Wednesday, December 10, 2008

Gundulmu



Oleh: Arys Hilman

Baru saja nonton CNN. Ada kisah soal es kutub yang mencair, gurun yang meluas, dan hutan yang menghilang.
Ah, jadi ingat perjalanan mudik.

Tiga hari sebelum Lebaran, kami sekeluarga meluncur di jalan tol Cikampek dari arah Jakarta. Sejak kilometer 30-an, di kiri kanan hanya tampak kegersangan. Tanah merah kering berdebu. Di median jalan, rerumputan hanya menyisakan batang. Sebagian tampak hitam, hangus terbakar.

Ratusan meter dari bibir jalan, tampak lubang-lubang bekas galian. Humus tak ada lagi. Petani enggan menanami. Membuat batu bata, bagi mereka, lebih mudah dan menghasilkan uang -- setidaknya sampai tak ada lagi lempung yang layak jadi bahan baku.

Di Timur Tengah yang kaya, gurun diubah menjadi taman-taman. Di sepanjang pantai kota Doha, Qatar; atau Abu Dhabi dan Dubai, Uni Emirat Arab; orang-orang kini dapat berjalan santai, piknik, atau berolah raga dalam naungan pepohonan. Di negeri ini, pemerintah sedang merancang kota baru yang modern, ramah lingkungan, hemat energi, dan segar bebas polusi.

Di Kuwait, taman-taman dengan pepohonan yang rimbun mempercantik kota. Ketika taman-taman di negeri kita mempercantik diri dengan lantai semen dan batu yang panas, taman di sana berhiaskan tanah subur berumput hijau yang menyerap panas. Di Riyadh, Arab Saudi, kita bisa menikmati jalur hijau berhiaskan pohon-pohon kelapa -- yang tampak subur walau tak dapat berbuah. Gemericik air menghiasi pula suasana taman-taman kota Makkah, Madinah, dan Jeddah.

Jadi, sebenarnya, tak tepat bahwa gurun meluas. Hal yang terjadi adalah gurun-gurun baru telah lahir. Gurun-gurun baru itu ada di tanah Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan tempat-tempat lain di negeri kita.

Coba bayangkan, setiap tahun, hutan seluas negara Belgia hilang di Kalimantan.

Sehari setelah Lebaran, kami kembali bergerak dari arah Bandung ke timur. Lagi-lagi, sejak awal perjalanan, kami dipaksa menikmati kegersangan. Gunung Manglayang di utara tampak kering. Gunung Geulis di ujung tol Cileunyi tampak tak berpohon.

Jalan Cadas Pangeran, peninggalan Daendels (atau lebih pas Pangeran Kornel), tak lagi sejuk. Kiri kanan tak lagi hijau. Sulit membayangkan pembangunannya dulu memakan banyak korban karena keganasan hutannya. Gunung Tampomas bahkan lebih parah. Hutannya bagai karpet yang digulung. Ibarat lapangan rumput yang dikelupas.

Di ujung timur Jawa Barat, Gunung Ceremai bernasib sama. Hutannya bak mengelupas. Padahal, ketiadaan akar pepohonan pernah memicu bencana bah besar di kakinya, kawasan Kecamatan Talaga, Majalengka. Nyawa-nyawa yang hilang ditelan air, tanah, lumpur, dan gelindingan bebatuan raksasa tak lagi jadi sumber kearifan. Orang-orang mudah lupa.

Ketika Istana terendam banjir, kita semua ribut tentang kerusakan lingkungan di kawasan Puncak. Juga tentang raibnya situ-situ penangkal banjir di Bogor dan Depok. Ketika banjir berlalu, kita kembali merusaki lahan-lahan miring dan menimbuni situ-situ dengan proyek real estat.
Mungkin, perlu kita putar kembali lagu ''Tragedi'' karya Abah Iwan Abdulrahman yang berilhamkan bencana Talaga:

Tragedi tadi sengaja kucatat dan tlah kusimpan di lubuk hati
Dan suatu waktu harus kuungkapkan untuk mengingatkan mereka itu.


Orang-orang Bandung terkadang kejam menyebut Babakan Siliwangi dengan akronim Baksil, padahal dalam masyarakat Sunda baksil hanya berkonotasi penyakit. Beberapa hari berlebaran di Bandung, kami mendengar masyarakat mempergunjingkannya karena pemerintah setempat berencana membangun restoran di lembah kawasan utara kota ini.

Penolakan sangat keras, sekeras rencana pembangunannya. Babakan Siliwangi paling utara adalah kawasan hutan kota terakhir setelah kawasan selatannya jadi pusat konvensi dan sarana olah raga mahasiswa. Tak pernah lagi kabut menghiasi kawasan ini karena suhu kota yang kian panas menguapkannya jauh-jauh.

Dulu sebuah restoran milik pemerintah kota berdiri di lembah ini. Berdiri pula sanggar-sanggar seni dan instalasi pengolahan air minum. Ada puluhan mata air di sini. Tak terurus setelah restoran pemerintah kota tutup, hutan Babakan Siliwangi sekarang berhiaskan gubuk liar dan sebagian menjadi lahan parkir mobil mahasiswa ITB. Sedikit keindahannya masih terasa di antara otot-otot mahoni, akasia, suren, kaliandra, dan angsana. Kini ada perusahaan swasta yang berminat mengelolanya dan sudah mendapatkan izin.

Bandung seharusnya punya 1.600-an hektare ruang terbuka hijau. Bahkan jika mengacu pada UU no 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, seharusnya kota ini punya 5.000 hektare lebih ruang terbuka hijau atau 30 persen wilayah kota. Faktanya yang tersisa tak mencapai dua persennya.

Mempertahankan 3,8 hektare hutan kota ini menjadi penting bagi banyak orang karena Bandung telah gagal mempertahankan kawasan yang lebih utara lagi. Punclut, Dago Pakar, telah diserahkan kepada pengusaha yang berjanji akan mempertahankan kehijauannya -- dan janji itu tak pernah dipenuhi.

Setiap mudik ke Bandung selalu bermakna kembali ke kota yang kian panas. Syair Abah Iwan pun kini cuma mimpi:


Sejuta kabut turun semalam
merayapi jemari jalanan
.

kalyara@yahoo.com

(-)

Sumber : RepublikaOnline

0 Comments:

Post a Comment

<< Home