Saturday, March 28, 2009

Primadona yang Selalu Ditinggal

Oleh Sunaryo Adhiatmoko

Di setiap perhelatan demokrasi, selalu ada primadona yang menjadi rebutan. Tak terkecuali, dalam musim kampanye pemilu termahal di dunia kali ini, juga dimunculkan Sang Primadona. Ia bak kuntum bunga yang dikerubungi kumbangkumbang pengisap madu. Ia, juga tak pernah luput diucap dan disebut oleh semua caleg dan partai politik. Begitu mempesonanya, sehingga semua janji yang membuai dirayukan untuk Sang Primadona itu.

Bahkan untuk meminang primadona, seseorang rela terbang menggunakan helikopter. Terjun ke lapangan, sawah, dan ladang, dibakar terik matahari bahkan diguyur hujan. Mereka melakukan hal-hal berani yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Pengorbanan itu seakan-akan nyata adanya.

“Saudara-saudaraku, kita harus mengurangi kemiskinan dengan menciptakan lapangan kerja dan pendidikan gratis,” teriak lantang seorang Caleg, di atas panggung kampanye siang itu, di Lapangan Pasar Kemiri, Depok.

Dia tidak menyebutkan bagaimana caranya. Pendek kata yang diorasikan, jika ia terpilih masyarakat miskin akan mendapat pendidikan gratis, kesehatan gratis, dan tidak nganggur. Dia berkoar, seakan menutup mata jika jumlah pengangguran makin bengkak tiap harinya.

Di alun-alun lain seluruh Indonesia, media cetak dan elektronik, memuat iklan keberpihakan partai politik pada masyarakat miskin. Pada pagelaran tiap lima tahun sekali ini, orang miskin benar-benar selebritis yang mendapat sanjungan. Pipinya merona, deritanya sesaat terlupa. Apalagi jika goyang dangdut disuguhkan, terlenalah sesaat. Tapi, tak sedikit pula yang kini acuh dengan hiruk pikuk kampanye itu.

“Saya nggak percaya 100 persen dia menepati janji. Kalau sudah terpilih nanti juga lupa,” terang Agus, pedagang martabak di Parung, Bogor.

Menurutnya, seperti pengalaman pemilu sebelumnya, janji-janji itu tak pernah terbukti. Agus sendiri, mengaku belum pernah mencicipi buah dari demokrasi ini. Sebagai pedagang kecil, ia tetap berjuang sendirian untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya. Tatkala sakit, Agus juga harus membayar biaya berobat.

“Harga sembako naik, tak ada yang berbuat untuk kami. Malah pada korupsi mereka. Kalau dari gayanya sih yang sekarang juga nggak jauh beda,” aku Agus pesimis. Ilyas, seorang warga Barombong, Makasar, Sulawesi Selatan, punya catatan lain. Menurutnya, sebelum jadi anggota dewan, seorang Caleg ramah pada masyarakat.

Jika ada kerumunan selalu menyapa. Bahkan tak segan-segan ikut nimbrung, ngobrol bersama warga. Tapi, setelah terpilih mereka acuh pada konstituennya. “Sekarang kita main ke rumah dia, ditutupnya pintu rumah. Takut kita minta sumbangan,” gerutu Ilyas.

Bahkan nelayan di pantai Barombong Makasar itu, kini punya status baru. Di pintu rumahnya dipasang papan dengan tulisan merah “keluarga miskin”. Dia tidak tahu apa manfaatnya stempel miskin itu. Tapi sebagai warga yang baik, dia nurut saja.

“Kalau saya pikir, saya ini lebih kaya daripada mereka itu. Saya cari uang dengan keringat sendiri, tapi mereka digaji dengan uang rakyat. Mereka yang mestinya lebih miskin,” sindir Ilyas.

Ayah lima anak itu, juga prihatin melihat pemain-pemain politik era kini. Kerap kali, seorang caleg berkampanye tidak masuk akal. “Mereka seperti tahu masalah kami. Padahal mereka tidak tahu apa yang kami pikirkan. Mereka tidak paham kalau untuk hidup, kami telah berjuang mati-matian. Kami mencukupi semua sendiri tidak ada bantuan dari siapapun,” tandas Ilyas.

Ilyah melihat lebih dalam. Bagaimana orang bicara kemiskinan, sementara ia bicara dengan data statistik yang diperoleh dari berselancar di internet. Mereka tidak pernah bergumul dengan kemiskinan, untuk menguji panca inderanya. Sebagaimana orang percaya diri tentang swasembada pangan, sementara kehidupan di pelosok-pelosok desa tetaplah makin miskinnya.

Namun, setiap kebenaran menemukan jalannya. Sebagaimana sebuah janji menuntut tanggung jawabnya. Masyarakat miskin yang selalu jadi primadona itu, mulai paham bahwa mereka telah menjadi alat. Mulanya mereka meyakini bahwa keputusannya memilih akan mengubah nasib priuk nasinya. Juga membentangkan jalan menuju Indonesia yang makmur dan sejahtera. Tapi, yang miskin tetaplah miskin dan sekelompok orang kaya tetap memutar kekayaannya di lingkaran keluarga, sahabat, teman, dan kerabat.

Saat pesta usai, sang primadona akan ditinggal perlahan-lahan. Pemetik panen dari pesta ini, mereka yang telah menanam modal untuk kampanye. Para caleg yang berhasil menduduki singgasana dan para pemodal yang telah menanam untuk kepentingan kerajaan bisnisnya. Realita semacam ini seperti sudah berlaku umum.

Seiring waktu, rakyat makin cerdas memilih. Setiap ucapan, kini diuji dengan realita dan tindakan. Seseorang harus dicatat karena apa jasa dan baktinya yang telah diperbuat. Bukan digores dalam sejarah, karena ia punya kekayaan untuk menulis sejarah berdasar kemauannya sendiri.

Kepada para mustahik zakat, fakir miskin, dan kaum dhuafa di Indonesia. Kini kalianlah primadona itu yang sedang dicuri simpati dan hatinya. Berbagi bujuk rayu dan obral janji sedang dimuntahkan dari langit. Ibarat rudal-rudal Israel yang menghujani Jalur Gaza selama 23 hari. Tunjukkan jati diri primadona sejati, masyarakat yang mandiri dalam jerat krisis dan tangguh setiap tempaan ekonomi sulit mendera.

Tunjukkan bahwa rakyat ini telah mandiri, sebelum pesta demokrasi dimulai. Telah bersatu sejak nusantara diploklamirkan menjadi Republik Indonesia. Justru, mereka para peminang itulah yang harus belajar, pada ketangguhan rakyat. Untuk tahu, bagaimana mengurus Indonesia. Selamat berpesta.

(-)


S4mber : RepublikaOnline

0 Comments:

Post a Comment

<< Home