Rumah Batin
Oleh Ahmad Tohari
Di daerah saya Banyumas, ada sebuah ungkapan kearifan lokal yang berbunyi begini: Keberhasilan suatu keluarga bisa dilihat dari keadaan anak-anak mereka. Bila anak-anak baik, sehat jiwa raga, mereka adalah keluarga yang berhasil. Sebaliknya, bila anak-anak nakal, bermasalah dalam segi jiwa maupun raga, mereka adalah keluarga yang gagal.
Yang dimaksud sehat jiwa pastilah kehidupan batin yang bersih oleh tuntunan iman dan menjadi motor penggerak perilaku. Sedangkan sehat raga sudah jelas, kondisi tubuh bagus, bersih lahiriah, rajin belajar, berolah raga, dan tidak merokok atau minum alkohol.
Karena parameter tadi merupakan sebuah produk budaya masyarakat, setidaknya di daerah kami, boleh dipastikan secara umum sudah diterima kebenarannya. Dan, bila disampaikan dalam bahasa yang lebih sederhana, ungkapan itu bisa berbunyi begini: Apalah arti sukses seorang ayah atau ibu di bidang karier atau capaian kekuasaan dan harta apabila anak-anak di rumah tidak berkembang dengan baik bahkan banyak masalah.
Dan, pertanyaan ini akan terasa lebih ironis karena masyarakat tahu bukan hanya satu-dua tokoh agama yang berkibar di wilayah politik maupun dakwah, namun mereka punya anak nakal bahkan kena narkoba. Soal merokok, jangan tanya. Dalam hal ini, fatwa MUI yang telah mengharamkan rokok bagi remaja akan menghadapi ujian serius.
Istri saya seorang guru SD di sebuah wilayah miskin. Beberapa hari yang lalu dia bercerita, ada tujuh muridnya di kelas 1 yang nakal dan tertinggal. Ada yang tidak mau dan tidak bisa menulis, ada yang acuh, ada yang usil bukan main, tapi ada juga yang hanya duduk bengong sepanjang waktu pelajaran. Setelah diteliti, ternyata ketujuh murid tersebut semua punya masalah dengan orang tua mereka. Ada yang menjadi anak titipan di rumah nenek karena ibunya jadi TKW dan ayahnya lontang-lantung. Ada juga anak dari orang tua yang bercerai, ada yang terpaksa tinggal bersama kerabat karena ibunya jadi PRT dan ayahnya jadi tukang di kota. Begitulah, mereka adalah anak-anak yang kehilangan jagat batin mereka. Ibarat kecambah, mereka tercerabut dari tanah sehingga tidak bisa tumbuh dengan wajar. Anak-anak itu adalah korban kemiskinan dan akan terus bermasalah sebab tidak mendapat penanganan yang memadai.
Masalahnya, mengapa hal yang sama banyak terjadi juga di kalangan keluarga mapan? Banyak anak keluarga berada yang merasa kehilangan rumah batin, yaitu perhatian dan dukungan orang tua sehingga mereka terjerumus. Kemarin saya terima kabar dari seorang teman bahwa anak caleg X ditangkap polisi karena kasus narkoba. Padalal, caleg X adalah tokoh organisasi agama. Terus terang saya tidak terkejut karena hal serupa sudah sering saya dengar sebelumnya. Bila mau dihitung betapa banyak keluarga politikus, pengusaha, pejabat atau figur publik bahkan tokoh agama yang berkibaran di hadapan masyarakat, namun gagal menjadi wadah yang baik bagi perkembangan anak. Mereka seakan bagus di wajah, namun ada borok di punggung.
Seorang teman di Jakarta punya gadis usia 23 tahun dan kena narkoba. Gadis itu dirawat di rumah dan kondisinya seperti kembali menjadi bayi. Makan harus disuapi, mandi harus dipapah, berganti pakaian harus dilayani. Gadis yang dulu cantik itu seakan berubah menjadi seonggok kain gombal, tatapan matanya kosong seperti tahu dirinya tak punya masa depan. Dan, suatu saat saya mendengar keluhan si ayah tentang anaknya itu. ''Andaikan masalah anak saya sekadar hamil di luar nikah, saya akan mudah menerimanya. Akan saya rawat bayinya, dan biarlah dia meneruskan kuliah.''
Saya merinding. Begitu besar penyesalan si ayah dan begitu pedih derita karena narkoba sehingga diandaikan anak hamil di luar nikah pun dianggap bisa diterima.
Wacana pembinaan generasi muda demi keselamatan bangsa sering mengemuka menjadi pidato-pidato dan tulisan-tulisan di media massa. Juga, khotbah di masjid atau gereja. Tapi, kita yakin semua itu tidak akan efektif bila rumah batin anak, yakni kondisi yang harmonis antara ayah dan ibu tidak hadir, dan dukungan serta perhatian mereka terhadap anak tidak ada. Artinya, semuanya harus dimulai dari rumah. Maka, sebetulnya sia-sia berharap akan adanya perbaikan mutu manusia Indonesia ke depan, kecuali para orang tua punya tekad serius membantu anak-anak mereka tumbuh menjadi manusia Indonesia baru yang cukup iman, cukup ilmu, cukup kerja. Bukan seperti manusia Indonesia umumnya saat ini yang korup, bermental penerabas, ningrat, dan manja. Intinya, para orang tua wajib menjadi rumah batin yang nyaman agar anak-anak tumbuh wajar dan sehat.
Sumber : RepublikaOnline
0 Comments:
Post a Comment
<< Home