Monday, December 22, 2008

Harga Sepatu Kebebasan

Oleh Arys Hilman

Sepatu paling mahal di dunia telah lahir di Irak. Bukan dari kaki artis ternama, melainkan seorang wartawan, Muntazer Al-Zaidi, yang melemparkannya ke muka Presiden George Walker Bush.

Dua nilai puncak bertemu. Pertama, kemarahan tertinggi orang Arab secara kultural terwakili dalam sikap melalui alas kaki. Maka, pelemparan sepatu, sebagaimana pemukulan patung Saddam Hussein dengan sepatu, adalah representasi tertinggi kemarahan. Puncak kedua adalah Bush. Dia adalah wakil utama negara paling berkuasa di dunia, mufasir nomor satu segala wacana tentang hukum, demokrasi, hak asasi, dan kebebasan.

Sepatu Zaidi mencetak sejarah. Pemerintah AS malu dan merasa perlu menghancurkannya agar tak menjadi ikon perlawanan. Tapi, di Turki, Lebanon, dan Irak, orang-orang bersicepat mengklaim diri mereka sebagai pembuat sepatu itu. Di Arab Saudi, seorang amat kaya bersedia menjual propertinya demi mendapatkan sepatu itu. Ia menawarkan 10 juta dolar AS, setara Rp 110 milar, sebagai ganti memiliki sepatu Zaidi itu.

Sepatu Zaidi melahirkan bisnis baru dengan nilai yang juga jutaan dolar AS. Youtube beruntung karena banyak versi rekaman video pelemparan disimpan di situs tersebut dan mencatat rekor baru video yang paling banyak diakses. Para pengusaha video game berlomba-lomba membuat permainan yang menggambarkan pelemparan tersebut. Nilainya sulit kita terka karena bisnis ini masih berjalan.

Tapi, sebesar apapun ''bisnis kesebalan terhadap Bush'' itu, takkan mampu mengalahkan nilai ''bisnis perang Irak'' yang muaranya menghancurkan negeri itu dan merobek-robek hati Zaidi.

Penyerbuan dan pendudukan Irak adalah bisnis raksasa yang tak ada kaitannya dengan senjata pemusnah massal maupun Saddam Hussein. Sudah jelas, AS dan sekutunya tak pernah menemukan bukti keberadaan senjata pemusnah massal maupun kaitan antara Saddam dan Alqaidah. Kedua alasan itu hanyalah isapan jempol belaka.

Siapakah yang mendapatkan keuntungan dari bisnis perang tersebut? Ceara Donneley dan William D Hartung merincinya dalam ''The Price of Freedom in Iraq'' (2005).

Lockheed Martin ada di urutan pertama. Ini adalah kontraktor nomor satu Pentagon dengan bisnis berupa senjata, pesawat, perangkat teknologi informasi, sistem integrasi, dan pelatihan. Pada 2002, perusahaan ini mendapatkan kontrak senilai 17 miliar dolar AS, naik dari angka 14,7 miliar dolar AS pada tahun sebelumnya.

Pada kuartal pertama 2003, penjualan Lockheed Martin sudah mencapai 7,1 miliar dolar AS, naik delapan persen dari kuartal pertama 2002. Dan, pada Maret 2003, ketika bom-bom pertama menghujani Baghdad, kontrak untuknya mencapai nilai 106,6 juta dolar AS dari total kontrak bom senilai 281 juta dolar AS. Pada bulan yang sama, perusahaan ini juga mendapatkan kontrak 4 miliar dolar AS dari Angkatan Udara dan Korps Marinir.

Siapakah di balik Lockheed Martin? Pertama, Bruce Jackson. Dia adalah bekas penasihat keuangan Bush saat kampanye. Jabatan terakhirnya di perusahaan itu adalah wakil dirut. Orang kedua adalah Lynne Cheney. Istri Wapres Dick Cheney ini adalah mantan direksi yang bergaji 120 ribu dolar AS hanya untuk beberapa kali rapat. Orang ketiga adalah Chris Williams, anggota Dewan Kebijakan Pertahanan. Ia adalah pelobi Johnston and Associates yang perusahaannya mewakili Lockheed Martin, Boeing, TRW, dan Northrop Grumman.

Boeing adalah kontraktor Pentagon nomor dua. Pada 2002, perusahaan ini mendapatkan kontrak 16,6 miliar dolar AS, melonjak dari angka 12 miliar dolar AS tahun sebelumnya. Saat penyerbuan Baghdad pada Maret 2003, Boeing memasok arsenal bom cerdas seharga 22 ribu dolar AS per buah. Kontrak untuk bom ini saja mencapai nilai 378 juta dolar AS.

Belakangan, Boeing mendapatkan kontrak pesawat pengangkut militer C-17 senilai 9,7 milar dolar AS.

Siapa orang penting di balik bisnis ini? Lagi-lagi anggota Dewan Kebijakan Pertahanan. Namanya Richard Perle.

Perusahaan lain yang hidup dari bisnis perang Irak adalah Raytheon. Ini adalah kontraktor nomor empat di Pentagon mencakup 4.000 lebih program senjata. Perusahaan ini mengumumkan laba dua kali lipat pada 2003. Pendapatan terbesar senilai 12,2 miliar dolar AS berasal dari kontrak Angkatan Udara. Selain itu, ada pula Alliant Techsystems yang labanya melonjak 16 persen sebagai ''berkah'' penyerbuan ke Irak, senilai 2,1 miliar dolar AS.

Di luar semua itu, Halliburton mencatat sejarah. Bukan pada nilai dolarnya, melainkan pada cara kontraknya. Perusahaan keluarga Cheney itu pemegang 3.000 kontrak di bidang pertahanan. Rapor merah yang ia pegang sebagai rekor adalah ''memenangi'' kontrak pembangunan kembali Irak pada saat tank AS belum menyentuh Baghdad sama sekali. Sebuah kontrak tanpa tender.

Sejak Tragedi 9/11, Halliburton mendapatkan kontrak pertahanan senilai 2,2 miliar dolar AS. Anak perusahaannya, Kellog, Brown and Root, pernah kehilangan kontrak pada era Clinton karena dugaan penyimpangan, namun pemerintahan Bush memulihkannya. Dalam bisnis minyaknya, perusahaan ini mendapatkan kontrak senilai 1 miliar dolar AS untuk mengamankan ladang minyak Irak.

kalyara@yahoo.com

(-)



Sumber : RepublikaOnline

0 Comments:

Post a Comment

<< Home