Thursday, August 18, 2005

Sudah Pedulikah Kita?

Minggu, 14 Agustus 2005
Sebuah Renungan Kemerdekaan

Inilah pemandangan yang semarak pada 17 Agustus. Bendera merah putih berkibar di mana-mana, lomba-lomba ramai di sana sini, orang-orang berwajah sumringah pun terlihat di seantero nusantara. Itulah yang terjadi setiap tahun, setiap Agustusan. Mungkin saja kamu berpikir, inilah seremoni setahun sekali. Nggak salah sih, tapi pernah nggak sekali saja kamu merenung lebih dalam. Sebenarnya, apa sih yang bisa kamu lihat melebihi dari sekadar perayaan, lomba panjat pinang, upacara bendera, dan hura-hura mungkin.

Coba sejenak saja, kita lihat sekeliling. Kemiskinan, kebodohan, busung lapar, dan bencana adalah potret nyata yang akhir-akhir rajin berada di sekitar kita. Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan para mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Moestopo (Beragama) beberapa waktu lalu, Mariana Amiruddin, seorang aktivis perempuan, menilai terkuaknya kasus busung lapar di berbagai daerah adalah sebuah fakta. Terlebih lagi, kasus tersebut juga terjadi di ibu kota Jakarta.

''Saya langsung menyimpulkan bahwa negeri ini mengemban banyak sekali persoalan,'' kata perempuan pemegang gelar magister humaniora kajian wanita UI itu. Menurut Mariana, kemiskinan yang melanda Indonesia tak hanya terpaku pada kurangnya sandang dan pangan. Bangsa Indonesia pun saat ini mengalami kemiskinan informasi, akses, dan lain-lain. ''Maka bisa dikatakan orang Indonesia sebagian besar tidak hanya miskin secara ekonomi, namun juga miskin dalam tingkat akses informasi, pendidikan bahkan partisipasi.''Ia pun mencontohkan betapa semakin banyak siswa SD yang memilih bunuh diri karena tak bisa membeli buku atau tak mampu membayar sekolah.

Tak cuma itu, Mariana pun mengkritisi sistem pendidikan yang tak ubahnya seperti pelajaran teka-teki silang. ''Belum lagi, gadis-gadis Indonesia kian banyak jadi korban perdagangan manusia (trafficking),'' ucapnya. Lantas, bagaimana sikap kita? Prihatin, ikut membantu, tidak peduli, atau cuek saja? Wanda Hamidah punya pendapat sendiri. ''Saat ini kepekaan sosial terhadap nasib masyarakat miskin masih sangat kurang,'' ujar artis yang juga aktivis partai politik ini. Menurut dia, kondisi tersebut tentu saja sangat memprihatinkan. Akibat dari semua itu, perbedaan status sosial pun kian terbuka lebar.Aktor Didi Petet juga mencoba menggambarkan betapa status sosial di negeri Indonesia kian terbuka lebar. Yang kaya semakin kaya dan si miskin semakin miskin.

Sosiolog dari Universitas Padjadjaran, Budi Rajab, mencoba meneropong remaja dan masalah sosial yang dihadapinya. Saat ini, kata Pak Budi, paling tidak ada dua masalah sosial yang tengah melanda kalangan remaja: konsumerisme dan persoalan budaya. ''Remaja saat ini cenderung konsumtif dan pergaulannya sudah mulai jauh dari budayanya,'' ungkapnya. Pola hidup konsumtif itu, lanjut Pak Budi, dicerminkan dari kebiasaan hidup remaja yang cenderung berhura-hura.

Terlebih lagi, dari sisi budaya, pengaruh kebudayaan asing begitu melekat pada sebagian remaja. Saat ini tekanan pada remaja untuk bersikap konsumtif dan bergaya hidup seperti budaya asing itu semakin bertambah berat. Pola hidup konsumtif itu didukung dengan maraknya mal dan pusat perbelanjaan di berbagai penjuru kota. Sedangkan dari sisi budaya, media massa setiap hari masuk ke rumah-rumah dengan tayangan yang penuh budaya asing. ''Tekanan ini begitu berat. Terlebih, masa remaja adalah masa transisi,'' papar dosen yang bertubuh kurus ini. Terlebih, kata dia, emosi dan kepribadian remaja masih belum stabil.

Tak heran, lanjut Pak Budi, bila ada remaja yang tidak mengikuti pola hidup konsumtif dan berbudaya aneh akan relatif tersingkir dari komunitas dan pergaulan sesamanya. Ia mengungkapkan, 20 tahun yang lalu remaja Indonesia tak menghadapi masalah seperti itu. ''Sebab, 20 tahun yang lalu instrumen yang mendukung munculnya gaya hidup konsumtif dan hedonis juga tak banyak,'' paparnya. Namun, saat ini puluhan pusat perbelanjaan berupa mal bermunculan dengan begitu pesat. Tak hanya di kota besar, namun juga di kota-kota kecil.

Nah, kalau konsumerisme dan kultur hidup hedonis menjadi kebiasaan, maka pada masa mendatang bangsa Indonesia hanya akan jadi bangsa konsumen, bukan produsen.Ibarat donor darah, Indonesia hanya akan menjadi bangsa resipien bukan bangsa donor. ''Tentu saja, ini akan sangat berbahaya,'' katanya. Sebab, sikap hidup konsumerisme dan hedonisme akan membuat Indonesia dililit utang yang semakin bertambah besar.Ujung-ujungnya, gaya hidup konsumtif dan hedonis seperti ini bikin kita-kita tidak peka terhadap aneka masalah sosial yang muncul. ''Sebagian besar remaja menjadi tak peduli lagi dengan soal kemiskinan, kebodohan, wabah penyakit, dan bencana yang menimpa bangsanya,''paparnya.

Pusing? Jangan dong. Ini memang masalah yang kita hadapi. Kalau pun nggak sekarang, satu saat nanti kita akan menghadapi langsung soal ini. Mungkin kita tidak merasakan langsung, tapi sekeliling kita yang mengalami ini. Mau nggak mau kita bakal bersentuhan juga, kan?Kata Pak Budi, sebenarnya remaja juga bisa mengimbangi pengaruh konsumerisme dan hedonisme dengan kegiatan positif yang lain. ''Bisa ikut kegiatan olahraga, kesenian, kelompok-kelompok diskusi, atau berorganisasi,'' tegasnya.

Lewat kegiatan seperti itulah, kamu-kamu bisa mengatasi masalah sosial tersebut. Tentu saja, untuk melawan pengaruh buruk globalisasi ini, perlu pula didukung orang tua, masyarakat dan juga pemerintah.''Caranya, sediakan media bagi remaja untuk berkreasi.'' Dengan beragam kegiatan positif ini, kita bisa mengasah kepekaan sosial, rasa nasionalisme, dan patriotisme terhadap bangsa. Menurut Pak Budi, rasa nasionalisme dan patriotisme pada sebagian besar remaja saat ini pada bangsanya sangat kurang. Namun, hal ini terjadi bukan hanya kesalahan remaja.

Penghargaan pemerintah terhadap remaja berprestasi masih sangat kurang. Ia mencontohkan, bagaimana juara olimpiade fisika, kimia, biologi, atau juara-juara lainnya yang mengharumkan nama bangsa kurang dihargai baik secara materi maupun pengakuan sosial. ''Kenapa juara kontes idola saja mendapat hadiah mobil mewah? Sementara mereka yang juara dunia olimpiade tak dapat apa-apa?'' katanya. Hal itu, kata Pak Budi, telah merangsang remaja untuk berlomba-lomba memilih berkiprah di jalur entertainment yang lebih banyak memberi penghargaan dan pengakuan.

Kalau pemerintah lebih memperhatikan remaja-remaja berprestasi, maka rasa nasionalisme dan patriotisme akan lebih tumbuh. ''Mereka yang berprestasi, kini lebih banyak diambil dan disekolahkan negara lain,'' paparnya. Padahal, rasa nasionalisme dan patriotisme sangat penting untuk dipupuk sejak dini. Kini, usia kemerdekaan bangsa Indonesia sudah mencapai 60 tahun. Pernah nggak kamu merenung, apa yang sudah kamu berikan pada bangsa ini? Atau paling nggak, pernah coba melihat lingkungan sekitar? Kalau belum, ini bisa jadi pe er kamu di perayaan 17-an nanti.


------------------
Sumber : www.Republika.co.id

0 Comments:

Post a Comment

<< Home