Thursday, February 21, 2008

Tuhan Tak Perlu Dibela!

Oleh : Arvan Pradiansyah

“Perbedaan adalah rahmat. Perbedaan itu indah. Perbedaan sesungguhnya hanyalah perbedaan sudut pandang. Dan perbedaan itu akan membawa kita kepada hal yang satu, karena dunia ini pada dasarnya adalah satu. Semuanya merupakan perwujudan dari Dia yang satu.”

Perasaan seperti inilah yang saya rasakan ketika pada suatu Sabtu sore yang cerah, saya diminta berbicara di hadapan jemaah sebuah gereja di Jakarta. Berbicara di depan komunitas yang agamanya berbeda dari saya tentu saja merupakan suatu kehormatan tersendiri. Saya merasa mendapatkan penghargaan dan kepercayaan. Dan, acara sore itu menjadi kenangan tersendiri bagi saya.

Sore itu saya berbicara mengenai cinta dan kasih, sesuatu yang selama ini identik dengan kawan-kawan Kristiani. Namun, saya membuka pembicaraan saya dengan menjabarkan kata yang sangat penting bagi kaum Muslimin: bismillahirrahmanirrahim, dengan nama Tuhan Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang. Kalimat suci ini sangat penting karena bukankah ini merupakan hakikat agama apa pun? Bukankah inti agama adalah cinta dan kasih? Bukankah ini persamaan terpenting ajaran Kristen dengan ajaran Islam dan ajaran agama apa pun di dunia?

Tuhan adalah Yang Mahakasih, dan Tuhan adalah sumber dari segala sumber kasih. Itulah sebabnya, ketika kita mencari Tuhan dengan serius dan bersungguh-sungguh, yang akan kita temukan adalah kasih. Bukankah kasih yang membuat kita hadir dan hidup di dunia ini? Bukankah kasih yang kita cari selama hidup kita? Dan, bukankah nilai seseorang ditentukan oleh kadar kasihnya kepada sesama?

Orang yang beragama secara sungguh-sungguh dan mempergunakan seluruh hidupnya untuk “menemukan” Tuhan pastilah sepakat bahwa esensi ajaran agama yang benar adalah kasih. Karena itu, tindakan menyerang, menyakiti dan menghakimi orang lain pastilah bukan bersumber dari ajaran agama. Namun ironisnya, banyak orang melakukan tindakan penyerangan dengan berdalih bahwa mereka membela Tuhan.

Lihatlah apa yang terjadi dengan saudara-saudara kita yang beraliran Ahmadiyah. Mereka mendapatkan serangan yang luar biasa dari orang-orang yang mengaku religius dan sedang membela Tuhannya. Masjid mereka disegel, rumah mereka dibakar, mereka diserang dan dianiaya.

Terus terang, saya benar-benar tidak paham mengenai apa yang sedang dilakukan orang-orang religius ini. Siapakah yang sedang mereka perjuangkan? Tuhan atau diri mereka sendiri? Bagaimana mungkin orang-orang religius ini melakukan aksinya dengan menyebut nama Tuhan yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang?

Bila demikian, saya berani mengatakan bahwa orang-orang ini sebenarnya belum memahami esensi agama yang sesungguhnya. Ada dua alasan mengapa saya mengatakan hal ini. Pertama, esensi agama yang sejati adalah cinta. Bukankah dalam agama apa pun senantiasa dikatakan, “Belum beriman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”?

Karena itu, cinta mestinya diletakkan di atas segalanya. Cinta ada di atas segala peraturan. Cinta bahkan disejajarkan dengan keimanan kepada Tuhan.

Banyak orang yang tidak menangkap esensi agama yang sesungguhnya. Mereka mungkin religius, tetapi mereka tidak spiritual. Mereka melihat agama dari luar. Mereka tidak masuk ke dalam agama tersebut secara total. Ini dapat diumpamakan seperti jeruji pada roda. Bayangkan, ketika kita berada di luar, jarak antarjeruji sangatlah besar, tetapi semakin kita masuk ke dalam, semakin kita akan menemukan bahwa jarak kita sebenarnya sangatlah dekat. Pemahaman kita kepada agama kita masing-masing mestinya makin membuka mata kita bahwa esensi agama tak lain dan tak bukan adalah cinta, dan bahwa hal terpenting yang perlu kita lakukan di dunia ini adalah mencintai dan mengasihi orang lain dengan tindakan nyata.

Kedua, Tuhan tak perlu dibela. Orang-orang yang menyangka bahwa mereka membela Tuhan sebenarnya sedang membela diri mereka sendiri. Mereka tidak suka terhadap perbedaan. Perbedaan membuat mereka takut dan terancam. Mereka takut bila pendapat yang berbeda tersebut akan menggoyahkan sendi-sendi keimanan mereka. Padahal, bukankah rasa takut yang berlebihan tersebut justru menunjukkan bahwa mereka tidak sepenuhnya yakin akan pendapat mereka sendiri?

Mereka tidak sadar bahwa Tuhan sama sekali tidak terganggu dengan perbedaan sudut pandang tersebut. Tuhan bahkan sama sekali tidak merasa dirugikan jika manusia tidak lagi percaya kepada -Nya.

Lantas, siapa yang mereka bela? Dapatkah mereka membela Tuhan?

Saya sering membayangkan bahwa Tuhan hanya tertawa menyaksikan orang-orang ini beraksi. Bagaimana mungkin kita bisa membela Tuhan? Mengatakan bahwa kita dapat membela Tuhan sebenarnya hanyalah menunjukkan kearoganan kita. Bagaimana mungkin kita yang lemah ini mampu membela Tuhan Yang Mahakuasa?

Yang perlu kita bela sebenarnya adalah orang-orang yang lebih lemah dari kita: anak yatim, orang miskin, orang tua, orang cacat, dan sebagainya. Karena kita lebih kuat, kita pasti dapat membela mereka. Membela Tuhan? Sedang bercandakah Anda?

Sumber : SwaOnline

0 Comments:

Post a Comment

<< Home