Tuesday, February 05, 2008

Menuntut 'Yang di Atas'

Jumat, 29 Juni 2007

Tiap orang yang kristalisasi keringatnya hancur akan cari pembelaan. Mereka akan meminta pertanggungjawaban yang di atas.

Saya minta pada yang di atas untuk menyelesaikan masalah ini! teriak seorang ibu berkerudung biru muda histeris. Telunjuknya terus menunjuk lurus ke langit. Air matanya berlinang. Berkali-kali, teriakan dengan logat arek itu, mengumandang, di sela ratusan warga korban lumpur lapindo yang menggelar demo di depan istana wakil presiden, Rabu lalu.

Telunjuk wanita itu, seakan ingin menjebol langit. Kata pada yang diatas, yang ia lontarkan terdengar menyengat. Harapan yang ia inginkan begitu besar. Yang di atas, yang ia maksud, nyaris menyamai singgasana-Nya yang agung. Tuhan. Yang di atas, kerap terucap lugu dari mulut orang-orang kecil. Rakyat biasa yang menyadari posisinya lemah. Tetapi, Yang di atas itu tidak dengan niat di benak mereka sebagaimana Tuhan.

Yang di atas itu, manusia bisa. Punya hawa nafsu. Punya selera perut yang sama. Perlu makan dan minum. Juga perlu tempat tinggal, rumah. Mimpi dan cita-cita hampir semua manusia, adalah memiliki tempat kembali setelah ia pergi. Tak terkecuali Yang di atas itu. Untuk mendapatkannya, tiap orang perlu perjuangan panjang. Bermandi peluh, berurai air mata, bahkan menyambung nyawa. Kecuali koruptor dan kroni-kroninya.

Sebuah keluarga dapat terbina baik jika memiliki rumah, meski hanya bilik. Semua sepakat, dengan punya tempat berteduh dari terik dan hujan rasanya nyaman hidup ini. Sebagaimana manusia, binatang juga perlu tempat untuk kembali, setelah ia mencari makan. Binatang juga akan meradang jika sarangnya dijamah.

Saat kecerobohan manusia, menyodok rongga Lumpur lapindo, muntahnya liar dan massif. Dalam sejarah manusia, Lumpur lapindo menjadi monster yang merenggut kehidupan secara pelan dan mematikan. Satu senti mulanya, naik satu meter, dua meter, tiga meter, lalu blup! Lenyap menjadi lapangan Lumpur mengerikan.

Rumah-rumah yang dibangun susah payah itu lenyap. Saya bangun rumah ini dari hasil mbecak, kata Kasdran, warga Kedung Bendo, Porong. Ia bangun rumah yang ditelan Lumpur lapindo itu dalam kurun sepuluh tahun. Di masa tuanya, Kasdran menyaksikan buah kristalisasi keringatnya dihancurkan. Mata dan hatinya menyaksikan dengan dekat saat lumpur itu mulai menggenangi rumah. Tulang tuanya coba menahan dengan membuat tanggul. Tetap jebol. Semoga yang di atas memberi keadilan dan segera memberi ganti rugi, lagi, Yang di atas di sebut-sebut sebagai pemberi keadilan.

Kasdran dan korban Lumpur lapindo tak sendiri. Balada rumah-rumah teraniaya juga terus terjadi di ibukota dan belahan lain Indonesia. Deru buldoser, sekelompok orang dengan pentungan dan derap mendekat, horor yang selalu mengancam permukiman kumuh dan padat. Bagi yang takut akan lari tunggang langgang. Bagi yang nekat, maju menantang buldoser dengan dadanya yang ringkih. Bahkan ibu-ibu yang membuka baju untuk melawan. Tetap kalah.

Saya ini rakyat kecil jangan dianiaya terus. Yang di atas mbok ya melihat penderitaan kami, Kadiyem menggugat pada Yang di atas. Wanita beranak tiga itu sudah 20 tahun tinggal di Tanah Abang. Waktu tempat tinggalnya di Bongkaran dibongkar beberapa waktu lalu, ia tak mampu menyelamatkan barang-barangnya. Buku-buku dan seragam sekolah anaknya juga berterbangan tak tentu arah. Kleyang kabur kanginan sebagaimana nasibnya.

Tiap satu rumah hilang, sama halnya satu generasi terhapus. Pendidikan anak-anak tercabik-cabik. Ketika Lumpur lapindo dan penggusuran memaksa keluarga untuk pindah ke lokasi baru, orangtua harus memilih tempat sekolah anak. Ibarat makan buah simalakama. Jika memindahkan anak ke sekolah baru, membutuhkan biaya pendaftaran yang bakal jadi penghambat. Bila tetap, lokasi tempat baru belum tentu terjangkau dari segi waktu dan ongkos. Sebagian, terpaksa minta kebijakan pihak sekolah untuk menghentikan sementara sekolah anaknya.

Dalam titik nadir, tiap orang yang kehilangan buah keringatnya akan cari pembelaan. Mereka akan meminta pertanggungjawaban Yang di atas. Dialah yang oleh para korban lumpur lapindo dan korban kehilangan tempat rumah disebut sebagai presiden, wakil presiden, menteri, gubernur dan para pemangku jabatan. Yang di atas, itulah diyakini sebagai sumber sebab dan sumber menyelesaikannya.

Presiden SBY, telah menitikkan air matanya untuk korban lumpur lapindo. Di kediamannya, puri Cikeas, disaksikan perwakilan warga Porong yang mengadu kepadanya. Sebagaimana dulu mantan presiden Megawati, menangis untuk rakyat Aceh korban perang dan pelanggaran hak azasi manusia.

Tak ada yang salah dengan menangis. Karena, menangis itu sehat dan dapat mewujudkan perasaan batin terdalam. Tetati orang-orang yang kehilangan tempat tinggal dan terpenggal generasinya butuh lebih dari sekadar air mata. Mereka butuh tindakan nyata dari Yang di atas untuk menyelesaikan masalah, yang berlarut-larut dan menyengsarakan.

Sebagian kita setuju, bahwa masalah ini begitu berat (lumpur lapindo, penggusuran, dan sebagainya) tidak bisa diselesaikan seperti membalik telapak tangan. Hanya, rakyat membutuhkan suatu guidance, suatu proses yang terlihat jelas mengarah ke penyelesaian masalah. Sebelum mereka merasa tenang, dan bisa diminta bersabar.

Seperti orang berpuasa. Mereka harus menahan lapar dan haus sejak subuh. Tetapi sudah tahu pasti akan akhirnya, pada saat beduk maghrib bertalu. Mereka boleh berbuka, meski cuma dengan seteguk air atau sebutir kurma. Itulah yang hari ini belum disiapkan. Kebijakan yang ada baru sebatas treatikal penuh keraguan. Kepada Yang di atas, kinilah saatnya hati bicara. sunaryo adhiatmoko
( )

Sumber : RepublikaOnline

0 Comments:

Post a Comment

<< Home