktu yang telah pasti itu dihadirkan, aku tak akan punya kesempatan untuk memperbaiki lagi akadku seperti sekarang. Aku tak akan diberi waktu lagi untuk mengulang yang ingin kulakukan lagi, pun tidak diberi waktu untuk menghapus dan membatalkan sesuatu yang kusesali seperti yang masih dapat kulakukan kini. Hari itu, sebuah masa bernama hari pembalasan. Tempat itu, sebuah tempat bernama akhirat. Hari itu, ketika semua kenangan dihadirkan, ketika segala yang pernah kita lakukan dihamparkan, kita hanya diberi dua pilihan: Mengenangnya dengan bahagia atau dengan urai air mata. Mengenangnya dengan sepenuh kenikmatan atau sepenuh kepedihan. Mengenangnya bersama segala karunia yang diberikan, atau bersama segala hukuman yang mesti ditahankan.
Dan di sana, menekur di masjid itu, yang akan menjadi bagian dari masa lalu pada suatu hari yang pasti di masa depan itu nanti, aku bertanya-tanya, kenangan macam apa yang kuinginkan hadir di hadapanku, ketika saatnya tiba?
Azimah Rahayu
azi_75 at yahoo dot com
23 Mei bakda subuh atas kenangan yang menderas pada 21mei
---------------
Sumber : www.Eramuslim.com
0 Comments:
Post a Comment
<< Home