Kabut Musim Dingin
Hik....! Sentimentil-Romantisme dikit boleh..dunk....biar kagak BETE ....kekekekek....
Cheers !
@rf
Berlin,
2000
Entah naluri apa
yang membuatku menggerakkan lengan-lenganku hingga begitu saja melingkari
leher pemuda itu. Sekejap terasa tubuhnya menegang. Otakku bagai tertutup
kabut, mataku terpejam saat aku merengkuh lehernya dan menaruh wajahku
di sebelah kepalanya. "I will miss you," bisikku di telinganya.
Walau pikiranku terasa buntu, aku
masih bisa merasakan tubuhnya yang hangat dan bidang dadanya yang menggetarkan
rasa, mulai rileks. Tak lama lengan-lengannya malah balas merangkul
pinggangku.
Hmmm. aku mendesah nikmat. Aku cinta
padamu, aku cinta padamu. Aku menjerit dalam hati. Tak berani mengeluarkannya
sedikitpun. Tak terasa air mataku menetes. Mungkin ia merasakan basah
di kemejanya, karena ia melonggarkan pelukannya dan aku hanya menunduk
di hadapan tatapannya.
Tanpa berkata apa-apa kami duduk
berdampingan di atas tempat tidurnya. Aku segera merangkulkan lengan
di pinggangnya dari samping dan menaruh kepala di sedikit bidang dada
dan bahunya. Hm, wangi parfumnya sangat menyenangkan. Aku mencium bahunya
yang terbungkus kemeja. Ia bergeming, hanya balas merangkul pinggangku
dengan satu tangannya. Tak berkata apa-apa.
Jakarta,
2002
Kini ia berdiri di hadapanku.
Dua tahun berlalu. Tetap berdada tegap, tampan, matanya tajam dan dingin.
Ada sedikit pijar hangat, tapi aku tak yakin apakah itu untukku. Aku
hanya menatap tak acuh. Keadaan sudah jauh berbeda. Aku bukan lagi perempuan
yang mengecup bibir bawahnya tanpa ada balasan dan meneleponnya untuk
mengatakan "aku cinta padamu tapi tak berharap apapun"
Suamiku sudah lari
entah kemana, mungkin kecewa tak juga memiliki keturunan dariku dan
memutuskan kembali ke pacar lamanya. Dunia sudah cukup kejam padaku,
jadi aku tak peduli lagi akan sikap dinginnya yang tak berubah.
"Kini kamu tampak
sematang usiamu," katanya. Mataku melotot. Ia tersenyum. Hangat.
"Tak cocok lagi
berjalan dengan orang semuda kamu," balasku sengit. Matanya berkilat.
Ia memang paling tak suka disinggung soal umurnya yang tujuh tahun lebih
muda dariku.
Rasanya aku tak peduli
lagi mau dia marah atau menjauh sekarang ini. Aku tahu mataku menyorot
bandel. Ia semakin mendekat. Aku bergeming, berdiri santai dengan tangan
bersidekap di dada. Pandanganku terhadap laki-laki sudah sedemikian
buruk sehingga aku tak merasa perlu menghargai dia sedikitpun.
"Hati-hati, imej
kamu akan anjlok kalau ketahuan berdekatan dengan janda!" kataku
dengan nada sedikit kejam. Matanya tetap tak berubah. Dingin dan tajam.
Namun bibir tipisnya tidak lagi melengkung sinis, melainkan samar membentuk
senyum kecil.
"Aku ingat kata-kata
terakhirmu di telepon," ujarnya sambil mencoba meraih tanganku.
Aku bergerak menjauh. Mendadak tubuhku gemetar.
"Aku tak ingat,"
tukasku dengan nada turun naik. Entah kenapa seluruh tubuhku terasa
panas dingin. Ah, cinta lama tanda ketaksetiaanku. Kepergian suamiku
mungkin suatu karma.
"Kita minum sebentar?"
ia bertanya dengan kepala agak membungkuk menatap mataku. Aku merasa
jengah. Tidak ada lagi pertemuan, tekadku.
"Maaf, aku banyak
urusan! Bye!" Aku melangkah cepat-cepat meninggalkan pria itu.
Pria yang kucinta dengan setengah hati, dahulu, karena status pernikahanku.
Mengapa ia bisa muncul lagi? Pada saat seperti ini pula! Saat kepedihanku
sudah tinggal kerak, melapisi permukaan hati dan membekukan jiwa. Mudah-mudahan
ia sudah menikah dengan gadis yang ia idamkan, doaku dalam hati. Biarkanlah
cinta itu hanya kenangan.
Bonn, 2003
Hm, beginilah kalau
bangun kesiangan di hari minggu. SBahn arah Bonn Bad- Godesberg jarang
lewat. Aku mendumel sambil berdiri di halte SBahn Chlodwig Platz di
Cologne. Hari ini aku ingin pergi ke Bonn, sesuai janjiku pada teman
yang mengundangku untuk mengikuti sebuah seminar di kota itu selama
tiga hari.
Seminar akan dimulai hari Senin,
tapi ada acara yang menurutnya pasti menarik bagiku. Akibat terlalu
semangat dugem semalam dengan Risa, teman seapartemen, aku terlambat
bangun. Khawatir temanku di Bonn bakal menunggu terlalu lama, aku menghubungi
telepon genggamnya.
"Christ, aku bakal telat sampe
Bonn. Aku tak usah ke hotelmu ya?"
"OK, kita ketemu di bis depan
hotel peserta atau kalau sampai kamu masih tidak sempat, ketemu di dermaga
kapal pesiar saja. Ada tur di sungai Rhein," sahut Christ dari
seberang telepon. Tak lama terlihat SBahn yang kutunggu sudah datang.
Kereta begitu lengang siang itu.
Di setiap stasiun yang disinggahi jumlah penumpang yang turun lebih
banyak daripada yang naik. Buatku ini menyenangkan, jadi bisa bebas
melamun di tempat favoritku, sebelah jendela, agak berselonjor tanpa
perlu tiba-tiba harus menarik kaki karena ada penumpang mau duduk di
hadapanku.
Bonn. Entah pikiran darimana mendadak
saja aku teringat pemuda itu. Ia pernah bercerita kalau ia lahir dan
besar di Bonn. Sudah bertahun-tahun ia tidak pulang dan sangat rindu
kota itu. Ah, apa urusanku? Aneh, kini dia ratusan ribu mil jauhnya
dari sini, tapi tetap saja bayangannya sering melintas di benakku.
Terus terang, rasanya ini bukan
ide bagus buatku. Pergi ke Jerman dan bayangannya malah makin melekat.
Kemanapun aku pergi. Aku mencoba tidur sejenak. Namun yang melintas
malah percakapanku dengannya tentang Bonn, tiga tahun lalu. Bonn yang
kecil namun hijau, kota mahasiswa, punya banyak taman, banyak kastil
dan bangunan tua di pinggir sungai Rhein yang juga melintasinya, kota
yang sering disiram hujan, dan lain-lain.
Dan, hujan pula yang menyambutku
setiba di stasiun Bonn. Aku hanya berdiri lesu menatap titik-titiknya
dari balik pintu kaca stasiun kereta api yang tua dan antik. Tiba-tiba
saja aku enggan mengikuti saran Christ. Seperti biasa selama hari-hariku
yang penuh perjalanan di Jerman, aku segera mencari locker untuk menaruh
koper kecilku.
Dua euro untuk 24 jam. Lalu membeli
tages ticket yaitu tiket untuk satu hari dengan alat transportasi apapun
(UBahn, SBahn, trem, bis) ke arah manapun di satu kota. Hanya sekian
menit waktu kubutuhkan untuk mengamati peta jalur kereta bawah tanah
(UBahn) dan trem, aku segera bisa memutuskan arahku. Ke pinggir sungai
Rhein.
Dua puluh menit kemudian aku sudah
berjalan di pinggir sungai Rhein, menyusuri tepiannya yang sedikit berkabut.
Tak peduli rinai hujan menyiram perlahan. Sebuah jalanan untuk pejalan
kaki dan pengendara sepeda dibangun sepanjang pinggir sungai Rhein.
Setiap beberapa meter tersedia bangku
untuk duduk-duduk. Pohon-pohon peneduh bertebaran dimana-mana. Aku teringat
boulevard semacam ini di Duesseldorf, tempat aku sering menghabiskan
senja dengan menatap matahari terbenam sambil duduk dengan kaki berjuntai
di tembok boulevard, menghabiskan sebungkus besar potato chips. Disini
temboknya tidak tinggi sehingga keakraban antara sungai dan manusia
terasa alami.
Entah mengapa aku kesini, desah
hatiku. Apa karena aku ingat cerita dia, semasa kecil selalu datang
kesini untuk melihat pertunjukkan kembang api di seberang sungai. "Indah
sekali, malam gelap dengan cahaya kembang api. Aku selalu ingat kenangan
itu," katanya suatu saat dua ribu tahun yang lalu.
Ada apa lagi dengan diriku?Apakah
karena mendadak aku merasa sendiri, lelah karena berbagai tugas dan
perjalanan lalu sesaat ingin menjadi puitis?
Hujan sudah berhenti. Kabut masih
melayang di atas sungai. Aku duduk dan mulai membuka agendaku. Ada halaman
khusus untuk puisi-puisi disana. Sejak pertemuan dengannya, puisiku
melulu mengenai kerinduan dan impian. Semuanya kutulis ketika aku berada
di luar negeri.
kabut melayang melintasi Rhein,
kapal-kapal melaju bagai kendara di ruang mimpi.
mimpi yang membawaku kepada kenangan sorot matamu.
aku kini di kotamu,
cantik, mungil, kelabu dan misterius..
aku jatuh cinta segera pada pesonanya,
pada rumah-rumah indah sepanjang sungai,
pada wangi pinus,
pada bukit-bukit hijau yang mengitarinya bagai ingin memeluk selalu.
cinta yang platonis.
seperti padamu.
Sebutir air mata tak terasa menetes
ke atas kertas. Aku segera menutup agenda. Mengangkat mataku, dan tersentak.
Dia! Berdiri tepat di hadapanku. Bagai mimpi. Begitu terkejutnya aku
hingga tersedak. Sambil terbatuk-batuk aku mencari tisu di ransel kecilku.
Namun tangannya terulur memberikan saputangan.
Bagai dalam mimpi aku menerima saputangannya
sambil menatap matanya, wajahnya dan sosoknya. Ada sorot kekhawatiran
di matanya. Tubuhnya terbalut jaket tebal dan ia memakai topi. Sejak
kapan ia berdiri disitu, pikirku resah. Oh, mimpi. ia kah?
"Hallo?" sapanya pelahan,
suaranya lembut. Itulah sapaan kami satu sama lain melalui telepon,
email ataupun sms.
"Kalau kau memang nyata,
mengapa aku tak tahu kehadiranmu?" tanyaku sedikit konyol. Ia tersenyum.
"Karena kau begitu asyik
dengan tulisanmu," sahutnya pelahan. Matanya masih tetap menatapku.
Disini? Di Bonn? Sejauh ini ia tetap
nyata? Aku menggelengkan kepalaku. Mataku bertanya-tanya. Namun seluruh
tubuhku sudah terasa ingin berlari ke dekapannya. Lengan-lenganku sudah
tak sabar ingin merangkul lehernya. Aku menggigil tak sadar merasakan
sensasi kehadirannya.
"Aku sedang berjalan-jalan
dan tiba-tiba melihatmu disini," katanya menjelaskan. Mengapa ia
tampak kuat dan tak bergeming berdiri seperti itu? Kedua tangannya ia
benamkan dalam saku celananya. Apakah kalau ia bergerak maka itu berarti
pergi selamanya? Aku mendadak merasa ketakutan. Jangan lagi, jangan
lagi menjauh. Tapi sebagian hatiku menolak, karena aku tahu perasaannya
tidaklah sama. Aku berusaha mengeraskan hati.
"Aku menunggu Christ, ia mengajakku
ikut tur dan seminar disini," kataku. Ia tahu Christ, kami pernah
pergi bersama. Lalu kami terdiam, saling memandang. Padahal aku ingin
menanyakan banyak hal; tampaknya ia juga. Tak lama ia bergerak sedikit.
"Maaf aku mengganggu keasyikanmu,
mungkin sebentar lagi Christ akan datang," katanya perlahan. Hatiku
menjerit, melarang ia pergi. Sejauh ini bertemu lalu berpisah? Namun
mulutku seperti terkunci. Matanya masih memandangku, kini agak lunak.
Entah bagaimana sorot mataku, namun aku berusaha menahan gejolak hatiku.
"Mungkin, karena aku harus
mencari tempat kapalnya," ujarku sambil mengemasi barang-barangku.
Aku berdiri dan mulai membuka jaket karena hujan sudah berhenti; selain
itu mendadak aku merasa kepanasan. Ia masih berdiri memandangku.
Tiba-tiba sorot matanya tampak terkejut.
Aku menatap heran, menatap bajuku, siapa tahu ada kancing terbuka. Tapi
tak mungkin, karena aku hanya memakai celana jeans dan kaos pendek.
Aku kembali memandangnya heran sementara hatiku menggelepar melihat
tatapannya. Pergilah engkau, dan biarkanlah aku mengikutimu dari belakang
hingga ujung dunia sekalipun, jerit hatiku.
"Kirry." suaranya berat
namun pelahan menyebut namaku.
Aku terpaku menatapnya. Entah berapa
lama kami berdiri berhadapan sambil bertatapan. Aku bahkan sudah tak
bisa menganalisa apa yang aku tatap. Wajahnyakah, matanyakah atau hanya
kabut dan awan putih?
Ketika tersadar aku sudah berada
dalam dekapan hangatnya. Siapa yang lebih dahulu memeluk? Aku tak peduli,
kubenamkan wajahku dalam-dalam di bidang dadanya. Pipiku hangat mendengarkan
debaran jantungnya, menghirup aroma tubuh dan parfumnya dan merasakan
belaian tangannya di punggungku. Aku menyebut namanya berulang-ulang
tanpa bersuara.
Tiba-tiba terasa daguku terangkat
oleh jemarinya. Matanya tepat di atas mataku. Bibir tipisnya pelahan
mendekati bibirku. Aku seperti tak percaya. Dulu, aku yang ngotot ingin
menciumnya dan ia tak membalas ciuman itu. Belum pernah, katanya waktu
itu.
Kini bibir dambaanku melekat erat
menciumi seluruh permukaan bibirku, terasa lembut dan manis. Bibirnya
malah makin nakal menciumi bibir bawah lalu bibir atasku. Hm, dia sudah
ahli sekarang. Dari tak bereaksi karena terkejut, aku menjadi agresif
membalas ciuman dan kecupannya sementara kedua lenganku melingkari lehernya.
Sebelah tangannya memeluk punggungku dan lengan lainnya membelai kudukku.
Hm, betapa nikmat bisa memeluknya erat.
Entah berapa lama kami berciuman
hangat. Kaki-kakiku terasa sangat lemas sehingga tubuhku setengah bergantung
padanya. Dan dunia serasa ada dan tiada. Terpaan angin pun tak terasa
lagi. Ketika ia menjauhkan wajahnya, aku melihat matanya yang tak lagi
bersinar dingin.
Kami duduk bersisian di bangku tadi,
saling memeluk.Terdiam memandang sungai Rhein yang kini sedikit terang
karena matahari sore.
"Kamu kurus sekali," tiba-tiba
ia bersuara.
Aku menoleh menatapnya. Ia masih
memandang ke depan. Aku mencium pipinya mesra. Ia menoleh dan mencium
pipiku. Ah, mengapa ia dulu begitu dingin dan kaku? Atau jangan-jangan
sejak aku menciuminya ia menjadi berpengalaman? Siapa saja wanitanya
selama kami tak berkomunikasi, pikirku tiba-tiba cemburu.
"Kamu pasti jalan terus kemana-mana
seperti dulu, hanya makan apel dan yoghurt supaya hemat, dan membawa
day pack yang berat sekali," ujarnya sambil menatapku mesra. Aku
tersenyum. Ternyata ia masih ingat kebiasaan-kebiasaan yang aku ceritakan
kalau sedang melakukan perjalanan ke luar negeri. Berhemat biaya makan
demi membayar ongkos kereta api kemana-mana. Terdorong rasa gembira
aku mengecup bibir bawahnya sesaat. Ketika ia akan membalas kecupanku,
aku segera menyusupkan wajahku ke bahunya.
"Kita memang cocok sejak dulu,
tapi mengapa begitu sulit menyatu?" bisiknya di telingaku. Aku
menggeleng.
"Kalau kita cocok, aku
tentu belum menikah dan jadi begini ketika bertemu denganmu," sahutku.
Telunjuknya menempel di mulutku. Kepalanya menggeleng.
"Siapa pacarmu?"
tanyaku tak peduli. Ia menatap dengan geli.
"Banyak," jawabnya,
"Tapi tak ada yang seperti kamu, membuatku selalu penasaran dan
terkejut dengan tingkah dan idemu." Ia mengeratkan pelukannya.
"Tentu saja, aku kan
jauh lebih tua darimu," kataku terus memancing reaksinya. Matanya
bersinar tajam.
"Aku akan berusia 50
tahun ketika engkau masih puber kedua," kataku dengan nada merajuk.
Ia tertawa ngakak.
"Itupun kalau aku masih
hidup," tambahku berlebihan. Tiba-tiba tawanya berhenti. Sinar
matanya meredup.
"Kalau kau mati, semenit
kemudian aku juga mati," katanya dengan nada serius. Ganti aku
yang tertawa ngakak. Betapa gombalnya pemuda ini! Tapi dia masih menatap
serius. Tak ada tawa.
Sekilas kulihat matanya agak melunak, garis wajahnya kembali normal.
Aku mengusap pipinya lembut. Ia menempelkan hidungnya yang tinggi ke
pipiku. Hangat.
"Terus, mengapa bisa disini?"
akhirnya pertanyaan pentingku keluar.
"Entahlah, seperti ada
yang meyakiniku kalau kau akan pergi ke tempat ini," jawabnya.
Jadi bukan berjalan-jalan dan tiba-tiba saja melihatku disini. Ajaib
bukan? Apa benar kalau pasangan yang sudah jodoh nuraninya sering nyambung?
"Kau kan suka alam? Dan
pasti sudah banyak temanmu yang bilang bahwa Rhein paling bagus dilihat
dari Bonn," ia terus berbicara.
"Aku ingat kau yang pernah
bilang," desahku. Matanya bersinar kaget.
"Apa saja yang kau ingat
selain itu?" ia bertanya perlahan.
"Semuanya, seperti jam
hingga ke detik-detiknya," jawabku lembut. Kami bertatapan. Aku
membuka mulut hendak bertanya lagi, tapi ia menutup bibirku dengan ciuman
hangat. Sesaat.
"Itulah jawabanku," katanya usai ciuman singkat tadi. Mataku
bertanya. Ia tersenyum lembut. Jemarinya membelai pipiku.
"Tapi aku tak seideal
impianmu," bisikku dengan nada menyesal.
"Tahukah kau seperti
apa impianku?" tanyanya dengan senyum.
"Gadis cantik dan pintar
dengan usia lebih muda darimu, kamu kan pernah bilang," jawabku
sekenanya.
"Ya, sebelum aku kehilangan
kamu," katanya pelahan.
"Aku memberi kau kesempatan
untuk bertemu gadis impianmu."
"Aku bertemu dengan gadis
lebih muda usia atau malah seusia denganku, beberapa kali. Aku pikir
aku jatuh cinta, tapi semuanya semu. Aku hanya membohongi diriku."
"Aku bukan tipe perempuan rumahan,
aku tak berniat menikah lagi!" kataku begitu saja. Wajahnya tampak
terkejut. Aku mengangkat bahu.
"Maaf kalau terlalu cepat,
padahal kau tidak melamarku," sambungku cepat-cepat. "Tapi
sudah cukup sekali aku merasakannya dan aku tahu itu bukan lingkungan
yang cocok untukku. Mungkin aku hanya menyenangkan saat masa perburuan
saja. Begitu sudah di tangan aku tak akan membuatmu penasaran dan terkejut
lagi. Kau akan kecewa seperti yang pertama, lalu meninggalkanku dan
mungkin saat itu aku sudah mati."
Ia menatapku tajam. Aku memandang
alisnya yang tebal sambil berkhayal hari-hari indah bersamanya tanpa
harus menikah atau kawin. Apa bisa? Kami terdiam lama. Pandangannya
semakin lembut.
"Bagaimana kalau kita begini
saja? Berteman tapi boleh pelukan dan ciuman sering-sering?" tanyaku
dengan nada polos. Dia tertawa.
"Aku ingin memilikimu,"
hanya itu jawabannya. Aku terpaku. Panik mendengar nada seriusnya. Menolak
berarti tidak bisa lagi menikmati pelukannya, mengiyakan berarti terjerat
kembali pada rutinitas kehidupan yang menjemukan.
"Mengapa? Tidak bisakah
memiliki sebagai teman?"
Ia masih menatapku. Bibirnya bergetar.
Matanya berkabut. Aku kembali terpaku. Ia tampak seperti anak laki-laki
yang takut kehilangan sepeda kesayangannya. Aku malah menggenggam tangannya
erat-erat karena khawatir melihat keadaannya. Sejenak ia seperti berusaha
menguatkan diri.
"Aku mencintaimu. Sangat,"
demikian katanya dengan nada mantap.
Mulutku ternganga. Lama aku terlongong
memandangnya. Tak tahu mau bicara apa. Pikiranku kacau balau. Mengapa
aku kaget, bukankah ini yang kuinginkan selama ini? Impianku? Apa benar
ini impianku? Aku yang mencintainya, dan mengimpikannya. Tak pernah
aku berharap dia mencintaiku.
Aku pernah mengatakan padanya, bahkan
pada saat ia ingin menjauh karena khawatir dengan perasaanku. Waktu
itu aku bersikukuh dengan mengatakan "Aku tak berharap jauh padamu,
dan janganlah kau menjauhiku".
Aku mencintainya tapi tak pernah
berharap akan hidup bersamanya atau menjadikan hubungan ini lebih serius
karena aku sudah menikah. Aku berharap ini adalah cinta sesaat di tengah
pernikahanku. Dan aku bersyukur dia tak mencintaiku karena kalau perasaanku
berbalas aku tak kan sanggup memikul penyesalan akan menodai pernikahanku
dengan hubungan gelap. Aku sudah senang kalau ia mau berteman denganku.
Tapi semua berubah. Suamiku cemburu
padanya walaupun aku sudah berkata ia hanya sahabat. Lalu ia mulai menjalin
hubungan dengan pacar lamanya. Ketika aku bereaksi, dengan dalih aku
tak bisa memberi keturunan ia malah meninggalkanku.
Lengkaplah kesalahanku. Pernah selingkuh,
mandul pula! Sejak itu aku tak pernah mau menghubungi pemuda ini, tak
ingin bertemu siapapun yang pernah mengenalku. Aku masih beruntung karena
sebuah yayasan di Jerman memintaku menjadi penulis dan peneliti selama
dua tahun. Aku tak pernah mengira ia akan terus mencariku.
"Aku memang pernah merasa takut
terhadap perasaan ini, dan berusaha "berpacaran" seperti yang
kau sarankan sejak dulu. Tapi aku tak punya hati," suaranya terdengar
lagi. Aku menggelengkan kepala berkali-kali. Rasanya kepalaku berat
dan pening. Lengannya segera memelukku erat-erat. Hangat.
Kalau aku boleh memilih, aku ingin
lebih tua dua tahun saja dari dia, jangan tujuh tahun, Tuhan! doaku
dalam hati. Apa kata dunia? Janda cerai usianya lebih tua 7 tahun, berpacaran
dan menikah dengan pemuda perjaka (aku yakin dia masih perjaka) bermasa
depan cerah! Mungkin kami harus tinggal di Alaska biar tidak jadi bahan
empuk gosip tetangga.
"Apa yang kau inginkan dalam
hidup?" bisiknya tiba-tiba di telingaku. Aku terhenyak. Berpikir
keras. Ingin? Jalan-jalan dan menulis, tentunya. Bertemu banyak teman
baru. Dan.
"Kamu," jawabku
setelah tersadar kelanjutan anganku.
"Aku juga," suaranya
begitu dalam dan berat. Penuh perasaan. Tak pernah aku mengira ia begini.
Ia adalah orang yang kaku, dingin, sopan dan kadang egois. Sikap ini
kurasa makin meleleh setelah aku sering meneleponnya dan bercerita apa
saja sampai ia yang selalu menjaga emosi berlebihan bisa ikut tertawa-tawa.
Dari negara manapun aku berada aku
berusaha menjaga komunikasi dengannya. Ketika bertemu langsung aku berusaha
menjaga sikapku, sama sekali tak menyentuhnya karena aku sudah berjanji
(aku takut ia lari ketakutan kalau kucium pipinya), dan kadang-kadang
sok tua (biasanya ini tidak berhasil) supaya tidak kelihatan terlalu
jauh perbedaan usia dan tingkah laku. Dan kini ia mengaku menginginkan
aku dalam hidupnya? Aku mencoba tenang.
"Dengar, hanya pacaran yang
menyenangkan. Pernikahan sudah seperti rutinitas. Tidak ada lagi hal
mesra, kalau adapun seperti dipaksakan. Apalagi kalau tidak punya anak,
walaupun kita sudah berusaha karena kita saling cinta, tetap saja pernikahan
terasa hambar. Sebenarnya, tidak ada gunanya menikah. Aku lebih setuju
hidup bersama saja seperti kebanyakan orang-orang Jerman ini! Kita bisa
berhubungan seks kapan saja tanpa ada ikatan dan keharusan punya keturunan.
Kalau sudah punya anak, baru pilih mau menikah atau terus begitu."
Sejenak ia terpana. Matanya memandang
takjub padaku. Aku juga heran pada mulutku yang lancang ini. Darimana
ide ini? Aku kan paling tidak suka living together, tapi koq tiba-tiba
semua ide-ide bebasku bisa berlompatan keluar?
"Heran ya, aku bisa bebas berbicara
denganmu? Aku suka berbicara denganmu," kataku tiba-tiba. Ia terbahak.
"Apa kau sudah tertular
kultur disini atau hanya karena merasa pahit?" tanyanya. Aku terdiam.
Ya, aku pahit dengan kenyataan kehidupan pernikahanku. Aku merasa gagal
dan merasa akulah penyebabnya.
"Dengar sayang, aku tak
pernah memaksamu menikah denganku, aku bahkan belum sempat melamarmu
walaupun ingin," ujarnya sambil merangkum pipiku dalam genggaman
tangannya, "Tapi kita bisa membina hubungan hingga kau yakin akan
keseriusanku kalau memang kau tak percaya padaku."
"Aku tahan koq, walaupun
aku juga masih terheran-heran bagaimana bisa hidup dengan bayanganmu
melintas dimana-mana," kataku perlahan sambil membayangkan rindu
dendam itu, "Kalau aku mendengar suatu lagu, aku ingat kamu. Kalau
aku melintasi kembali jalanan di Berlin dan mengunjungi tempat-tempat
favorit kita, aku ingat kamu. Aku bahkan pernah melihat kamu berdiri
membaca buku di Schmitt und Hahn, toko buku dekat hotel kita dulu. Kupikir
saat itu aku mabuk karena habis minum berliner wasser dua gelas dengan
temanku di Oranienburgstrasse."
Ia tertawa pelan. Jemarinya membelai
lembut pipiku.
"Aku juga dengar dari temanku
kalau kamu dan Risa paling doyan minum Bacardi orange campur multivitamin
sampai teler sebelum tidur. Tapi minum wine atau bir ramai-ramai di
café dengan teman sekantor kamu malah tidak pernah mabuk,"
katanya dengan mata menyelidik. Aku ternganga. Siapa sih temannya itu?
"Aku rasa temanmu itu cewek
ya? Begitu rinci keterangannya seolah ia ingin membuat hatimu sangat
senang. Biasanya kan begitu cewek-cewek ke kamu?" tanyaku.
Pipinya memerah seketika membuatku
makin tertawa puas. Heran, aku tak pernah kapok menggodanya. Dan ia
begitu manusiawi ketika membalas godaanku, tidak seperti tampilannya
sehari-hari sebelumnya. Aku ingat pernah melihat tubuhnya langsung menegang
ketika teman lama kami mencium pipinya setelah sekian lama tidak bertemu.
Ia langsung menjauh dari cewek itu dan tidak mau mengajaknya pergi makan
padahal sebelumnya kami berniat makan bersama-sama.
"Jadi
ke tempat kapal pesiar?" tiba-tiba terdengar tanyanya.
"Malas ah. nanti saja
sama kamu," jawabku. Ia tertawa.
"Seminar?" tanyanya
lagi.
"Kalau ngga ingat tugasku,
aku lebih suka duduk berpelukan disini dari pagi sampai malam,"
kataku lagi. "Kapan kamu ke Swiss?" aku balik bertanya.
"Sebenarnya aku bisa
tidak ikut ya." giliran dia yang mulai ragu. Aku tertawa.
"Bagaimana bisa pisah
kalau begini caranya?" kataku lagi. Dia memandangku tajam. Aku
terhenyak.
"Begini saja, kita seminar
masing-masing. Setelah selesai, kita menikah di catatan sipil Cologne,
bagaimana?"
Aku terpana. Menatap bego. Ia membalas
tatapanku dengan mata penuh sukacita dan semangat. Aku menggelengkan
kepalaku berkali-kali.
"Siapa tahu kalau kau pulang
kau bertemu orang lain dan jatuh cinta betul-betul. Aku tak ingin menghalangimu,"
jawabku masih keras kepala. Sinar matanya kecewa.
"Apa aku harus membuatmu
hamil dulu baru kau mau menikahiku?" tanyanya ketus. Aku terbelalak.
"Aku yakin aku bisa membuatmu
hamil, karena aku tak akan membiarkanmu seharipun tak kusentuh!"
lanjutnya lebih keras. Aku mulai melihat ke kiri dan ke kanan. Tapi
percuma, tak ada orang yang merasa terganggu karena mana mengerti bahasa
Indonesia? Aku mulai merasa geli.
"Aku ingin selalu bersamamu,
dan ini bukan hanya soal fisik tapi juga jiwa, tidakkah kau mengerti?"
tanyanya dengan nada lembut.
Untuk berapa lama? Jeritku dalam
hati. Tapi aku hanya memandangnya mesra. Sejak dulu aku tak pernah mampu
menyakiti hatinya, membuatnya kecewa atau membuat bibirnya mengatup
erat. Aku mencium bibirnya lembut, ia membalas tak kalah lembut.
"Kita jalani saja dulu ya?
Aku harus meyakinkan diriku," kataku akhirnya.
Ia memandang lama ke dalam mataku.
"Tenang saja, aku tak akan membuatmu hamil seperti cewek-cewekmu
dulu," godaku.
"Aku yang akan menjagamu agar
tidak ada lagi orang yang bahkan berani melirikmu," katanya penuh
percaya diri. Wah, cemburuan sekali. Bagaimana kalau dia lihat kelakuan
Mathias atau Dov yang setengah mati naksir aku? Apa akan terjadi pertumpahan
darah, pikirku iseng.
"Aku tahu kedua laki-laki
itu," katanya tiba-tiba seolah bisa membaca pikiranku. Hah? Ia
tersenyum penuh kemenangan. Aku mengernyitkan kening.
"Dan aku siap menghadapinya
langsung, memperingati mereka agar tidak menggoda tunanganku lagi!"
Tunangan? Tuan detektif satu ini
memang ngawur dan cemburuan! Aku menjawil hidungnya yang bagus seraya
bertanya, "Apa lagi yang kau tahu?"
"Mathias mengirimimu bunga
setiap minggu dan Dov tak putus asa mengajakmu dinner setiap weekend.
Mereka gagal ya?" katanya sambil menelengkan kepalanya yang bagus
ke arahku.
"Berapa lama kau memata-mataiku?"
tanyaku takjub.
"Sudah kubilang aku punya
teman di kantormu. Mereka juga mengeluhkan sikap dinginmu. Kau hanya
bersikap ramah kalau berbicara soal perjalanan, dan akan seperti kabut
musim dingin ketika mulai menyinggung soal pacar dan keluarga."
Aku terdiam. Kabut musim dingin
kata mereka? Betapa dinginnya itu kurasa ketika pertama kali kualami
di Jerman. Spring saja aku sudah menggigil, apalagi winter, berkabut
pula.
"Kalau ada yang memergoki kita
berdua sore ini, mungkin mereka mengira kita hanya mirip karena di hadapan
mereka kita lain sekali kan? Bukan lagi cowok kaku seperti katamu dan
kabut musim dingin seperti kata mereka."
"Ya, lebih mirip tante
dan ponakan," kataku ketus. Ia terbahak.
"Kalau kau rajin berenang
dan jalan seperti ini, aku rasa aku yang duluan tua nanti," katanya
sambil mencium pipiku.
"Kau memang harus rajin
berolahraga, kalau tidak entah keponakan siapa lagi yang mengejar-ngejarku,"
kataku penuh percaya diri. Ia terbahak-bahak.
"Aku ingat ciumanmu,
yang pertama kali bagiku," katanya setelah kami terdiam. Alisku
terangkat. Aku pikir dia sudah lupa peristiwa itu.
"Ketika aku hampir membalas
ciumanmu di bibir bawahku, kau malah melepaskannya dan kembali memelukku,"
sambungnya.
"Jadi kau mau membalasnya?"
"Tentu saja! Ciumanmu
memabukkan, mengulum-ngulum bibirku. Rasanya tak akan kulupakan,"
jawabnya dengan mata mengawang.
Aku tersipu, ingat kelakuanku waktu
itu. Entah karena desakan perasaan sayang sekaligus sedih karena akan
berpisah, aku nekat memeluk dan menciumnya waktu itu. Sama sekali tak
terpikirkan kalau dia belum pernah melakukan hal seperti itu dengan
wanita lain, atau dia bakal menolak tubuhku, marah, lalu memutuskan
pertemanan. Atau saat itu sebenarnya dia juga sudah jatuh cinta padaku?
Ia memelukku lagi. Lama kami berdiam
diri sambil berpelukan, memandang kabut di atas sungai Rhein yang perlahan
melayang jauh. Langit senja di akhir musim semi berwarna sedikit oranye
dan biru tua.
Bukit-bukit hijau di seberang sungai
dengan bangunan kastil-kastil tuanya yang kecoklatan terlihat samar-samar.
Kapal-kapal pengangkut batu bara, minyak, kapal-kapal pesiar dengan
suara bandnya yang terdengar hingga tepian lalu lalang di sepanjang
sungai namun seperti tak mengganggu keheningan senja.
Setelah dua musim lagi, aku akan
mengalami musim dingin yang menggigil seperti tahun lalu. Mungkin lengkap
dengan kabutnya juga. Tapi semoga tidak lagi sedingin dulu, seperti
juga aku, karena kehadirannya.
Kutatap wajah di sebelahku, yang
masih memandang ke arah sungai, penuh rasa sayang. Seperti mimpi merasakan
kehangatan pelukannya, dan aku masih tak percaya. Aku tak henti merasa
ajaib dengan kehidupanku.
Aku merasa telah selingkuh dan menerima
hukuman setimpal dengan perceraian, tapi mengapa bisa sebahagia ini
sekarang? Mengapa aku harus bertemu dengannya, jatuh cinta dan memelihara
persahabatan tanpa maksud untuk menjadikannya pasangan? Mengapa ia bersikeras
mencariku bukan mencari pasangan lain yang sesuai?
Ia menoleh ke arahku. Tersenyum.
Aku balas tersenyum. Kata orang, sepasang kekasih biasanya memang lebih
sering tersenyum, entah kalau sendiri ataupun sedang berduaan. Moga-moga
aku tidak disangka orang gila besok di kantor.
"Jadi?" suaranya bertanya.
Aku memandangnya. "Kita jalani sampai kau yakin, atau sampai hari
sabtu ini saja? Minggu kita menikah di Cologne, ok?"
Aku tertawa dan menyusupkan wajah
di dadanya. Kita jalani saja, bisikku dalam hati. Kita jalani hingga
aku yakin kalau pernikahan memang awal dari kebahagiaan, dan bukan akhir
dari masa indah berpacaran. Kita jalani sampai aku tahu bahwa memang
ada cinta kedua yang lebih indah dari cinta sebelumnya.
Sayup-sayup, entah darimana asalnya,
kudengar suara Xavier Naidoo mengalunkan lagu kesayanganku, lagu yang
menemani hari-hari sepiku di Berlin, Munich, Duesseldorf, Cologne...
there is more to love than this
love is more than just a kiss
we will take you to next step
we will do more than just can met..
and will you bring the thunder in my life
and the fire in my eyes
ich kenne nichts, ich kenne nichts
das so schon ist wie du.
***
Bonn, Juli 2003
"for the
damn cold nights in germany"
******************
By : Kuncup Melati
******************
Sumber : Mailing List
0 Comments:
Post a Comment
<< Home