Friday, April 03, 2009

Balada Gigi Tukang Becak



Oleh: sunaryo adhiatmoko

Seseorang menjual giginya hingga habis untuk biaya hidup. Segetir inikah?

Dia tak memperkenalkan nama. Hanya terucap, usianya hampir melewati 70 tahun. Ceritanya mempesona, tapi bukan karena pandai menggubahnya. Tetapi saripati perjalanan hidupnya, membuat siapa pun yang mendengar akan terbelalak, terkekeh, juga tersenyum pahit.Kakek itu, menghabiskan sisa umurnya di atas becak. Dikayuhnya tatkala seorang penumpang menyewa. Dijadikan tempat tidur, saat malam merambat. 

Jika perlu hiburan, ditemani becak yang jadi tempat tinggal dan sumber nafkah, ia bercengkerama di Warung Pendopo Dalem, Pasar Ngasem, persis di belakang keraton Yogyakarta.Warung itu, tempat berkumpul orang-orang dari berbagai latar belakang kehidupan. Ada tukang becak, seniman, dan masyarakat kecil lainnya. Di tempat yang ramah itu, dialog tentang ekonomi sulit, pengangguran, dan problematika hidup rakyat saling timbul. Mereka menumpahkan kegetiran hidup, tanpa marah dan maki.

Ditemani secangkir kopi, sepotong pisang goreng yang kadang masih utang pada pedagangnya, mereka juga berbincang tentang pemilu. Beberapa gelintir ada yang gigih yakin, partainya mampu mengubah keadaan. Tapi sebagian besar lainnya memberondong dengan pesimisme."Ojo ngimpi mundhak kuciwo mengko", sergah seorang tukang pijat keliling. (jangan bermimpi tambah kecewa nanti).Bancakan malam itu, tak hanya menggunjing slogan-slogan kampanye yang menurut mereka tak masuk akal.

Tapi juga berhitung, berapa miliar uang digelontorkan untuk pesta demokrasi ini. Mereka mulai berkhayal. Andaikan uang itu untuk biaya sekolah anak-anaknya, membuka lapangan kerja, membantu petani, pedagang, dan kesehatan gratis. "Demokrasi ongkosnya ternyata mahal ya," celetuk Ende Reza, seorang seniman pantomim Yogyakarta, yang ikut nimbrung dalam obrolan malam itu.Tapi, demokrasi saat ini menurutnya terbeli oleh para pemilik modal. Demokrasi dikuasi kalangan berduit. Dengan uang, partai politik tumbuh liar.

Jembatan demokrasi, jadi pengantar seseorang meraih kekuasaan. Dan kekuasaan itu, begitu lezatnya, sehingga orang tega berpesta di atas derita rakyat. Lupa dan melupakan janji yang diungkapkan berbusa-busa. Malam, merambat pukul 22.00. Setiap cerita, tentu ada lakon. Dan bintang yang bersinar malam itu, balada gigi kakek tungkang becak. Ia tak ingat pasti kapan dimulai. Menurutnya, sekitar sepuluh tahun lalu, jika tak salah. Seorang mahasiswa kedokteran gigi naik becaknya. Di tengah jalan, mahasiswa itu bertanya, apakah kakek tukang becak ini mau menjual giginya.   

Mulanya, dianggap bercanda. Tapi mahasiswa itu ternyata serius. Tergoda oleh imbalan yang lumayan untuk ukuran tukang becak, kakek itu benar-benar menjual satu biji gigi depannya. Dia pulang ke rumah dan membelanjakan uang itu untuk kebutuhan hidup keluarga. Beberapa hari, si tukang becak dapat memberi pasokan gizi lumayan, untuk anak dan istrinya dari penjualan sebiji gigi.   

Hari-hari berat berlanjut. Zaman membuat perubahan amat cepat. Selalu ada yang tumbuh, juga ada yang tumbang. Di antara yang ambruk dalam perubahan zaman itu, tentu tukang becak. Alat transportasi yang makin canggih dan terjangkau, membuat peminat becak kian surut.    

Ditekan kebutuhan yang makin sarat dan peminat becak makin berkurang, batin kakek itu terusik untuk kembali menjual giginya. Kali ini, ia yang datang sendiri ke mahasiswa itu. Tercabutlah gigi kedua. Ia pulang dan sekali lagi dapat memperbaiki gizi keluarga.    

Berikutnya, kakek tukang becak itu seakan ketagihan. Setiap terbelit kebutuhan dan biaya sekolah anaknya, ia datangi mahasiswa itu lagi. Satu awalnya, menyusul dua, tiga, empat, dan akhirnya, bersihlah gigi tukang becak itu dari rongga mulutnya. Tak ada satu biji pun yang tersisa.Malam yang makin larut itu, menyaksikan cerita sang kakek dengan murung. Dia awalnya, bercerita sembari terpingkal-pingkal. Orang-orang yang mendengarkannya pun terbahak-bahak. Tapi pada cerita gigi terakhir, mulut kakek itu bergetar. Suaranya berat dan matanya berkaca-kaca. Semua mendadak bisu, tertunduk, dan malu betapa pahitnya kehidupan ini.Meski pengorbanan gigi hingga habis, ia tak mengakhiri cerita dengan sempurna.

Kini ia hidup seorang diri, di atas roda becak yang mulai tua. Istri dan anak-anaknya telah pergi. Jika penat membelenggunya di Yogyakarta, sesekali ia pulang ke rumah saudaranya di kampung halaman, Magelang."Permisi saya mau pakai gigi dulu," pinta tukang becak itu memecah senyap. Dia minta ijin mau mengenakan gigi palsunya, untuk mengunyah sepotong tempe. Seakan aktor drama kawakan, suasana sendu saat itu ia ubah jadi penuh tawa lagi. Kini, ia jadikan balada giginya sebagai cerita penghibur, untuk orang-orang yang mengeluh tentang kehidupan sulit.

Tukang becak itu, telah melalui liku-liku kehidupan yang berat. Sudah semua ia lakoni, meski tak juga mengubah nasib hidupnya. Bahkan gigi-giginya, telah mengantar puluhan mahasiswa menjadi dokter gigi. Jika demikian, dimanakah kesejahteraan yang di kata tumbuh itu bersemayam. Entahlah, bangsa ini mestinya malu, ada seorang warganya menjual gigi hingga habis untuk biaya hidup. Wallahu'alam.

(-)

Sumber : RepublikaOnline

0 Comments:

Post a Comment

<< Home