Saturday, September 24, 2005

Ternyata Mereka Amat Tegar

Publikasi: 22/09/2005 10:53 WIB

Senin, 05 September 2005. Hari yang mengharu biru bagi saya, penuh dengan kejutan. Pertama, saya beroleh kepanikan seorang sahabat dekat sekaligus guru saya. Perkaranya, ketika beliau menyaksikan berita kecelakaan pesawat Mandala Air-lines tujuan Medan-Jakarta yang disiarkan sebuah televisi swasta, ada dua nama 'Miftah' diantara daftar korban meninggal. Adapun saya biasa dipanggil Miftah dan berasal dari Sumatera Utara. Begitu mendapatkan ponsel saya aktif dan mendengar suara saya, terdengarlah tawanya, ada nuansa syukur yang tak tersembunyikan. Selanjutnya sahabat-sahabat yang lain, terutama yang sudah lama tak bersua juga memastikan bahwa saya masih hidup, baik lewat telepon pun SMS. Bahkan sahabat yang ada di Malaysia pun turut memastikan apakah saya selamat ataukah ada keluarga yang menjadi korban.

Di kedalaman hati sungguh ada haru yang membuncah dan syukur tak hingga dengan besarnya perhatian sahabat-sahabat saya (Jazakumullah khoir sahabat)... Di kedekatan ajal yang tak sampai saya telah menyaksikan langsung perhatian dan kekhawatiran mereka. Tak terbayangkan kalau benar saya menjadi salah satu korban tersebut. Allahu, sudah siapkah saya?

Sampai pukul 21.00 di hari itu, saya belum tahu pasti kronologis kejadian, berapa jumlah korban, dan siapa saja yang menjadi korban. Selain di kos tidak ada televisi, kebetulan ada tugas yang harus saya selesaikan juga. Waktu itu saya masih menerima beberapa SMS dan telepon dari teman-teman. Berhenti sejenak, ponsel saya berbunyi lagi, nomor telepon rumah muncul di layar ponsel saya. Ayah saya telepon. Padanya saya menceritakan betapa banyaknya saya mendapat telepon dan SMS dari teman-teman akibat nama 'Miftah' itu. Tetapi, saya bisa memastikan bahwa di ujung sana Abah saya menahan tangis, yang tidak bisa ia sembunyikan karena nada suaranya bergetar. Barulah saya tahu kalau gubernur kami (Tengku Rizal Nurdin), mantan gubernur kami (Raja Inal Siregar), dan keluarga kami (Abdul Halim Harahap & istri), menjadi korban kecelakaan tersebut. Innalillahi wainnailaihi rooji'un...

Abdul Halim Harahap... beliau adalah teman sekamar, bahkan satu kasur dengan abah saya sewaktu kos ketika kuliah dulu. Dan beliau satu klan (Harahap) dengan ibu saya. Indahnya memori masa kuliah Abah, almarhum dan tiga rekan mereka yang lain kerap menghiasi malam-malam selepas Isya' di ruang keluarga kami. Cerita tentang kedekatan mereka sejak sama-sama kuliah di jurusan Syari'ah IAIN Medan, keusilan-keusilan mereka, dan perjuangan mereka yang perantauan adalah potongan-potongan kisah yang terungkap lebaran kemarin. Lucu rasanya, lontaran-lontaran 'nakal' mengalir dari bibir-bibir ayah-ibu kami, saling ledek, saling 'ejek', di hadapan kami yang juga sudah beranjak dewasa pula.

Momen itulah terakhir kali lima sahabat itu bersua, setelah berpisah tiga belas tahun lamanya. Berawal dari silaturrahim Ust. Abdul Halim dan keluarga ke rumah kami, kemudian kami balas dengan silaturrahum ke kediamannya selama dua hari. Beliau kemudian berinisiatif mengumpulkan 'gank' mereka, sebelum esok harinya beliau harus berangkat ke Jakarta untuk menunaikan amanah di DPR sebagai anggota DPD.

Sejak hari itu (5 September 2005), Ummi Natsiroh, Anisah Rizkia, dan Fadlan Habibie, telah menjadi yatim piatu. Saya begitu menginsyafi berkurangnya sentuhan sayang sekalipun tak berkurang perhatian ayah-ibu adik-adik saya itu kepada mereka ketika sang ayah harus bertugas ke Jakarta dan sang ibu harus mendampingi ayah mereka. Sementara mereka harus tetap bersekolah di Medan. Namun itu tampaknya masih lebih mending daripada kehilangan sama sekali, bukan?

Jujur saja, saya membayangkan akan ada pendar-pendar kerapuhan pada jiwa muda mereka. Namun yang tak terbayangkan, ternyata mereka amat tegar. Betapa takjub saya ketika membuka helai demi helai Tarbawi terbaru di salah satu sudut stan Gadjah Mada Islamic Expo 2005 kemarin. Di salah satu halaman terpampang foto tiga orang anak yang sangat saya kenal, foto putera-puteri ustadz Halim. Binar ketegaran tersirat jelas di wajah mereka, bahkan Kak Iki (Anisah Rizkia) tampak tersenyum.

Saudaraku, apa yang Bang Fadlan katakan di situ? "Robbighfirlii waliwali dayyaa warhamhumaa kamaa robbayaanii shaghiirah. Ya allah, mohon ampuni ayah dan mamak, mohon sayangi mereka di alam sana, mohon luaskan kubur mereka..." Dan saksikan pula pernyataan Kak Ummi, "Kami ingin belajar agama terus, seperti pesan Ayah sama Mamak."

Subhanallah... Saudaraku, itulah sikap mereka atas kepergian ayah ibu mereka. Hidup ke depan bagi mereka adalah sebuah kenyataan tanpa satupun tiang di antara tiang-tiang utama penyangga hidup mereka di dunia, yaitu orangtua. Tetapi hidup mereka kan terus berjalan, dengan bekal akidah yang telah tertanam dalam dan mengakar dalam setiap desah nafas mereka. Itulah modal yang telah diinvestasikan almarhum Ustadz Halim dan Ibu kepada kak Umi, kak Iki, dan bang Fadlan. Hidup ke depan bagi mereka barangkali tidaklah mudah, tetapi saya begitu yakin mereka terlahir sebagai jundi-jundi yang tegar dan kuat.

Miftahul Jannah
ukhti_jannah at yahoo dot com



---------------
Sumber : www.eramuslim.com

0 Comments:

Post a Comment

<< Home