Tuesday, November 24, 2009

Nurani yang Terkoyak


Di ruang jenguk Bareskrim Mabes Polri, saya minta klarifikasi kepada Chandra Hamzah untuk menentukan sikap yang tepat atas penangkapannya dan Bibit Rianto oleh kepolisian. "Apa yang sesungguhnya terjadi?" Sekali lagi Chandra menjawab, "Saya berani bersumpah dengan cara apa pun, saya tak menerima uang suap sepeser pun. Kalau niatnya cari uang, kenapa harus memilih jadi komisioner KPK. Lebih enak jadi pengacara. Kasarnya, bisa atur komisi suka-suka tanpa dipusingkan oleh pertanggungjawaban publik."


"Lalu, kenapa Anda ditangkap?" Jawabnya: "Saya tak mengerti. Secara hipotesis, KPK memang sedang memasuki kasus-kasus besar yang melibatkan orang-orang penting. Sepertinya ada pertemuan kepentingan."


Jawaban Chandra yang meyakinkan ini berbanding terbalik dengan tuntutan kepolisian yang meragukan: bergonta-ganti dalih dari tuduhan penyuapan ke penyalahgunaan wewenang. Tentang penyalahgunaan wewenang, Chandra punya dalih bahwa tradisi pencekalan seperti itu diturunkan dari rezim sebelumnya.


Erry Riayana Hardjapamekas membenarkan hal itu, "Sekiranya Chandra dan Bibit ditangkap hanya karena urusan pencekalan, maka saya pun patut ditangkap pula karena telah melakukan hal yang sama di masa lalu." Kalaupun praktek semacam itu dianggap salah, Chandra berkata, "Saya siap dihadapkan ke pengadilan etik."


Tindakan polisi yang lebih mengandalkan "bahasa kekuasaan" (might) ketimbang "bahasa hukum" (right) rupanya mendorong nurani publik bicara. Apalagi, ketika presiden tidak mengambil langkah yang tepat --malah seperti memberi angin kepada kepolisian-- di tengah kebisuan parlemen dalam berhadapan dengan pemerintah, maka tokoh-tokoh masyarakat sipil dan ribuan orang lainnya tumpah-ruah menyatakan dukungan moral kepada Chandra dan Bibit.



Sekali lagi, hal ini memberi tanda bahwa masyarakat sipil Indonesia masih agak sehat, meski masyarakat politiknya sakit. Masalahnya, operasi negara setiap hari tidak dijalankan oleh masyarakat sipil, melainkan oleh masyarakat politik. Masyarakat sipil hanya bertindak sebagai "anjing penjaga", yang sesekali menyalak jika memang ada kegentingan yang memaksa.


Salak anjing itu sepertinya harus lebih galak dihadapkan pada kegentingan yang melanda dunia politik. Poros pendukung pemerintah yang begitu kuat di parlemen mengancam eksistensi parlemen sebagai sekadar juru stempel pemerintah. Fungsi pengawasan bisa beralih fungsi menjadi fungsi self-censorship. Tanda-tanda awalnya mulai terlihat. Inisiatif Komisi IX DPR meminta klarifikasi kepada Menteri Kesehatan yang baru secara sepihak dijegal Ketua DPR.


Persekongkolan antara legislatif dan eksekutif membuka kemungkinan bagi penjelmaan apa yang disebut Bung Hatta sebagai "negara kekuasaan" atau "negara penindas", yang bersifat destruktif terhadap perkembangan demokrasi.


Agaknya dukungan politik yang begitu kuat ini pula yang membuat presiden pada mulanya terlampau percaya diri, sehingga kurang responsif terhadap tuntutan publik. Tetapi justru di sinilah kesalahan terbesar pemerintah: keyakinan bahwa publik bisa terus dibohongi.


Mandat reformasi untuk melakukan perang terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) terancam karam. Di dalam gugus masyarakat politik yang cenderung berbohong, pemberantasan korupsi tak memiliki landasan yang kuat. Lebih dari itu, seperti dikatakan Edmund Burke: "Di dalam pemerintahan yang cenderung berbohong, kebebasan tak bisa bertahan lama." Sekali kebohongan diambil sebagai jalan pintas penutupan masalah, kesewenang-wenangan akan menyusul di belakangnya.


Sungguh ironis, pesta-pora demokrasi prosedural di negeri ini seiring dengan manipulasi pencitraan yang jaraknya begitu tipis dengan kebohongan. Di negara ini, kebohongan koruptif bukan saja telah menjelma menjadi kategori moral tersendiri, melainkan juga menjadi pilar utama negara. Kebohongan itu kini memperoleh mantelnya dalam mistik proseduralisme yang mengabaikan esensi.



Dalam meloloskan berbagai undang-undang yang mengabaikan nalar publik, dalam absurditas pengucuran dana kepada Bank Century, serta dalam penggantian dan penangkapan komisioner KPK, otoritas terkait menutupi kebohongannya dengan dalih yang sama, "Sudah sesuai dengan prosedur."


Kini para pejabat negara sedang beradu siasat menyempurnakan negeri ini menjadi negeri kebohongan. "Korupsi setiap pemerintahan," kata Montesquieu, "selalu dimulai dengan korupsi terhadap prinsip dan aturan permainan." Kebohongan memperoleh akarnya pertama kali justru ketika aturan bisa dikorup setiap saat demi pragmatika politik.


Syukur alhamdulillah, masih tersisa kejujuran nurani publik. Jika fungsi kontrol secara horizontal melemah, saatnya kekuatan masyarakat sipil menguatkan kontrol vertikal. Ini penting untuk memastikan bahwa demokrasi yang susah payah diperjuangkan tidak menjelma menjadi tirani baru lewat manipulasi prosedural.


Saatnya cicak-cicak bersekutu melawan buaya!



Yudi Latif

Cendekiawan muslim


Sumber : GatraOnline

0 Comments:

Post a Comment

<< Home