Thursday, March 06, 2008

Antara Masjid Al-Azhar dan Tafsir Al-Azhar




Tafsir Al-Azhar adalah karya monumental Buya Hamka. Penafsiran Alquran dimulai beliau dari kegiatan pengajian kuliah Subuh di Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru, sejak tahun 1958. Surat yang pertama kali dikaji adalah surat Al-Kahfi, juz XV. Isi pengajian itu, kemudian disusun kembali dalam bentuk tulisan dan diterbitkan secara bersambung dalam majalah Gema Islam sejak 1962. Dua tahun lamanya hasil pengajian tafsir di Masjid Agung Al-Azhar itu dapat dimuat di majalah Gema Islam. Sejak Buya Hamka ditangkap 27 Januari 1964, praktis kegiatan penafsiran Alquran baik di Masjid Agung Al-Azhar maupun di majalah Gema Islam terhenti.

Namun beliau meneruskan penafsiran al-Quran selama dalam tahanan. Menurut pengakuan Buya Hamka sendiri, penafsiran Alquran 30 juz telah diselesaikan beberapa hari sebelum dipindahkan ke tahanan rumah. Selama masa tahanan rumah, dua bulan lebih dipergunakan untuk melengkapi hal-hal yang dianggap masih kurang.

Setidaknya ada dua alasan kenapa Buya Hamka memberi nama tafsir Alquran 30 juz yang digarapnya dengan nama Tafsir Al-Azhar. Pertama, karena tafsir itu dimulai dari pengajian-pengajian di Masjid Agung Al-Azhar Jakarta, nama yang diberikan langsung oleh Syekh Universitas Al-Azhar Kairo, Syeikh Mahmud Syaltut, tahun 1960. Kedua, karena Buya Hamka mendapat penghargaan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Kairo.

Sumber penafsiran yang digunakan Buya Hamka dalam menafsirkan Alquran adalah penafsiran ayat dengan ayat yang lain, juga ayat dengan hadis (al-tafsir bi al-ma'tsur). Di samping itu, Buya Hamka juga menggunakan sejarah, antropologi, dan sosiologi sebagai sumber penafsiran untuk memperkaya tafsirnya. Gaya dan kecenderungan penafsiran seperti itu, oleh para ahli tafsir, seperti Al-Farmawi, disebut dengan tafsir al-adab al-ijtima'i.

Gaya seperti itu dilakukan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam menyusun Tafsir Al-Mannar. Buya Hamka sendiri mengaku sedikit banyak mencontoh gaya Tafsir Al-Mannar, dimana tafsir itu selain menguraikan ilmu yang berkenaan dengan agama, mengenai hadits, fiqih, sejarah dan lain-lain, juga menyesuaikan ayat-ayat itu dengan perkembangan politik dan kemasyarakatan yang sesuai dengan zaman di waktu tafsir itu dilakukan.

Ada kesamaan antara Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Mannar dalam proses kelahirannya. Keduanya lahir dari ceramah-ceramah di hadapan jama'ah yang kemudian disusun dalam bentuk tulisan. Oleh karenanya tafsir itu terkesan komunikatif dan dekat dengan suasana dan problematika yang sedang dihadapi masyarakat. Meskipun tentu saja berbeda setting tempatnya. Tafsir Al-Mannar lahir dari latar belakang masyarakat Mesir, sedangkan Tafsir Al-Azhar lahir dari latar belakang masyarakat Indonesia.

Perjalanan panjang yang telah dilalui bagi Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar atau biasa juga disebut YPI, merupakan perjuangan panjang yang tak bisa dilepaskan dari peran Buya Hamka. YPI Al-Azhar, semula merupakan suatu yayasan yang dibentuk dalam rangka menerima dana sosial dari pemerintah untuk pembangunan tempat ibadah bagi ummat Islam. Hal ini mendapat respon positif dan dibicarakan oleh kurang lebih 14 tokoh Muslim dari berbagai kalangan, di kantor Masyumi, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.

Dalam Pertemuan itu disepakati untuk membentuk Yayasan yang diberi nama Yayasan Pesantren Islam. Hasil kesepakatan itu, pada hari Senin, tepatnya 7 April 1952, oleh Soedirdjo, Tan In Hok dan Ghozali Sjahlan dibawa ke notaris Raden Kediman, serta dicatat dalam akte notaris nomor 25. Yang kemudian atas bantuan Walikota Jakarta Raya, Sjamsuridjal di temukanlah tempat ideal berlokasi di kota Satelit Kebayoran.

Setelah 6 tahun kegiatan Yayasan terfokus pada pembangunan fisik Masjid, maka sejak tahun 1958 Prof Dr Buya Hamka sebagai imam memulai kegiatan pembinaan umat melalui peribadatan dan dakwah. Pada Februari 1961, Syekh Al-Azhar Dr Mahmud Syalthouth memberi nama "Al-Azhar" kepada Masjid Agung Kebayoran yang kemudian dikenal dengan Masjid Agung Al-Azhar.

Atas dorongan Hamka, didirikan pula TK Islam Al-Azhar tahun 1963 dan SD Islam pada tahun berikutnya. Pada Tahun 1971, untuk menampung lulusan SD maka pada Tahun Ajaran 2003 - 2004 didirikan pula SMP dan SMA Al-Azhar. Memasuki milenium ke-3, menuju persaingan global, pada tahun 2002 Yayasan mendirikan sebuah Perguruan Tinggi yang diberi nama Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI).


Tokoh yang Merakyat

Saya sangat terkesan akan kesederhanaan ulama kelahiran Maninjau, Sumatera Barat 17 Pebruari 1908 ini. Ketika pada tahun 1983 Hamka menunaikan ibadah haji, dia memilih tinggal bersama jamaah ONH Biasa. Meskipun kala itu pemerintah menawarkan keistimewaan baginya. Saya menemuinya di Madinatul Hujaj berbaur dengan ratusan jamaah haji biasa. Bahkan dia tidur menggeletak begitu saja, tanpa merasa harus diistimewakan.

Meskipun dia seorang tokoh Muhammadiyah, tapi dia juga dekat dengan para ulama dari Nahdlatul Ulama. Pernah tahun 1970-an ketika Gerakan Pemuda Anshor mengadakan hari ulang tahunnya, Hamka ikut hadir dan duduk bersebelahan denban tokoh NU KH Idham Chalid. Bahkan, Hamka ikut berdiri dan turut membacakan asrakal pada Maulud Diba. Bagi Hamka, perbedaan pendapat dalam masalah furuhiyah tidak boleh dijadikan perpecahan. Baginya musuh umat Islam adalah kemiskinan dan kebodohan. Karena itulah, dalam acara tanya jawab agama Islam yang kala itu disiarkan tiap pagi, Hamka tidak mau terlibat terhadap pertanyaan-pertanyaan yang mengarah bisa menimbulkan perpecahan di kalangan umat.

Hamka termasuk orang yang dekat dengan Ali Sadikin, sehingga mantan gubernur DKI ini pada tahun 1970-an menunaikan rukun Islam kelima banyak menimba ilmu darinya. Tapi Hamka tanpa tedeng aling-aling menyerang Bang Ali ketika ia melontarkan gagasan agar jenazah dikremasi saja mengingat sulitnya tanah untuk tempat pemakaman umum. Hamka dengan suara lantang menyatakan Islam jelas-jelas melarang dan tidak membenarkan cara seperti itu. Ali Sadikin mendengarkan keberatan Hamka.

Hamka mendapat tempat di kalangan alim ulama muda Betawi. Seperti KH Mursidi, KH Syafiie Hadzami, KH Tohir Rohili, KH Abdul Razak Chaidir, KH Abdul Razak Ma'mun, KH Salam Zaelani, dan KH Saleh Zailani. Pokoknya Hamka merupakan tokoh panutan yang dapat diterima oleh semua golongan karena ia berpegang teguh pada prinsip.

Hamka mengenal betul para ulama Betawi. Bahkan, dalam sebuah makalah yang disiapkannya untuk sebuah seminar, Hamka menyatakan kekagumannya terhadap keteguhan masyarakat Betawi dalam memeluk Islam. ''Sekalipun selama 350 tahun mengalami pukulan yang berat dari penjajah, tinggal di gang-gang becek dan rumah beratapkan rumbia, tapi tidak ada satupun yang berganti agama,'' tulisnya.

Menurut Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama ini, dia mengibaratkan antara penjajah dan masyarakat Betawi seperti minyak dengan air. ''Bagaimanapun diaduk dan dikocok dalam botol, akhirnya tetap akan berpisah.'' Dalam suatu kesempatan, dia menekankan lagi hal itu. "Ciri masyarakat Betawi yang relijius itu tetap dipertahankan. Jangan sampai hilang karena modernisasi.''

Bagaimana besarnya perhatian ratusan ribu rakyat Jakarta ketika dia memnghembuskan napas terakhirnya padapada tahun 1981. Jenazah yang disemayamkan di Masjid Al-Azhar harus dishalatkan puluhan kali karena meluapnya massa yang ingin bertakziah. Hamka adalah sosok ulama yang bersedia hidup ditengah-tengah umat. Ia tidak pernah mengeluh, tetapi tidak pernah menutup telinganya untuk mendengarkan keluhan umat. Kita rindu sosok seperti Hamka.
Alwi shahab, wartawan republika, budayawan betawi.

Sumber: RepublikaOnline

0 Comments:

Post a Comment

<< Home