Sunday, March 08, 2009

Manusia-manusia Mendua

Arys Hilman

Sebagai doktor lulusan universitas nomor satu dunia, aktivitasnya melampaui batas-batas negara. Hari ini ia mengajar di Tokyo, lusa sudah berada di New Delhi. Pagi di Delft, sore sudah presentasi dalam seminar di Madrid.

Ia sibuk. Begitu sibuk. Sampai sebuah musibah menimpanya di Johor. Truk kontainer menabrak minivan yang ia tumpangi dalam perjalanan menuju Singapura.

Berpekan-pekan ia koma. Dokter yang menanganinya di Singapura sudah setengah putus asa. Keluarga pun tak lagi berharap banyak.

Dan, suatu pagi, ia tak tampak lagi di ruang ICU. Rumah sakit geger. Pasien hilang. Ah, bagaimana mungkin sebuah rumah sakit kelas dunia bisa selalai itu.

Sembilan bulan berlalu. Seorang dokter yang sedang berlibur di Jakarta secara tak sengaja menemukan pasien itu di kawasan Menteng.

''Tuan, bukankah Anda pasien kami?'' seru sang dokter dengan gembira.
Sang pasien tampak keheranan. ''Saya tidak mengerti maksud Anda,'' katanya.

Maka, sang dokter bercerita panjang lebar tentang kisah sembilan bulan lalu. Tentang musibah di Johor dan kegegeran rumah sakit karena pasien yang hilang.

Di ujung cerita, sang dokter bertanya dengan nada bingung. ''Satu hal lagi, bukankah otak Anda masih kami simpan di rumah sakit setelah kecelakaan dahsyat itu? Bagaimana Anda bisa keluyuran ke sana-sini?''

Sang pasien terdiam sejenak, namun kemudian tersenyum. ''Jangan khawatir, Dok, saya sudah tak memerlukannya.''

''Apa maksud Anda?'' tanya sang dokter.
''Saya sudah jadi warga negara sini,'' jawabnya.

Lalu, seraya tetap tersenyum, ia berjalan ke arah taksi. ''Saya juga sudah berhenti jadi peneliti. Sekarang saya aktor sinetron terkenal di sini.''

Tentu, Pembaca, itu kisah imajiner. Mana bisa orang bertahan, apalagi keluyuran, tanpa otak.

Kalau Anda bisa menangkap maksud kisah itu, syukurlah, berarti Anda lebih baik dari pasien tersebut. Saya berimajinasi demikian untuk menjelaskan ada sisi-sisi tidak rasional (secara sarkastis disebut tak berotak) dalam kehidupan modern kita sehari-hari.

Kalau mau jujur, orang-orang kita sebenarnya hidup pada dua alam. Pada satu sisi, kurang canggih apanya Jakarta atau Surabaya dibandingkan Singapura. Tapi, di sisi lain, betapa banyak pula kejadian tak masuk akal di sekeliling kita.

Lihat saja orang-orang yang mengendarai sepeda motor dan mobil, menggenggam telepon seluler, mendengarkan siaran radio, bahkan membaca koran, rela antre berjam-jam untuk mendapatkan air batu ajaib dari Ponari. Mereka bahkan bersedia meminum air comberan di depan rumah sang ''dukun'' cilik demi kesembuhan ataupun mendapatkan keajaiban lain.

Batu, sejak dulu, tak selalu sakti. Masyarakat pada peradaban paling awal pun paham itu. Batu bekerja sesuai keperluan manusia. Namun, adakalanya, saat mencoba memahami kekuatan di luar diri mereka, manusia-manusia pada era mitis menyimpulkan bahwa batu adalah wakil dari kekuatan tersebut. Pemahaman ini acap berbiak manakala muncul kepentingan manusia untuk menguasai manusia lainnya.

Air sama saja. Sulit membayangkan bahwa comberan di depan rumah Ponari bermanfaat bagi kesehatan atau dapat mendatangkan kekayaan bagi peminumnya. Tapi, situasi ini pun bukan hal baru. Alexandre de Rhodes (1561) bahkan mengisahkan bahwa air suci telah dipakai oleh misionaris untuk ''menyembuhkan'' dan membuat orang-orang pindah keyakinan.

Syed Hussein Alatas menyebut orang-orang yang hidup di dua alam ini sebagai manusia yang mendua. Manusia demikian adalah orang yang mentalnya membentuk dua sistem pemikiran dan sikap yang berdampingan, yakni yang modern dan tradisional. Tidak selalu mudah membedakan kedua hal tersebut, namun ia memberi contoh hidup seorang menteri Malaysia.

Sang menteri, katanya, menggunakan ilmu pengetahuan untuk memperbaiki pesawat televisinya, merawat giginya, memelihara mobilnya. Tapi, sang menteri juga tidak berminat terhadap ilmu pengetahuan dan lebih tertarik pada jampi-jampi dan takhayul.

Susahnya, orang-orang seperti ini jumlahnya banyak. Dan, mereka bahkan termasuk orang-orang di level elite. Merekalah yang menyebabkan bebalisme bertahan di kalangan masyarakat. Mereka memasukkan prosedur ilmiah modern, seperti merawat gigi atau memiliki ponsel, ke dalam masyarakat, namun gagal menyertakan pandangan ilmiahnya.

Belakangan, para politisi kita sibuk menghadapi hajatan dunia modern bernama pemilu. Anehnya, sebagian dari mereka melirik paranormal untuk mendapatkan kemenangan.

Mereka, kata Syed Hussein, adalah para elite bangkrut.

kalyara@yahoo.com

(-)


Sumber : RepublikaOnline

0 Comments:

Post a Comment

<< Home