Friday, April 17, 2009

Memimpin itu Keiklhasan

Oleh Sunaryo Adhiatmoko

Pasca pemilu 9 April lalu, ada caleg yang turun kembali ke masyarakat. Tapi tak hendak menjabarkan visi misi. Apalagi berlaku sosial memberikan sumbangan. Kali ini, caleg itu menarik kembali apa yang sudah keluar dari kantongnya. Dia memungut lagi rebana untuk majelis taklim, memulung kembali karpet untuk masjid, mencabuti tiang listrik, bahkan menyegel sekolah.

Perilaku tak elok ini, dilakukan lantaran caleg itu gagal merengkuh impiannya mendapat kursi panas. Menurut Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), Sebastian Salang, sikap memalukan itu, muncul lantaran motif caleg bukanlah pengabdian melainkan kekuasaan semata.

"Motifnya bukan pengabdian tetapi meraih kekuasaan dan diyakini dengan kekuasaan bisa berbuat apa saja. Tidak salah mimpi seperti itu. Mimpi itu terbentuk karena perilaku anggota DPR, DPRD, dan DPD sebelumnya di mana gaya hidup mereka berubah cepat dan pesat. Yang tidak punya rumah bisa buat rumah gedong (mewah), mobilnya banyak, tanah di mana-mana," tandas Sebastian sebagaimana dilansir detik.com.

Padahal, pemimpin, kata Rasulullah adalah pelayan umat. Karena pelayan, seorang pemimpin perlu punya jiwa keikhlasan. Bukan sebaliknya, selalu berpikir pamrih atau ngereh. Umar bin Abdul Aziz, setelah diumumkan menjadi khalifah, menyendiri di rumahnya. Dalam kesendirian itu, ia menghabiskan waktu dengan bertafakur, berdzikir, dan berdoa. Pengangkatannya sebagai khalifah, tidak disambutnya dengan pesta, tetapi dengan cucuran air mata.

Setelah tiga hari tafakur, Umar bin Abdul Aziz kemudian keluar rumah. Para pengawal menyambutnya, hendak memberi hormat. Tapi Umar mencegah. “Kalian jangan memulai salam padaku, bahkan salam itu kewajibanku pada kalian,” tandas Umar.

Dalam pidato kali pertamanya, Umar juga menegaskan sikapnya. “Wahai sekalian manusia, jika kalian berdiri, saya pun berdiri. Jika kalian duduk, saya pun duduk. Manusia itu sebenarnya hanya berhak berdiri di hadapan Rabbul-‘Alamin.”

Pada masanya, Umar sebagai khalifah hidup dalam era kerajaan. Lazimnya era itu, raja hidup dilayani. Tapi Umar mematahkan tradisi itu. Ia tak larut, hidup dalam gelimang kemewahan dan kekuasaan. Umar memilih sikap bersahaja dan rendah hati.

Khalifah berpegang kukuh pada rambu-rambu Allah. “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.” (Luqman: 18-19)

Dengan menabrak budaya hidup dan tradisi kepemimpinan sebelumnya, Umar berhasil mewujudkan sebuah Negara yang makmur dan kuat. Kepemimpinannya menjadi perbincangan di berbagai sudut kota, warung, sampai pinggiran ladang di desa. Sikap hidupnya menginspirasi seluruh sendi kehidupan. Umar bin Abdul Aziz telah membuktikan, keberkahan rendah hati.

Menduduki posisi khalifah pada umur 35, Umar pemimpin muda yang tangguh. Pada usia semuda itu, ia mampu melalui godaan duniawi. Visinya lurus sebagai pemimpin sesungguhnya. Umar juga mengubah cara hidup seorang khalifah sebelumnya yang royal pada duniawi. Khalifah muda ini, mengikat diri untuk tidak silau pada harta, singgasana, pakaian, dan minyak wangi. Sikap ini menurun hingga keluarga intinya.

Kesannya, sikap hidup Umar keras. Tapi, ia seorang ahli seni dan syair. Mencerminkan pemimpin tegas, punya sikap, dan bersahabat dengan rakyat.

Sikap memimpin dengan rendah hati, menempatkan Umar sebagai pemimpin yang berhasil. Meski hanya menjabat dua tahun, ia berhasil membuat perubahan besar. Akhlak rakyatnya yang sebelumnya buruk, berubah menjadi baik.

Masyarakat di bawah kepemimpinan Umar giat bekerja dan sejahtera. Kemakmuran mencapai puncaknya. Rakyat berdaya ekonominya dan mereka berlomba menunaikan zakat. Fakir miskin terentaskan, sehingga sangat sulit mencari orang yang menerima zakat.

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (Al-A’raaf: 96).

Semua itu, dicapai Umar dengan cara memimpin yang tepat dan berani. Sejak menduduki khalifah, ia melakukan gebrakan cepat. Tanpa menunggu 100 hari. Hingga dinasti umaiyah menyindirnya sebagai khalifah yang tidak sabar. Di awal memimpin, Umar memecat direktur pajak Mesir, memecat gubernur Afrika Utara, memangkas kendaraan dinas, singgasana, pakaian, dan wanita-wanita. Semua barang yang dipangkas itu dikembalikan ke Baitul Mal.

Lihatlah hidup keluarga Umar. Anaknya menutup mulut, karena hanya makan bawang. Perhiasan istrinya diserahkan ke Baitul Mal. Pakaiannya dijemur sembari dikenakan, karena baju satunya robek. Dia tidak perlu pengawal, tak butuh dihormati dengan berdiri, dan selalu berwasiat pada para gubernur sebelum pergi bertugas.

Meski begitu, ia bukan pemimpin otoriter. Umar sangat demokratis. Ia membiarkan siapa pun berpendapat, selama tidak menggunakan kekerasan. Sangat mendengarkan suara rakyat, bahkan bagi yang memberinya kritik dan masukan, Khalifah memberi 100 – 300 dinar.

Begitulah Umar bin Abdul Azis memimpin. Dengan tonggak ikhlas bukan pamrih. Jika para caleg mempelajari cara Umar memimpin, kita tidak akan melihat perilaku caleg gagal yang menyedihkan. Rebana tak mungkin ditarik, karpet tak harus dicabut. Jangan sampai ada berita, masyarakat dipaksa memuntahkan apa yang telah ditelan dari pemberian caleg. Wallahu’alam.

(-)


Sumber : RepublikaOnline

0 Comments:

Post a Comment

<< Home