Pelajaran dari Alvin
Minggu, 21 Agustus 2005
Pernahkah Anda becermin dari percakapan dengan anak? Sebagian dari Anda tentu pernah, begitu pula Oyik (40 tahun). Wanita ini mengaku banyak pelajaran yang bisa ditarik dari mulut mungil seorang anak. Sebagai seorang ibu, berpendidikan S-2 di bidang sosial, bekerja di sebuah perusahaan swasta di Ibu Kota, Oyik punya semua yang dibutuhkan bagi label 'pintar' dan 'berpendidikan'. ''Alvin membuat saya merasa harus banyak berbenah diri,'' ujarnya, membuka cerita.
Kisah berawal tiga tahun lalu, saat Alvin duduk di kelas satu SD di sebuah SD di Jakarta. Suatu hari, guru menelepon Oyik di kantor. ''Alvin kecelakaan kecil,'' kata Bu Guru di seberang kabel.
Langsung Oyik bertolak ke sekolah yang kebetulan tak jauh dari kantornya di kawasan Jakarta Timur. Ia mendapati Alvin tengah tiduran di UKS. Perban menempel di keningnya. Warna merah menembus perban itu. Secepat kilat Oyik membawa ke rumah sakit. Siang harinya, kening Alvin sudah 'berhias' enam jahitan!
Kecelakaan yang dialami Alvin umum terjadi di sekolah. Ceritanya, waktu itu pelajaran olahraga berakhir. Anak-anak berlarian dari lapangan ke kelas. Beberapa anak berlari sambil saling mendorong. Alvin yang berada di paling depan, terdorong, dan jatuh dengan kening menimpa tepian anak tangga. Sungguh kecelakaan yang biasa. Tapi, Oyik tetap bersedih apalagi ia memperhatikan jahitan di kening sang anak. Beberapa ibu teman Alvin menelepon, mengucapkan simpati.
''Alvin, ibu-ibu teman-teman yang jatuh menimpamu minta maaf,'' ujar Oyik, memberitahukan pada Alvin.
''Kenapa minta maaf? Mereka kan tidak sengaja menjatuhkan aku,'' kata Alvin.
''Kamu nggak marah? Kan, yang sakit Alvin?''
''Kalau orang tidak sengaja kan tidak salah, Ma.''
Anak itu mengulang pernyataan yang sering ia sampaikan. Dalam konteks ini, hati Oyik jadi terharu mendengar ucapan itu. Anak semuda itu tak mudah menyalahkan orang lain atas penderitaan yang diterimanya!
Dalam perjalanan waktu, Oyik menandai, nama teman sekelas Alvin yang terkait dengan aksi dorong-mendorong itu ternyata tergolong aktif membikin masalah. Alvin beberapa kali menjadi korban mereka saat berolahraga. ''Oh, Si X yang mendorong kamu sampai jatuh berdarah itu,'' begitu biasanya Oyik mengomentari cerita Alvin.
''Oh, Si Y yang bikin jidatmu dijahit itu.'' Atau, ''Kebangetan betul Si Z. Udah mencelakakan kamu waktu di kelas satu dulu, sekarang kok ya masih main kasar begitu.''
Biasanya Alvin diam saja mendengar komentar ibunya. Suatu malam, seperti kegiatan rutin menjelang tidur selama ini, Alvin bercerita pengalamannya seharian. Ia bercerita, prakarya kubus buatannya rusak terduduki oleh X, temannya. ''Oh, Si X yang bikin jidatmu sobek itu?'' komentar Oyik, ''Ibu ingat betul itu. Gara-gara kecerobohannya kamu jadi luka.''
Alvin terdiam sejenak. Lalu, ia memandang Oyik lekat-lekat. ''Ma, tahu nggak. Aku sebenarnya juga salah waktu itu,'' katanya dengan mimik serius. ''Coba kalau aku tidak buru-buru mendului mereka, kan pasti nggak bakal jatuh.'' ''Ya, tapi harusnya mereka pergi ke kelas dengan tertib.'' ''Iya. Tapi, seharusnya aku nggak buru-buru. Jadi, kalau mereka salah. Aku juga ada salahnya.''
Oyik terdiam. Percakapan yang berlangsung sebulan lalu itu membuat ia berpikir panjang. ''Saya sedikit malu. Tak sadar saya sudah menanamkan rasa dendam pada Alvin. Padahal, anak itu sendiri bisa melihat lebih jernih,'' ungkapnya. Dari pengalaman itu, Oyik mengaku lebih berhati-hati bersikap dan menjaga ucapannya. Ia mulai berpikir, ''Sebagian dari keburukan sikap anak itu datang dari orang tuanya sendiri.''
(poy )
----------------
Sumber : www.Republika.co.id
0 Comments:
Post a Comment
<< Home