Tuesday, December 23, 2008

Ibu Penembus Kabut

Kabut di Gunung Sumbing pagi itu belum juga hilang. Kumpulan embun-embun putih yang tebal masih menyelimuti jalan-jalan setapak terjal menuju Desa Wonoroto, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang. Desa kecil itu terletak di salah satu lereng Gunung Sindoro.

Suara langkah manusia sayup-sayup terdengar. Seorang wanita terlihat menembus tebalnya kabut pagi meski perutnya sudah mulai membesar, mengandung sang jabang bayi. "Balon... balon... balon," sorak beberapa anak kampung ketika melihat perut yang sudah membesar itu.

Pagi-pagi sekali wanita tersebut sudah mendaki lereng gunung itu untuk mengajar di sebuah taman kanak-kanak (TK) di Desa Wonoroto. Ia harus menempuh perjalanan 10 km berjalan kaki.

Itulah kisah Sri Banun, guru TK yang saat ini sudah menjalani masa pensiun, namun masih tetap aktif mengajar sebuah TK di Desa Kenteng Sari, Magelang. Wanita kelahiran 31 Desember 1947 itu mengungkapkan pengalamannya berjuang mengusir kantuk dan dingin di pagi hari untuk mengajar anak-anak gunung meski tengah hamil anak ketiganya, M Albab Alghozi.

Anak-anak kesil di lereng Gunung Sumbing --yang memiliki ketinggian 3.371 meter dari permukaan laut itu-- mempunyai sedikit keunikan. Menurut kepercayaan penduduk setempat, rambut anak-anak itu dibiarkan memanjang dan gimbal. "Katanya kalau dipotong malah jadi sakit anaknya," ungkap Sri.

Jauh sebelum ditempatkan di Desa Wonoroto itu, Sri mengaku mengambil pendidikan sebagai seorang guru karena tidak sengaja. Saat di bangku sekolah menengah atas, ia kesulitan mencari sekolah karena jumlahnya yang sedikit dan jaraknya yang jauh. "Waktu itu yang dekat rumah cuma sekolah PGA (pendidikan guru agama) swasta yang dikelola oleh NU (Nahdatul Ulama) jadi saya masuk di sekolah itu dan jadi guru," ujar dia. Untuk membiayai sekolahnya itu dia juga mulai mengajar.

Baru pada usia 23 tahun, Sri benar-benar menjadi seorang guru. Statusnya adalah sebagai pegawai negeri sipil yang diperbantukan untuk mengajar di sekolah yang dikelola yayasan dari Nahdatul Ulama. Dimulai dari mengajar di madrasah ibtidaiyah, kemudian dipindahkan mengajar <I>raudatul atfal<I> atau dalam istilah umumnya sebagai Taman Kanak-Kanak. Lalu pada tahun 1985 dia mendapatkan penugasan mengajar di TK Desa Wonoroto. Ketika itu dia sudah memiliki dua orang anak, Khujatul Balighoh yang masih berumur enam tahun dan Rahmawati Durotul Jannah yang masih berumur satu tahun.

Meski harus menempuh jarak 10 kilometer dari rumahnya di Desa Kenteng Sari, pekerjaan mengajar itu tetap dia terima. "Namanya juga pegawai negeri jadi harus mau ditempatkan dimana saja," kata Sri.

Karena kewajibannya itulah dia harus berjalan kaki menyusuri lereng Gunung Sumbing yang terjal. Pagi-pagi sekali bersama dengan kabut yang masih tebal dia melangkahkan kakinya yang hanya beralaskan sandal jepit. Sepatu mengajarnya baru dia gunakan setelah sampai di TK tersebut. Selama perjalanan sering dia harus mengatasi rasa takutnya karena bertemu dengan babi hutan. Pada tahun 1980-an kawasan Gunung Sumbing memang masih alami sehingga hewan-hewan liar seperti babi hutan masih bebas berkeliaran.

Dalam menjalankan tugasnya itu, dia tidak pernah memungut bayaran dari orangtua siswa. Menurut dia anak-anak gunung berambut gimbal itu ingin bersekolah saja sudah membuatnya gembira. "Tapi, terkadang masih ada orangtua siswa yang mengirim kopi, jipang (labu siam), teh, dan nasi jagung sebagai ungkapan balas budi," ujar Sri.

Bekerja selama lima tahun di Wonoroto membuat ia lebih mandiri dan pintar membagi waktu. Waktu untuk keluarga tetap dia berikan meski masih terus mengajar. Setelah shalat Subuh dia mulai menanak nasi dan menyiapkan sarapan untuk dua orang anaknya dan suaminya sebelum berangkat mengajar. Sesegera mungkin dia pulang dari mengajar untuk membuat sayur yang akan dimakan oleh keluarganya. Sisa waktunya yang lain dia gunakan untuk bercengkerama dengan anak-anaknya.

Pada tahun terakhirnya mengajar di Desa Wonoroto atau sekitar 1990 dia mengandung anak ketiganya. Sebelum mengajukan cuti hamil kepada negara karena statusnya sebagai pegawai negeri, dia masih tetap mengajar anak-anak gunung itu. Dan, masih tetap berjalan kaki selama dua jam menuju sekolahnya tersebut. Lalu setelah cuti dan melahirkan dia dipindahkan ke sebuah Taman Kanak Kanak di desanya, Kenteng Sari.

Di desanya itulah hingga kini dia masih mengajar meski sudah pensiun pada tahun 2007 yang lalu. "Hal yang membuat saya masih terus aktif adalah pendidikan untuk anak-anak," kata Sri.

Menurut dia, pendidikan itu adalah sesuatu yang harus dimiliki semua orang. "Saya pengin bagaimana seorang Muslim dari kampung bisa menjadi orang pintar tidak kalah dengan orang kota," lanjut dia. Saat ini selain mengajar dengan sukarela, Sri juga aktif di beberapa organisasi keagamaan.

(-)


Sumber : RepublikaOnline

0 Comments:

Post a Comment

<< Home