Kalau Kami Sekolah, Bagaimana Emak?
Ketiga bocah kakakberadik itu dudukduduk di tepi jalan sebuah tikungan di komplek Permata Pamulang, Tangerang. Walau cuaca pagi sangat segar, wajah mereka kuyu. Tiga karung berisi karton bekas teronggok di depan mereka.‘’Cape, istirahat dulu,’’ jawab Rini (9) saat ditanya sedang apa gerangan berdiam di sana.
‘’Kami belum sarapan,’’ timpal Asep (11) sambil nyengir memegangi perut. Sedangkan Ade (8) tampak cemberut sambil berusaha menyembunyikan tubuh kumalnya di balik Rini. Anak-anak Kampung Tanah Sewaan, Desa Bakti Jaya, Serpong, Tangerang, itu terpaksa berkelahi dengan waktu demi membantu emaknya. ‘’Bapak sudah meninggal tiga tahun lalu.
Emak buruh nyuci di rumah yang ada anjingnya dua ekor itu tuh,’’ tutur Rini sambil menunjuk ke sebuah arah. Pembawaan gadis cilik ini tampak lebih dewasa dari usianya. Setiap hari, selepas subuh mereka bergerilya di perumahan Permata Pamulang. Menjenguk dan mengorek satu demi satu tempat sampah di depan rumah yang berjajar rapi. Lalu membawa sebagian darinya yang memiliki nilai jual.
Walau turut mendaur ulang sampah, kehadiran mereka tak disambut ramah. Ada perumahan yang terang-terangan melarang pemulung masuk. Permata Pamulang kebetulan tak setega itu. Tapi, di sejumlah ruas jalan, sejumlah anjing menghardik setiap pemulung dengan gonggongan penuh curiga. Rini bersaudara sampai hapal betul rumah-rumah mana yang memelihara anjing galak.
Barang apkiran seperti kardus, botol beling, botol plastik, dan mainan bekas, adalah sumber penghasilan Rini sekeluarga. Setelah setengah hari memulung, hasilnya mereka serahkan ke emak. Emak lalu menyortirnya, sebelum dijual ke ‘’Boss’’ alias bandar barang bekas.‘’Kardus sekilonya Rp 700. Kalau botol beling Rp 150, plastik Rp 250. Yang paling mahal mainan bekas, Rp 1500 perkilo,’’ celoteh Asep dan Rini bersahut-sahutan.
Dalam sehari, ketiga pemulung bisa mendapatkan penghasilan Rp 15 ribu sampai Rp 20 ribu. ‘’Tapi sekarang makin sedikit, karena banyak yang mulung. Malah ada yang mulung malam hari atau sebelum subuh. Jadinya, kami nggak kebagian lagi,’’ ungkap Rini, sambil merapikan kerudungnya.
Sore hari, mereka bertiga mengaji di mushola dekat rumah. Petuah Ustadz untuk sopan dan tidak mencuri walau selembar plastik, mereka pegang betul. Tak jarang Asep dan Rini harus menghardik rengekan Ade yang ngiler pada mainan plastik di halaman rumah orang.
Selepas lebaran ini, mungkin pendapatan Rini bersaudara bakal makin seret. Pasalnya, seperti biasa akan datang pemulung-pemulung baru dari kampung yang dibawa oleh pemulung lama. Nah, apakah kalian mau selamanya memulung? ‘’Ya nggak lah, kami juga pingin sekolah,’’ sergah Rini. Ia mengaku pernah mencoba masuk SD. Tapi sampai kelas dua saja, ia terpaksa keluar.
Emak, Asep, dan Ade butuh tambahan tenaganya untuk menambah penghasilan. Termasuk mengasuh dua adik mereka yang masih balita di gubuk. ‘’Mauuu!’’ seru Asep dan Rini serempak saat ditawari sekolah gratis. Tapi sesaat kemudian, mereka terdiam. Wajah sumringahnya berganti lesu.‘’Kalau kami sekolah, siapa yang membantu Emak mencari duit dan menjaga adik?’’ kata Rini lirih.
Sumber : RepublikaOnline
0 Comments:
Post a Comment
<< Home