Goyang Poco Lawan Goyang Kibul
Senin, 04 Februari 2008
Oleh : Ahmad Tohari
Kemarin sore ada pesan singkat dari teman di Surabaya. Isinya; banyolan politik yang cukup menggelitik. Atau malah menggelisahkan hati. Saya perlu waktu cukup lama untuk mengerti, lalu memahami pesan itu. Tapi tetap tidak mudah untuk menempatkannya dalam ruang kesadaran. Juga terasa sulit menangkap ruh atau motivasinya. Silakan baca; Capres Sutiyoso menganjurkan hendaknya mulai hari ini warga negara Indonesia jangan minum es-beye atau jus-dur, jangan makan mi-gawati atau mi-ranto, sup-kalla atau bakar jagung-leksono. Makanlah soto-yoso saja.
Bukan saya seorang yang merasa sulit mencerna itu. Mau tertawa karena lucu? Mau perih dan sedih karena SMS itu terasa sarkastis? Atau marah karena sebagai warga mendengar para pemimpin diolok-olok? Saya merasa perlu menata pikiran. Pertama, saya yakini bahwa capres Sutiyoso jelas tidak akan melakukan kampanye murahan seperti itu meski dia adalah jago pertama yang berkokok untuk Pemilu Presiden 2009 mendatang. Banyolan itu pasti dibuat oleh orang pinggiran jalan dengan maksud melucu belaka.
Melucu sih melucu namun jangan sadistis. Apalagi orang-orang yang namanya dipelesetkan itu punya banyak pengikut. SBY adalah Presiden yang menyandang hak-hak kehormatan resmi. Megawati diyakini masih diikuti oleh puluhan juta warga dan simpatisan PDI-P. Gus Dur? Jangan tanya pembelaan macam apa yang akan diberikan pengikutnya. Gus Dur punya ribuan anggota Pagar Nusa, barisan santri yang konon membekali diri dengan berbagai ilmu kebal.
Juga Sutiyoso, mantan Gubernur DKI itu. Dia orang kuat. Waktu jadi Pangdam Jaya, meski dituduh ikut bertanggungjawab atas peristiwa berdarah 27 Juli (penyerbuan Kantor DPP PDI) dia tidak goyah. Malah dalam pemilihan gubernur dia didukung oleh Taufik Kiemas, suami Megawati. Kalau tidak didukung TK tak mungkinlah dia dapat rekomendasi DPP PDI-P. Lagi pula Sutiyoso punya FBR atau Forum Betawi Rempug, itu barisan para jawara kaum Betawi yang siap beradu jurus silat dengan siapapun yang berani melecehkan Sutiyoso.
Itu semua benar adanya. Dan justru karena itu kita jadi bertanya, kok ada orang jalanan berani membuat dan mengedarkan pesan konyol tapi nyelekit seperti itu? Dengan cara dan kesadaran bagaimana gejala itu harus dibaca agar kita bisa memahaminya dengan tepat? Itu memang hanya humor namun jelas punya muatan sindiran di baliknya.
Dalam budaya Jawa sindiran yang paling tajam sekalipun bisa ditampilkan dalam bentuk humor atau tembang yang mengalun halus. Contoh yang sangat baik, lihatlah bagaimana orang Jawa melalui tembang maskumambang menyindir Sultan Hadiwijaya yang konon doyan perempuan. Lirik tembang itu menggambarkan rakit mengalir tenang dan disangga empat puluh bajul atau buaya jantan di kiri, kanan, depan dan belakang. Bajul adalah sebutan bagi lelaki yang rakus perempuan. Dan empat puluh adalah jumlah jari kaki dan tangan dua orang (yang dalam hal ini) sedang berbajulan.
Jadi rasanya tidak mengada-ada bila pesan itu dibuat sebagai maskumambang, tapi bukan untuk menyindir Sultan Hadiwijaya melainkan elite pemimpin saat ini. Juga tidak mengada-ada bila SMS itu lahir dari perasaan masyarakat umum yang sudah lama kecewa atas keadaan yang tidak kunjung membaik, bahkan sebaliknya. Berita-berita di media massa mengungkap perilaku banyak pejabat publik di semua lini yang korup dan hal ini tentu amat menyakiti hati rakyat. Sesungguhnya masyarakat ingin melawan. Namun mereka sadar tak tak punya apa-apa. Wakil pun tak punya meskipun mereka selalu ikut pemilu.
Ironisnya, masyarakat akhir-akhir ini disuguhi lawakan yang sungguh tidak lucu. Para elite saling ejek. Megawati mengejek pemerintah SBY hanya bertindak seperti tari poco-poco (tarian daerah Sulawesi Selatan), goyang kiri goyang kanan tidak bergerak maju. Pihak SBY melalui wakilnya yang berasal dari Sulawesi Selatan membalas mengejek Megawati. Katanya, sewaktu Megawati jadi presiden pemerintahnya seperti undur-undur yang selalu berjalan mundur. Atau seperti orang goyang dansa-dansi yang cuma goyang kibul tidak keruan.
Saya minta pendapat anak saya tentang perilaku elite politik yang seperti anak kecil itu. "Pak, aku jeleh, sebel habis! Begitu sebel hingga aku gah mengingatnya!"
"Tapi itulah perilaku elite yang sedang memimpin kamu."
"Sebel, Pak!!"
Saya maklum sepenuhnya atas kejengkelan anak saya. Tanpa sadar, tangan saya merogoh HP di saku celana. Saya buka, dan pesan singkat itu masih ada. Entah. Saya merasa tidak perlu cepat-cepat menghapusnya.
Sumber : RepublikaOnline
0 Comments:
Post a Comment
<< Home