Raib
Oleh : Widi Yarmanto
SORAK-sorai orang menyambut ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-60 tak terelakkan di mana-mana. Melihat orang bertinju di atas ''jembatan'' bermatras air, atau menyimak tubuh kurus melorot dari pohon pinang ''berbuah'' sepeda, ditanggung bisa tertawa lepas.
Padahal, di balik kegembiraan itu, segepok masalah melilit republik ini. Itu yang membuat teman saya prihatin --tepatnya jengkel. Otak dia tidak menerimakan darah pejuang dicemari oleh para penggerogot negara. ''Negara ini mau dibawa ke mana?'' katanya.
Elite berebut jabatan, dengan seribu kecurangan. Dan, karena jabatan itu diperoleh lewat uang, begitu menjabat, gantian jadi ''tikus'' negara. Buntutnya, mengurus jasa pasti pakai uang sogok. Dan, polisi ''memperdagangkan'' kasus kriminal. Agaknya, banyak orang bertopeng kemunafikan.
Segudang ayat dihafal dan mengaku beriman, misalnya, nyatanya berwatak setan. Otaknya dipenuhi kebusukan. Departemen Agama, misalnya, yang mestinya jadi panutan, malah menilap Rp 400 milyar per tahun dari katering. Belum lagi biaya lain.
Mungkin, karena selama ini kita cuma dijejali --dan bangga-- menjadi bangsa konsumtif. Tak usah heran jika ada perwira polisi yang punya simpanan hingga Rp 800 milyar. Polisi krucuk di lahan ''basah'' pun mampu membeli rumah dan mobil mentereng.
Celakanya, ketidakwajaran itu tak membuat malu. Cibiran tetangga ditanggapi sinis: ''Tak suka melihat orang kaya, ya?'' Atau, dengan apologi: ''Buat apa malu, wong pejabat tinggi juga korup, kok.'' Jika kasus dugaan korupsi itu disidik, berdalih ini-itu agar kasusnya bisa diatur.
Penyelenggaraan pilkada pun dicemari politik uang, dan jadi ajang konflik. Masing-masing merasa diri benar dan harus didengarkan, plus diikuti. Berdasar data, hingga pertengahan Mei lalu, konflik pilkada mengguncang 23 daerah. Demokrasi yang dulu digembar-gemborkan pun melempem.
''Tapi, bagaimana bisa berdemokrasi kalau di rumah saja tidak ada demokrasi,'' ujar Dea, seorang ibu rumah tangga. Yang muncul justru sikap otoriter, mau menang sendiri. Rumah adalah tempat berdemokrasi. Di sana tumbuh kesantunan, kejujuran, dan keterbukaan.
Itu yang terjadi di negara Barat. Sebuah larangan, umpamanya, diikuti alasan jelas dan bisa didiskusikan. Mau masuk ke kamar anak atau orangtua, misalnya, wajib ketok pintu. Sikap menghargai orang lain dipupuk dari kecil. Juga membiasakan diri mengucapkan terima kasih, sekecil apa pun kepedulian orang.
Walhasil, masalah bangsa ini cukup kompleks. Ikan kita dicuri oleh kapal asing senilai Rp 22,5 trilyun per tahun. Belum lagi penebangan hutan secara liar yang tiap tahun mencapai 2,8 juta hektare atau setara Rp 45 trilyun. Banjir dan erosi pun tak tercegah. Buntutnya, ''Tahun 2010 diperkirakan Indonesia krisis air baku.''
Utang dalam dan luar negeri Indonesia mencapai Rp 1.346 trilyun, sedangkan aset negara hanya Rp 831 trilyun (Laporan Keuangan Republik Indonesia per akhir 2004). Pertumbuhan riil PBD 5,1%, sedangkan inflasi 6%. Kemampuan pemerintah pun terbatas. Terbukti, dari 348.000 kilometer jaringan jalan di Indonesia, yang rusak berat 28%, rusak ringan 18,2%, rusak sedang 33,7% yang tak tertangani.
Krisis multidimensi ini diakhiri rekan saya dengan tulisan Robert I Rotberg, The Nature of Nation State Failure (2002), tentang sindrom negara di ambang gagal. Yaitu negara yang keamanannya tak terjamin, konflik etnis dan agama tak kunjung usai, legitimasi negara terus menipis, tak berdaya menghadapi masalah dalam negeri, dan kerawanan terhadap tekanan luar negeri.
Satu lagi yang populer: korupsi merajalela! Yang terjaring koruptor tingkat teri, kakapnya mbrobos. ''Jaringnya jebol karena kegedean ikan,'' ujar rekan saya yang lain. Akhirnya, penanganan korupsi hanya menimbun kekecewaan publik. Dan, nilai-nilai kemanusiaan pun tererosi sedikit demi sedikit. Tudingan pun ada di pundak pemimpin.
Memang, bernegara itu mestinya memberikan yang terbaik kepada yang dipimpin. Bukan cuma menjaga ''kursi'' dari rongrongan, mengurusi partai, atau bangga berjalan di hamparan karpet merah. Atau, puas dikawal mobil bersirene meraung-raung yang menakutkan kendaraan lain.
Presiden SBY bilang, ''Kita harus melihat ke depan, penuh keyakinan dan jauhkan dari syak wasangka.'' Betul! Memang, kita belum kehilangan momentum untuk bangkit. Bangsa ini juga bukan pemalas atau kurang cerdas, walau ''hanya'' bekerja 40 jam seminggu, dan bangsa di Asia Timur 60 jam seminggu.
Mungkin, kita hanya miskin keteladanan. Atau, barangkali kita bisa mencontoh Umar bin Abdul Azis yang sederhana dan menjauhi kemewahan. Usai dilantik jadi khalifah, misalnya, ia justru murung dan menangis di kamar. Istrinya, Fatimah, heran mengapa suaminya tidak mensyukuri kemikmatan tersebut.
''Hai Fatimah, aku telah mengemban beban berat untuk mengurus umat. Terpikir olehku nasib si fakir dan miskin yang kelaparan, mereka yang sakit telantar, mereka yang tidak bisa membeli pakaian, kaum teraniaya yang tertindas, mereka yang lanjut usia, keluarga yang banyak anak tapi miskin harta. Sosok semacam itulah yang tersebar di pelosok negeri,'' kata Umar.
''Lalu, apa yang Kanda pikirkan?'' Jawab Umar: ''Aku ingat bahwa Tuhanku akan bertanya dan minta pertanggungjawabanku di hari kiamat kelak. Aku takut jika tidak bisa memberi jawaban itu kepada-Nya. Itulah sebabnya aku menangis.''
Pemimpin bijak itu lalu mengumpulkan harta perhiasannya untuk kas negara lewat baitul mal. Ia juga menolak diberi fasilitas kereta lengkap. Dan, pasti bukan fasilitas mobil antipeluru yang dulu dikabarkan raib, yang tahu-tahu pulang ''kandang'' ke Setneg itu.
[Esai, Gatra Nomor 41 Beredar Senin, 22 Agustus 2005]
--------------
Sumber : www.Gatra.com
0 Comments:
Post a Comment
<< Home