Friday, February 22, 2008

Senyum

Oleh : H. B. Supiyo

Sebuah perusahaan milik negara menampilkan sedikit soft power-nya dengan meluncurkan Kampanye Senyum berupa semacam iklan layanan masyarakat yang ditayangkan di stasiun televisi nasional. Para tokohnya – anak-anak, perempuan dan laki-laki dari beragam usia – diiringi jingle yang didendangkan seorang penyanyi laki-laki beken, lalu ramai-ramai menebar senyum yang tampak spontan, tulus, dan apa adanya. Lalu tampil pertanyaan, “Sudahkah Anda senyum hari ini?” dan ditutup dengan ungkapan bijak, “Senyum mengawali perubahan.” Wow! Sungguh nikmat dibaca dan dicatat.

Untuk menebar dan berbagi senyum tak sulit-sulit amat kok. Yang diperlukan hanyalah niat dan tekad nan tulus. Makna dan nilai kemaslahatannya sudah teruji. Baik dari segi kesehatan jasmani – urat dan otot sekitar wajah bisa langsung menjadi renggang – maupun dari aspek insani. Senyum menyejukkan hati bagi pemberi dan penerimanya, serta membuka titik awal komunikasi dua arah yang menyejukkan bahkan mencerahkan. Senyum juga berpotensi menemukan solusi untuk menyelesaikan masalah pribadi. Smile is inspiring.

“Pokoknya, senyum itu membahagiakan kita dan sesama,” ujar Valeri da Silva. “And being a marketing executive, smile is indeed one of my professional asset,” ujar Valeri sembari tersenyum diiringi tawa ringan. Dia juga membagi banyak senyum dan tawa ketika menikmati acara santap malam di sebuah resto yang berlokasi di pinggir Pantai Penang, Malaysia, beberapa waktu silam. “Komputer adalah dunia masa depan kita,” ucapnya menyebut bisnis yang kini digelutinya. “And journalism is an everlasting profession,” sambungnya. “But journalist writes on water. He means today, but gone tomorrow,” saya menyambung. “Oh, you're sure romantic, Hans. But, that's life,” tuturnya. “So?” tanya saya. “Why don't you just smile,” jawabnya seraya tersenyum lebar.


@@@@@@@@@@@



“I read your articles in Book Review column of AIM's 'The Asian Manager',” kata Valeri seraya menambahkan tak gampang menembus halaman berkala terbitan Asian Institute of Management itu. “Ah, itu sekadar slip of the page,” jawab saya.

“Slip of the page? Common on, don't underestimate yourself, please,” kata Valeri dengan nada meminta. Ia menambahkan bahwa bukan saya yang mencari pengakuan. “With or without your request, public appreciation and acknowledgment do come to you, Sir,” ujarnya.

Ia lalu bertanya berapa buah buku yang sudah saya tulis. Ia berdecak ketika saya katakan baru 6 novel bertema cerita anak-anak; satu buku koleksi cerita pendek yang sedikit serius; dan sebuah buku berisi humor bisnis, himpunan artikel yang sudah hadir di rubrik Sela Majalah SWA.

“Yes, I remember the one you sent me. You are kind to have back-translated it into English. Otherwise, I would be in no where to read it in bahasa Indonesia,” ungkapnya. “But you're sure to be in somewhere, if you just smile, my dear Valeri,” tutur saya.

Ia tersenyum. Ia juga masih tersenyum, ketika saya katakan saya ingin membuka sedikit wajah Filipina. “Not on Imelda and Marcos, no?” tanyanya mengguratkan rasa ingin tahu. Aura senyum Valeri menembus nurani saya. “Smile-lah!” kata warga Penang dengan ucapan sedikit dipaksakan.

“Oh, no, Valeri,” jawab saya, lalu bertanya republik mana yang pertama merdeka di Asia? Ia tampak sedikit kaget. Ia mungkin hafal jawabnya. Mungkin demi basa-basi ia hanya menjawab, “I'm poor in history, Hans. So kindly tell me, please,” katanya lirih.

Republik yang pertama kali merdeka di Asia adalah Republik Malolos, yang diproklamasi pada 23 Januari 1899 dengan Emilio Aguinaldo sebagai presidennya. Riwayat Republik Malolos berakhir ketika Aguinaldo ditangkap oleh tentara Amerika Serikat di Palanan, 23 Maret 1901. Ini cara AS merebut Kepulauan Filipina untuk kemudian dijadikan koloninya. “Wow! Saya dicerahkan kembali,” ucap Valeri.

Sumber : SwaOnline

0 Comments:

Post a Comment

<< Home