Friday, February 22, 2008

Stress

Oleh : H.B. Supiyo

Stres. Siapa belum tahu makna dan dampak kata yang satu ini? Stres hadir di mana dan kapan pun. Ia tak ambil pusing siapa pasien yang dipilihnya. Yang amat pusing justru korban yang dihinggapinya. Stres, menurut orang bijak, tak bisa dihindari. Yang penting bagaimana mengelolanya. “Manage your stress, and the world is yours,” teman saya berpetuah. “... that the world is yours, or it is mine.” Tak usahlah bicara, yang lebih penting, lanjutnya, kita punya kiat untuk berkencan dengan penyakit bernama stres itu.

Apa gerangan penyebabnya? Dan siapa pula provokatornya? Beberapa edisi SWA yang lalu, saya pernah mengutip artikel bertajuk British Workers Blame Stressed Bosses for Stress (MDI News, Jakarta). Sumber artikel itu adalah hasil riset yang dilakukan oleh Taylor Nelson Sofres. Topik yang sempat membuat ribet para bos dan karyawan perusahaan di Inggris beberapa waktu silam ini rasanya masih tetap cespleng nilainya untuk disajikan lagi di rubrik ini. Di Inggris, para bos yang dilanda stres itulah yang menurunkan stres yang dialaminya kepada para karyawan bawahan mereka. Sebagian besar karyawan berpendapat, para manajerlah yang secara langsung menyebabkan stres yang mereka alami.

Riset Nelson Sofres mengungkapkan 70% orang Inggris yakin bahwa penyebab utama penyakit kambuhan itu adalah ketidakmampuan para bos menangani stres mereka sendiri, yang pada gilirannya menularkan stres yang lebih berat lagi kepada orang-orang di sekeliling mereka. Dia mengidentifikasi sejumlah perilaku manajer yang menyebabkan stres di tempat kerja.

Sebanyak 71% responden berpendapat, dikritik di depan rekan-rekan kerja benar-benar menciptakan stres; dan 70% pekerja menjadi frustrasi disebabkan rapat-rapat yang menghabiskan waktu berharga mereka; sedangkan 60% responden menyatakan bahwa perasaan seolah-olah Anda tidak didengarkan, diakui sebagai rasa khawatir dan ketidakpuasan.


@@@@@@@@@@@


Manajer acap kali menganggap dirinya pemilik sejati kursi jabatan yang didudukinya. Eric Molyneus dari Video Arts menyatakan bahwa para manajer senantiasa mengklaim karyawan merupakan aset mereka satu-satunya yang sangat berharga. Namun, apa yang secara konsisten tak berhasil mereka akui adalah perilaku mereka secara langsung berdampak pada orang-orang di sekeliling mereka. Biasanya, penyebab utamanya adalah kurangnya pengalaman dan know-how para manajer itu.

Sering kali kasus yang terjadi adalah managers simply don't manage, they react. Lebih gampang dan nyaman bereaksi ketimbang mengelola karyawan. Menularkan stres tidak kenal istilah tebang pilih. Dan ketularan stres juga tak kenal diskriminasi.

Manajer atau bos yang senangnya cuma bereaksi memang piawai menularkan stres atau amarah bak menuruni tangga Menara Babel. Kisah tak elok ini tentu sudah pernah Anda dengar: Bapak Suka Linglung. Seorang manajer yang amat bossy, sedang dirundung stres. Ia memarahi bawahannya, Pak Polan, di depan rekan-rekannya. Sesampainya di rumah, Pak Polan menyalurkan kemarahan sang bos ke istrinya. Bu Polan secara estafet mengantarkan amarah sang suami kepada anaknya, si Gandung. Bak kena setrum, Gandung meneruskan kopi pahit ibunya ke Mbok Iyem. Dan pembantu tua ini pun langsung menumpahkan amarah lima tingkat itu kepada si Doggie. Terkena pukulan sapu lidi, Doggie hanya mampu menindaklanjuti stres para insan berbudi luhur itu dengan mengerang panjang, kaing-kaing.

Jangan hindari stres, sapa dan kelola saja dia dengan arif. Dengan doa, senyum ikhlas, senandung atau lagu, stres dapat dikelola menjadi peluang. Untuk hidup nyaman, damai, sejahtera. Dan membaginya kepada sesama.

Sumber : SwaOnline

0 Comments:

Post a Comment

<< Home